Karakter Ulama Muhammadiyah (bag 1)
Karakter Ulama Muhammadiyah
Oleh: Musa Al-Azhar
Dalam satu kesempatan, Prof. Dr.
Syamsul Anwar, MA., ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, mengambarkan
karakter ulama Muhammadiyah dengan satu kalimat padat berisi, yaitu “Mampu membaca
kitab kuning dan kitab putih”.
Kader ulama adalah yang paling
dirindukan oleh gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar ini, gerakan yang sudah
berkhidmah di Indonesia lebih dari satu abad. Sebagian tokoh bahkan menyebut
ada krisis ulama di Muhammadiyah. Namun, Muhammadiyah dikenal sebagai
persyarikatan yang progresif, dalam mengatasi masalah internalnya maupun
masalah keummatan. Berbagai usaha telah dilakukan demi memenuhi tuntutan kader
ulama. Mulai dari serius dalam membina Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
(PUTM), sampai meresmikan cabang istimewa di negerinya al-Azhar, Mesir, sebagai kantong kader ulama persyarikatan.
Peradaban manusia terus berkembang
dan dihiasi dengan, meminjam istilah Prof. Dr. Ali Jum`ah (pakar fikih dan usul
fikih, anggota dewan ulama senior al-Azhar), al-Nuqthah al-Fâriqah atau
titik pembeda. Maksudnya adalah kejadian besar dimana hidup manusia berubah
drastis dari sebelumnya. Di antara titik pembeda yang menghiasi era globalisasi
ini adalah kebebasan informasi, khususnya dalam konteks media sosial. Salah
satu efek dominonya adalah siapapun bebas menyampaikan dan dibaca pendapatnya,
sehingga saling mempengaruhi adalah keniscayaan.
Melihat kenyataan yang demikian, penulis
merasa perlu untuk mengajak pembaca merenung sejenak mendalami karakter ulama yang
dibutuhkan Muhammadiyah. Dialah yang nantinya akan menginspirasi gerak langkah
persyarikatan. Bukan wacana yang terbentuk dari simpang siur pendapat yang
muncul, sebagai efek dari ledakan media, apalagi media sosial.
Pemurnian Mata
Air Ide Gerakan Muhammadiyah
Ide yang menginspirasi gerakan
Muhammadiyah cita-citanya disarikan dari al-Quran dan Sunah. Ide ini merupakan solusi
bagi segala persoalan di berbagai segi kehidupan seperti ekonomi, politik,
sosial, budaya, pendidikan sampai persoalan epistemologi. Ide yang ditawarkan
Muhammadiyah terhadap berbagai persoalan tersebut tidak lain adalah pencerahan
yang selama ini digaungkan.
Ide-ide tersebut harus lahir
melalui proses yang jelas. Identitas Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
melarang ide-ide liar yang lahir dari sumber yang bermasalah. Sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan menurut Najmuddin al-Nasafi (537 H) ada tiga; informasi
valid, panca indera yang sehat dan akal. Ketiganya memiliki lahan garap
masing-masing. Panca indera merekam berbagai peristiwa di alam raya baik dalam
bidang astronomi, biologi, fisika, kimia dan sebagainya. Kemudian akal
mengolahnya menjadi teori-teori keilmuan modern. Kebenaran teori-teori tersebut
tetap membutuhkan akurasi dalam setiap nukilannya. Supaya ilmuwan manapun
mengkajinya dari data-data tepat. Bukan nukilan-nukilan liar dari sumber yang
tidak otoritatif. Teori-teori keilmuan di atas banyak terdapat dalam kitab
putih.
Sedangkan wahyu al- Quran dan Sunnah mendapat tempat
dalam keilmuan Islam sebagai salah satu sumber kebenaran selain panca indera
dan logika. Wahyu diturunkan oleh Allah Ta`âlâ sebagai petunjuk bagi
manusia untuk mewujudkan kemakmuran di bumi. Betapa banyak persoalan yang tidak
mampu digarap panca indera dan logika akal. Dalam hal-hal seperti ini, wahyu
akan menjadi sumber solusi.
Wahyu Allah yang pertama adalah
kalam-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ShallalLâhu `alaihi wa
Sallama melalui malaikat Jibril alaihi al-Salâm dan memiliki unsur
kemukjizatan. Maksudnya, menantang manusia dan jin untuk mendatangkan sesuatu
yang semisalnya. Ketidakmampuan jin dan manusia menjawab tantangan tersebut
berarti membenarkan seruan dalam al-Quran bahwa ia memang benar berasal dari
Allah. Keberadaan Rasulullah sebagai pembawa al-Quran membenarkan seruan bahwa
Beliau memang diutus oleh Allah. Segala bentuk penjelasan Rasulullah terhadap
syariat yang dikenal dengan al-Sunnah juga disebut sebagai wahyu. Konsekuensinya,
manusia wajib berjalan sesuai dengan apa yang digariskan oleh al-Quran dan
Sunnah.
Ayat al-Quran ditransfer dari
generasi sahabat ke generasi setelahnya sampai di zaman kita dari banyak
penutur di berbagai jalur (mutawatir). Sehingga sifatnya adalah qath`iyyu’l
wurûd. Sedangkan hadis tidak semuanya demikian, ada yang ditransfer bahkan
hanya dari satu perawi ke satu perawi. Hadis yang tidak bersifat qath`iyyu’l
wurûd disebut zhanniyyu’l wurûd. Baik al-Quran maupun hadis keduanya
sama-sama memiliki salah satu dari sifat qath`iy al-dilâlah (jelas
maksudnya) ataupun zhanniy al-dilâlah (multi interpretasi). Ayat
al-Quran ada yang berbicara sesuatu yang umum kemudian di ayat
mengkhususkannya, begitu juga dengan hadis. Ada ayat atau hadis yang hukumnya
digantikan oleh hukum yang terkandung oleh ayat dan hadis yang lain (al-naskh).
Kerumitan dari persoalan di atas sebenarnya bermuara kepada dua hal. Pertama,
keakuratan nukilan teks. Kedua, pemahaman teks. Kedua hal inilah
yang diperhatikan oleh ulama Islam di setiap generasi.
Golongan manusia pertama yang
menerima ajaran dari wahyu adalah para sahabat. Mereka adalah penutur bahasa
Arab murni yang belum tercampur bahasa non-Arab, membersamai proses turunnya
wahyu yang berangsur-angsur dan menjaga potensi ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya serta menjunjung tinggi kejujuran. Ketiga potensi inilah yang
menjadikan mereka cepat dan tepat menangkap maksud dari wahyu. Sebagian dari
114.000 sahabat (yang tercatat) ada yang mendapat legalitas untuk berfatwa
bahkan ketika Rasulullah masih hidup. Sebutlah khalifah yang empat, Muadz bin
Jabal yang kisah restu Rasulullah kepadanya untuk berfatwa di Yaman sering
dinukil di buku usul fikih, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Ibnu Amru bin Ash, Siti
Aisyah, Ummu Salamah dan lain-lain.
Para sahabat tersebut menyebar ke
berbagai belahan dunia membawa misi pencerahan kepada umat manusia. Generasi
setelahnya belajar dari mereka dan mengajarkannya pula kepada generasi
setelahnya.
Ketiga potensi di atas memudar
seiring begantinya generasi dan bercampurnya orang Arab dengan non-Arab. Oleh
karenanya para ulama merasa perlu untuk merumuskan apa yang ada di dalam jiwa
para sahabat menjadi sebuah disiplin ilmu.
Transfer ilmu kepada generasi baru
meniscayakan adanya satu undang-undang yang menjaga supaya teks syariat -terutama
hadis- tetap otentik. Undang-undang tersebut memperhatikan penukil (rawi), teks
yang dinukil (matan) juga cara menukil (kaifiyyat al-tahammul wa’l
adâ’). Undang-undang tersebut nantinya akan bertransformasi menjadi ilmu
hadis riwayah. Terkait dengan persoalan pemahaman teks, para ulama merumuskan
ilmu usul fikih yang diperas dari tiga ilmu; bahasa Arab, ilmu kalam dan cabang
pembahasan fikih.
Kedua ilmu alat di atas lah yang
menjadi dua sayap umat Islam untuk mengembara mencari mutiara dalam lautan
al-Quran dan Sunnah. Seorang ulama berkata, “Al-Quran adalah lautan luas,
semua ilmu adalah sungai-sungai yang bercabang darinya”. Mutiara-mutiara
tersebut dikumpulkan dalam tiga kotak ilmu pokok agama Islam; ilmu aqidah yang
menjaga unsur keimanan, ilmu fikih yang mengandung unsur keislaman dan ilmu
akhlaq yang menghiasi manusia dengan ihsan. Bangunan keilmuan yang kokoh
menjaga ajaran Islam itu tertanam dalam jiwa para ulama dan dalam kitab-kitab
kuning yang ditulis oleh mereka. Sekali lagi, ulama Muhammadiyah, harus bisa
membaca kitab kuning!
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :