Dr. Muhammad Salima 'Awa: Dasar Negara Islam adalah Al-Qur’an dan Sunah
pcimmesir.com - Tokoh satu ini selalu aktif disetiap
kegiatan serta pergerakan Islam yang bertaraf Internasional, sehingga tidak
heran kiprahnya yang begitu signifikan membawanya menjadi Sekertaris Umum Persatuan
Ulama Islam Internasional, mendampingi Dr. Yusuf Qordlowi. Beliau juga masih
sering mengabdikan diri untuk ikut mencerdaskan umat Islam dengan memberikan materi
kuliyah di Universitas al-Azhar serta di beberapa perguruan tinggi lainya.
Dengan karyanya ad-Dawlah al-Islamiyah terbitan Dârus-syurûq Kairo
beliau menjelaskan secara komprehensif konsep serta aplikasi yang ril guna
terbentuknya sebuah negara yang berasaskan Islam. Dimulai dengan pembahasan
sosio-historis munculnya Negara Islam, hingga dasar, konsep serta pendapat para
tokoh pergerakan mengenainya. Berikut ini hasil pemikiran Dr. Muhammad Salim
‘Awa mengenai Negara Islam yang termaktub dalam karyanya ad-dawlah al-Islamiyah.
Negara
Islam (Dawlah Islamiyah), pertama kali didirikan oleh Rasulullah Saw. di
Madinah selepas hijrahnya dari kota Mekah. Kaum muslimin ketika itu -baik kaum Muhajirin
maupun Anshor sebagai masyarakat yang ada didalamnya-, hidup dalam undang–undang
yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai Amîru’d dawlah
dengan referensi (baca: pedoman) dari ayat- ayat al-Qur’an yang berkenaan
dengan pemerintahan dalam Islam. Masyarakat muslim yang hidup ketika itu
menjadi saksi akan kesempurnaan konsep Negara dalam Islam. Hal tersebut
tercermin dari kesejahteraan umat muslim serta berkembangnya Islam keseluruh
pelosok kabilah Ara. Bahkan sebelum wafat beliau menunjuk Abu Bakar as-Sidiq
sebagai penggantinya karena memandang pentingnya eksistensi kelangsungan Negara
Islam (dawlah Islâmiyyah) ini. Regenerasi kekhalifahan inilah yang mula-mula
digagas Rasul, untuk kemudian menjadi landasan bagi para sahabat lainya supaya
memilih pengganti setelahnya. Negara Islam yang digagas Rasul ketika itu juga
menolak keras kepemimpinan yang otoriter, yang sempat diterapkan oleh bangsa-bangsa
terdahulu. Hal ini menjadi keistimewaan tersendiri bagi umat Islam dan menjadi
bukti ril bahwa dalam kekuasaan Islam tidak ada dominasi pihak-pihak tertentu.
Berdirnya
Negara Islam di Madinah menjadi simbol kekuatan politik bagi umat Islam, serta
babak baru dalam percaturan politik Islam yang berbeda dengan kekuasaan-kekuasaan
yang ada sebelumnya. Hal ini juga diperkuat dengan adanya konsep kekuatan
perundang-undangan yang mengikat Negara untuk tunduk kepadanya, atau sebagai source
of law yang wajib ditaati siapa saja tak terkecuali pemimpin beserta aparat
pemerintahan sekalipun.
Unsur pondasi Negara Islam
Terdapat
tiga unsur pondasi yang harus dimiliki oleh suatu Negara untuk merealisasikan
Negara Islam, yakni masyarakat (syu'b), wilayah (Al-Ardu), serta
pemerintahan (Al-Sultoh). Disamping tiga unsur al-madiy di atas
juga terdapat unsur ma’nawiy yaitu adanya persamaan hak serta kewajiban
atas penegakan hukum yang berlaku disana. Sehingga tidak ada perbedaan dalam
legislasi serta meniadakan istilah “kebal hukum” sebagai momok eksistensi suatu
keadilan.
Syariat
Islam sebagai bentuk undang–undang Negara Islam bersifat syâmil (universal)
yaitu mengikat seluruh individu yang berada di dalamnya dengan menjadikan al-Qur’an
serta Sunah Nabi sebagai masdâr atau referensi utama dalam menjalankan
aktifitas hidup masyarakatnya dalam segala lini. Al-Qur’an misalnya, sebagai
wahyu ilahiyah telah menetapkan konsep tersebut secara jelas dalam
ayat-ayatnya. “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya
serta Ulil-Amri (pemimpin) diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya
(as-Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS.Ali Imron: 59)
Kemudian
al-Qur’an juga menjelaskan akan kewajiban mentaati syariat Islam yang dibawa
oleh Rasulullah Saw. serta menerangkan akibat bagi mereka yang mengabaikanya. “Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menerapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat dalam
kesesatan yang nyata” (QS. al-Ahzab: 36)
Dasar Negara Islam
Menurut
Dr. Muhammad Salima 'Awa, jika Negara Islam telah menjadikan pancasila yang
mengandung nilai dari lima sila yang dimilikinya, maka Negara Islam juga
mempunyai dasar utama yaitu kitabulLah (al-Qur’an), terutama ayat-ayat
yang membicarakan tentang kenegaraan serta perundanganya (qanûn). Oleh
karenanya, dengan menjadikan al-Qur’an sebagai dasar Negara, maka diwajibkanya
pula syariat Islam sebagai landasan dalam hidup (based rool) serta
perintah untuk taat kepada pemimpin adalah hal yang wajib dilakukan oleh kaum
muslimin.
Dilain
hal Abu Bakar R.A berkata: “taatilah aku bilamana aku taat kepada Allah, jika
aku mengingkari-Nya, maka janganlah kamu sekalian mentaatiku”, demikian
pernyataan Abu Bakar akan batasan ketaatan kepada seorang pemimpin. Tidak berarti
taat kepada pemimpin adalah hal yang mutlak dilakukan kapanpun dan kepada siapapun,
namun ketaatanya kepada Allah menjadi batasan ketaatan kaum muslimin kepada pemimpin.
Bahkan jika seorang pemimpin berbuat kemungkaran kepada Allah, maka menjadi
wajib hukumnya untuk diperangi sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Imam Ibnu Hazm.
Aplikasi Negara Islam bagi masyarakatnya
Melihat
sample kekhalifahan yang terjadi pada zaman Nabi, akan kita temukan
aplikasi riil penegakan syariat Islam disegala aspek kehidupan. Dalam
menegakkan keadilan contohnya, Islam memperhatikan betul rasa adil dan musâwah
dalam penegakan hukum. Kemudian dalam bidang militer, terlihat rapinya strategi
politik Islam lewat perang-perang yang dilancarkanya baik yang dipimpin
langsung oleh Rasulullah maupun para sahabat. Tak dielakkan lagi, kaum muslimin
selalu menang dalam pertempuran mereka. Jika kita melihat manajemen keuangan negara,
kita juga akan mengenal sistematisasi manejemen keuangan dalam Islam yaitu
dengan memberlakukan sistem zakat, serta perjanjian dengan kaum yang
ditaklukanya (penduduk non muslim) dengan mewajibkan mereka membayar jizyah.
Begitu juga dengan proses pengiriman delegasi (duta negara) ke negara-negara lain
sebagai pondasi yang mengikat hubungan antar negara, terutama pengiriman para
gubernur di wilayah-wilayah yang ditaklukanya, meskipun tetap menjadikan ibu
kota khilafah ketika itu sebagai central of goverment-nya. Dan masih
banyak hal lainya terutama perundangan yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia dalam bingkai syariat, seusuai dengan apa yang terkodifikasi dalam al-Qur’an
sebagai dasar utama Negara Islam.
Musyawarah (syûra) sebagai landasan
pemilihan Khalîfah
Inilah permata kelebihan Negara Islam
dalam memilih pemimpinya, yang dicontohkan lewat pemilihan khalîfah kedua
setelah Rosul, dimana Abu Bakar, menurut para peneliti sebelum menjadi kholifah
dibaiat terlebih dahulu oleh kaum muslimin yang dipimpin oleh Umar R.A, yang
otomatis telah mendapat persetujuan kaum muslimin baik dari pihak muhajirin
maupun Anshor untuk menjadikanya sebagai
khalîfah mereka. Bahkan karena dinilai bahwa konsep syûra dalam
proses pemilhan khalifah itu sangat urgen, maka Umar R.A sebelum meninggal -sebagaimana
yang diriwayatkan oleh anaknya Abdulloh ibn Umar- berpesan: “Barangsiapa yang
memimpin kamu tanpa dipilih secara syûra (musyawarah) oleh kaum muslimin
maka bunuhlah ia”.
Hubungan Agama dengan kekuasaaan
Salah satu permasalahan yang masih sering
diperdebatkan oleh umat islam dewasa ini adalah konsep hubungan antara agama
dengan kekuasaan, terutama dalam Islam sendiri telah tercermin jelas pengaruh
ajaran Islam dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Ajaran Islam tersebut cocok
sebagai source of law (landasan konstituante) dalam undang-undang
negaranya. Namun banyak kalangan yang juga ingin memisahkan agama dengan
kekuasaan (sekulerisme), sehingga menurut mereka kekuasaan tidak ada sangkut
pautnya dengan agama, hal tersebut menurut mereka akan menimbulkan rasa ghuluw
atau loyalitas yang berlebihan terhadap agama yang berakibat pada lambanya
peningkatan negara karena pikiran mereka hanya disibukkan oleh urusan agama dan
tidak lagi memikirkan urusan kenegaraan. Paham tentang sekulerisme inilah yang
jelas-jelas sangat bertentangan dengan Islam, karena agama dalam pandangan
Islam merupakan hal yang urgen dalam sebuah pemerintahan, baik sebagai landasan
bertindak maupun sebagai sistem perundang-undangannya (Qanûn). Kenyataan sejarah membuktikan dari awal
berdirnya Islam pada zaman Rasul sampai akhir khilafah Utsmaniyah, Islam
selalu mempunyai pengaruh positif dalam kebijaksanaan pemerintahnya.
Landasan Utama Undang-Undang Islam
Sebagai alat pengontrol stabilisasi
kehidupan warganya, undang-undang negara menjadi hal yang wajib
diperhatikan. Landasan apa sajakah yang seharusnya termanifestasikan dalam peraturan
suatu Negara Islam? Menurut beliau, ada empat aspek yang harus ada di dalamnya;
musyawarah (Syûro), Keadilan (al-‘adl), Kebebasan (al-khuriyyah),
serta Persamaan (musâwah). Musyawarah sebagai asas yang terpenting dalam
perundang-undangan Negara Islam mempunyai andil yang begitu besar dalam menentukan
kepemimpinan serta arah kebijakan suatu pemerintah, disamping sebagai solusi (problem
solving) yang pas bagi segala permasalahan yang ada. Begitupula tiga
landasan lainya yang tidak kalah penting, menjadi pelengkap sekaligus ciri
utama pemerintahan Islam yang selalu merujuk kepada al-Qur’an dan sunah Rasul. WalLâhu a'lamu bi’s
shawâb
Muhammad
Nidauddin
Post A Comment
Tidak ada komentar :