SIFAT MALU DALAM PERSPEKTIF ISLAM
SIFAT MALU DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Sebuah Studi Teoritis-Aplikatif
I. Pendahuluan
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah karuniakan kepada sebagian kamu dengan sebagiannya, karena bagi lelaki ada kelebihan yang Allah beri sesuai dengan usahanya, dan bagi perempuan ada kelebihan yang Allah berikan sesuai kodratnya, dan memohonlah kepada Allah akan karunia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap sesuatu". (QS. An-Nisâ': 32).
Wanita akan selalu menjadi insan yang selalu dihormati dan disayangi ketika dia mampu menjaga segala sifat-sifat mendasar di dalam dirinya dan menjalankan seluruh aktifitas sesuai dengan ketetapan Allah Swt.. Akan tetapi, yang menjadi kenyataan pada saat ini adalah ketika para wanita tidak lagi memegang nilai-nilai suci yang Allah ciptakan, bahkan mereka berusaha menghindar dari kodrat wanita tanpa memikirkan dampak negatif akan perbuatan tersebut. Sebagai contoh, wanita-wanita zaman sekarang enggan untuk menyusui, menjaga anak, melayani suami dan melakukan hal-hal rumah tangga lainnya yang sebenarnya adalah kewajiban wanita itu sendiri. Wanita sekarang juga sudah tidak lagi menjaga sifat asasinya (baca: malu) lantaran mereka lebih memikirkan karir dan popularitas ketimbang kehormatan mereka sendiri. Na’ûdzubilLâh.
Terlalu indah hidup ini ketika para wanita memegang sifat-sifat yang sebenarnya telah Allah ciptakan di dalam diri mereka. Malu adalah salah satu sifat tersebut. Tanpa malu keimanan seseorang dipertanyakan, karena ternyata malu adalah tanda kesempurnaan iman seseorang, bahkan di dalam Hadis disebutkan:
الحياء من اليمان ( رواه مسام )[1]
"Malu sebagian dari Iman". ( HR. Muslim).
الايمان بضع و سبعون, او بضع و ستون شعبة, فافضلها : لا اله الا الله, و ادناها اماطة الاذى عن الطريق, و الحياء شعبة من الايمان ( متفق عليه )[2]
"Iman itu terbagi tujuh puluh ataupun enam puluh cabang, yang paling tinggi tingkatannya adalah kalimat: " Lâ ilâha illa Allah " sedangkan yang paling rendah tingkatannya adalah menyingkirkan duri di jalan, dan Malu itu termasuk salah satu cabang iman". (HR. Muttafaqun alaih).
الحياء لا ياتي الا الخير ( رواه البخارى )[3]
"Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali hanya kebaikan semata". (HR. Bukhari).
Apa sih sebenarnya malu itu? Dimana dan pada siapa saja kita menempatkan rasa malu tersebut?Apakah malu menghambat kreatifitas wanita? dan bagaimana kisah wanita-wanita yang terukir namanya di dalam al-Quran karena sifat malu? Pada makalah singkat ini, penulis akan mengulas tentang sifat malu yang telah menjadi fitrah wanita ini, dan memberikan solusi terhadap masalah krisis malu yang sedang dilanda kaum wanita saat ini.
II. Definisi Malu
Hayâ' (Malu) secara etimologi adalah pecahan dari kata Hayâ ( nama hujan ), atau Hayâh yang artinya hidup. Maksudnya adalah dengan adanya hujan seluruh makhluk-makhluk di muka bumi ini dapat hidup, dengan kata lain malu diibaratkan kunci kehidupan di alam semesta. Jadi apabila seseorang tidak memiliki rasa malu berarti dia telah mati.[4] Ibnu Qoyim mengatakan bahwa "hati yang hidup adalah hati yang dihiasi oleh rasa malu yang sempurna".[5]
Hayâ juga berarti al-Ihtisyam, yang artinya marah dan menyakiti. Maksudnya adalah ketika kehormatan seseorang direndahkan ataupun sesuatu yang tidak layak untuk diperlihatkan kepada orang lain diperlihatkan, maka hal ini akan menimbulkan kemarahan ataupun menyakiti hati siempunya.[6] Hayâ bisa juga berarti Taubah dan al-Hasymah yang berati malu dan takut. [7] Pertanyaan Ali bin Abi Thâlib tentang madzi kepada Rasulullah adalah salah satu contoh al-Hasymah, sedangkan Taubah adalah rasa malu yang timbul diakibatkan kesalahan-kesalahan seorang hamba kepada Allah Swt. dan berjanji untuk tidak akan mengulanginya.
Hayâ' (malu) secara terminologi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak pantas, menjaga diri dari sesuatu yang melanggar hak-hak Allah Swt., ataupun menjauhkan diri dari segala sesuatu yang membuat takut, rendah diri dan hina di hadapan Allah Swt. ataupun orang lain.[8]
III. Klasifikasi Malu beserta Contoh-contohnya
Malu yang sering kita sebut-sebut ternyata bukan hanya sekedar perkataan ataupun di sebagian tingkah laku saja akan tetapi, malu ternyata sangat luas cakupannya. Musthafa Murad mengklasifikasikan malu ke dalam 3 bentuk yaitu:
1. Malu kepada Allah Swt..
2. Malu kepada diri sendiri.
3. Malu kapada sesama makhluk.
- Malu Kepada Allah Swt.
Malu kepada Allah adalah sifat yang sudah semestinya dimiliki oleh setiap makhluk-Nya di muka bumi ini, terkhusus manusia sebagai khalîfatulLâh fi’l `Ardlh. Malu kepada Allah dapat diwujudkan dengan prilaku tidak melanggar aturan-aturan Allah, berusaha untuk melaksanakan segala perintah Allah dengan tulus ikhlas. Seperti shalat, puasa, meninggalkan maksiat dan selalu mengintrospeksi diri dalam segala kesempatan. Taukah kita sebenarnya Allahlah yang sangat pemalu kepada hamba-hamba-Nya, terlebih kepada hamba yang menengadahkan tangan sambil berdoa kepada-Nya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam Hadis:
ان الله حيي كريم يستحيى ان يرفع الرجل اليه يديه ان يردهما صفرا خائبتين
( رواه الترمذى)
"Sesungguhnya Allahlah yang Maha Pemalu lagi Maha Mulia, Allah sangat malu untuk menolak permohonan seorang hamba-Nya yang menengadahkan kedua tangan sambil berdoa kepada-Nya sekecil apapun itu". ( HR. Turmuzi).
Dan tahu pulakah kita ternyata ketika mandipun, kita dianjurkan untuk menutupi 'aurat', karena Allah sangat malu dan menyukai sifat malu. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis:
ان الله حيي ستير, يحب الحياء و الستر, فاذا اغتسل أحدكم فليستتر( رواه احمد و ابو داود و النسائى )[9]
"Sesungguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Penutup (segala kejelekan makhluk-Nya) maka apabila kamu mandi, pakailah penutup ". (HR. Abu Ahmad, Abu Daud, Nasa'i).
Dari dua Hadis di atas tahulah kita betapa Allah sangat pemalu. Berkaca dari hadis tersebut pula sudah sepantasnya kita sebagai wanita Muslimah memiliki rasa malu, terlebih kepada Allah Swt.. Rasulullah sendiri memiliki rasa malu yang tinggi, sampai-sampai rasa malunya melebihi anak gadis yang dipingit. Para sahabat juga bisa mengetahui perubahan ekspresi wajah Nabi ketika ada sesuatu yang tidak beliau sukai.[10]
2. Malu Kepada Diri Sendiri
Malu terhadap diri sendiri adalah malu ketika kita dihadapkan dengan hal-hal pribadi dan bersifat tersembunyi. Seperti malu melakukan perbuatan maksiat di tempat umum, malu pada diri sendiri ketika memberi sesuatu kepada orang lain tidak sesuai kadar kemampuan, malu ketika menyimpang dari berbuat baik dan lain sebagainya. Diibaratkan orang yang malu terhadap dirinya sendiri adalah bagaikan malaikat dan iblis yang saling membisikkan antara satu dengan yang lainnya. Karena apabila dia mampu mengalahkan iblis berarti dia malu terhadap dirinya sendiri dan malu terhadap malaikat, karena diri sendiri dan malaikat berhubungan langsung dengan Allah bukan dengan manusia (tertutup), sedangkan ketika dia kalah dan jatuh pada perbuatan maksiat, maka hilanglah rasa malunya terhadap diri sendiri, malaikat begitu juga Allah.
Dikisahkan dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa Nabi Musa As. adalah seseorang yang pemalu. Hal ini terlihat pada kisah tsaubî al-Hijr berikut ini. Zaman dahulu kebiasaan mandi di sungai adalah suatu hal yang lumrah- walaupun sekarang juga masih dapat kita temukan di desa-desa atau daerah pedalaman- begitu juga yang dilakukan umat Nabi Musa As. (baca : Bani Israil), pada suatu hari ketika mereka mandi bersama-sama di sungai, Nabi Musa As. memilih tempat yang tersembunyi dan jauh dari kaumnya, karena malu auratnya terlihat (walaupun sesama laki-laki). Tindakan Nabi Musa As. seperti ini menjadi bahan omongan kaumnya, sampai-sampai mereka mengatakan bahwa tubuh Nabi Musa As. pasti terdapat penyakit kusta ataupun penyakit kulit yang berbahaya. Pada satu hari Nabi Musa As. mandi di tempat tersembunyi dengan melepaskan pakaiannya. Beliau meletakkan pakaiannya di atas batu, bisa jadi ini adalah kehendak Allah untuk membuktikan bahwa Nabi Allah adalah makhluk yang sempurna dari segi akhlak dan rupa. Bani Israil memang umat pembangkang, Nabi mereka pun diperolok-olokan. Karena ingin membuktikan penyakit kusta yang ada di tubuh Nabi Musa As. akhirnya mereka menyimpan pakaian Nabi Musa As. di tempat lain. Setelah selesai mandi dan ingin mengenakan pakaiannya, Nabi Musa As. sangat terkejut karena baju yang diletakkannya di atas batu hilang. Ketika berdiri, seluruh umatnya melihat tubuh Nabi Musa As. yang mulus, tidak ditemukannya cacat ataupun penyakit kulit yang menjijikkan. Kulit Nabi Musa As. bersih dari kotoran dan penyakit. Karena sangat malu akhirnya Nabi Musa As. berbicara pada batu:" Hai batu, berikanlah pakaianku!" singkat cerita Nabi Musa As. mendekati batu dan memukulnya beberapa kali untuk mendapatkan mukjizat dari Allah, dan akhirnya batu tersebut membawa baju Nabi Musa As. tersebut.[11]
- Malu Kepada Sesama Makhluk
Malu terhadap sesama makhluk yang Allah ciptakan di muka bumi ini adalah malu yang sering kita lakukan. Berhati-hatilah dengan malu seperti ini, karena jika malu karena akhluk (baca: manusia saja) hal ini bisa jatuh pada perbuatan riya' atau mengurangi keikhlasan kita kepada Allah. Akan tetapi, malu yang baik adalah malu yang dihiasi niat yang benar yaitu hanya karena Allah Swt.. Salah satu sifat terpuji dan akan diampuni dosanya oleh Allah adalah ketika seorang hamba melakukan perbuatan maksiat dia tidak menceritakan maksiat tersebut pada khalayak umum. Sebagaimana di dalam hadis disebutkan:
كل امتى معاف الا المجاهرون, و ان من المجاهرة ان يعمل الرجل باليل عملا ثم يصبح و قد ستر الله عليه فيقول : يا فلان عملت البارحة كذا و كذا, و قد بات يستره ربه, و يصبح يكشف ستر الله عنه
( رواه البخارى و مسلم )[12]
"Sesungguhnya seluruh umatku akan diampuni (pada hari kiamat) kecuali al-Mujahirun. (Apakah al-Mujahirun itu?), al-Mujahirun adalah orang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, (sampai terbitlah pagi). Sesungguhnya Allah telah mengetahui perbuatan (fulan tersebut) dan Allah juga yang menutupi perbuatan maksiatnya, akan tetapi justru (fulanlah) membuka satir yang telah Allah berikan kepadanya". (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas menjelaskan tentang kerugian orang-orang yang tidak memiliki rasa malu terhadap orang lain. Dia termasuk orang yang tidak tdampuni dosanya. Membeberkan aib dan maksiat yang telah dilakukan sama artinya mengajak orang untuk melakukan kejahatan yang serupa. Hal ini akan berakibat buruk pada kehidupan sosial masyarakat nantinya. Bukankah perbuatan buruk seseorang yang dilakukan karena meniru perbuatan kita akan ditimpakan dosanya kepada diri kita juga? Oleh sebab itu, malu terhadap sesama makhluk Allah adalah salah satu bentuk amal ma'ruf kita kepada orang lain yang dikemas dalam bentuk teladan yang baik.
IV. Kisah Dua Wanita Madyan yang Pemalu
Malu merupakan salah satu sifat yang pasti dimiliki oleh setiap Nabi dan Rasul. Sifat ini juga dimiliki oleh wanita-wanita yang mampu mempertahankan fitrah dan nalurinya dari zaman dahulu hingga zaman sekarang. Salah satu contoh yang termaktub dalam al-Quran adalah kisah dua wanita Madyan (putri Nabi Syu'aib As.). Dalam satu riwayat disebutkan Umar bin Khatab berkata: "Nama dua wanita Madyan tersebut adalah Liya dan Shafuriya anaknya Nabi Syu'aib",[13] sedangkan Abu Hayyân menyebutkan di dalam buku tafsirnya nama kedua wanita Madyan tersebut adalah 'Abra dan Shabura,[14] akan tetapi penulis tidak membahas hal ini secara detail, karena nama orang, ataupun nama tempat yang tidak disebutkan di dalam al-Quran dan Hadis adalah termasuk kisah-kisah Israiliyat.[15]. Kisah dua wanita Madyan tersebut yang tertera di dalam al-Quran adalah sebagai berikut:
"Dan tatkala Musa sampai di sumber air (di Madyan), dia menjumpai segerombolan orang yang sedang memberi minum ternaknya, dan dia melihat di belakang gerombolan orang banyak itu dua orang wanita yang sedang menghambat ternaknya. Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?", kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan ternak kami, sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan ternaknya, sedang Bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya". (QS. al-Qashas: 23).
Dari ayat di atas kita dapat ketahui sifat malu yang dimiliki oleh dua wanita Madyan. Thabari menceritakan bahwa air yang diperoleh untuk hewan ternak berada pada sumur yang tertutup batu yang sangat berat[16] dan Zamakhsyari juga menambahkan siapa yang kuat dialah yang bisa mendapatkan air.[17] Dua wanita Madyan tersebut dengan rasa malu yang dimikinya, tidak ingin berdesak-desakan dengan gerombolan laki-laki yang sedang memberi minum ternak mereka. Dengan sabar mereka menunggu sampai gerombolan laki-laki tersebut selesai. Setelah beberapa waktu menunggu, ternyata kedua wanita tersebut didatangi oleh seorang laki-laki yang baik yang tidak dikenal. Laki-laki tersebut bertanya: "Apa yang kalian lakukan disini?" dengan tegas mereka pun menjawab: " Kami tidak dapat meminumkan ternak kami, sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan ternaknya, Bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya". Kedua wanita Madyan tersebut dengan penuh rasa malu menjawab pertanyaan laki-laki yang menghampirinya itu. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa yang singkat, padat dan jelas.
Satu pertanyaan menarik tentang kedua wanita tersebut yang menjadi tanda tanya dalam benak kita adalah kenapa kok wanita keluar rumah untuk memberi minum pada binatang ternak, bukankah ini adalah pekerjaan laki-laki, apalagi kedua wanita tersebut adalah anak seorang Nabi? Jawabannya adalah karena mereka wanita-wanita yang berbakti kepada orang tua dan ini masuk pada masalah darurat. Qurtubi menambahkan bahwa kehidupan di desa berbeda dengan di kota dan ini bukan termasuk aib ataupun aturan dalam agama dan masyarakat mereka ketika itu.[18] Pelajaran menarik yang bisa kita ambil dari dua wanita Madyan tersebut adalah mereka wanita yang menjaga Iffah dan sifat malunya dihadapan laki-laki, tidak bersedak-desakan dan berbicara seperlunya ketika ditanya.
"Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku membutuhkan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan padaku ", kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan penuh rasa malu, dia berkata : "Sesungguhnya Bapakku memanggilmu untuk memberi balasan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami.". (QS. al-Qashas: 24-25).
Setelah mendapat pertolongan dari Musa, salah seorang dari wanita tersebut mendatangi Musa. Dia berjalan dengan penuh rasa malu serta menyampaikan maksud kedatangannya tersebut. Ayah mereka ingin bertemu laki-laki yang telah menolong anak gadisnya tersebut.
تمشى على استحياء
(berjalan dengan penuh rasa malu)
Memiliki beberapa tafsiran. Zamakhsyari menyebutkan تمشى على استحياء adalah مستحيية متخفرة berjalan dengan keadaan hati yang malu, dan tertutup, dikuatkan oleh Ibnu Katsir yang mengatakan wanita tersebut berjalan dengan pakaian yang sopan serta berbicara di balik penutup wajahnya (baca : cadar) tanpa menggunakan perhiasan.[19] Naisaburi menambahkan bahwa wanita tersebut sangat malu ketika berbicara dengan orang asing.[20] Sedangkan Qurtubi menyebutkan di dalam buku tafsirnya tentang riwayat yang mengatakan bahwa sebenarnya Nabi Musa As. lah yang menyuruh perempuan tersebut untuk berjalan di belakangnya, karena orang-orang Ibrani tidak biasa melihat dubur dan bagian tubuh belakang wanita.[21] Yang menjadi pelajaran bagi kita dari penafsiran ayat di atas adalah bagaimana laki-laki dan perempuan bisa saling menjaga rasa malu dan saling mengingatkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menjatuhkan muru'ah dan martabat manusia. Musthafa Murad menjelaskan lebih terperinci lagi akan hal ini dan bisa dipraktekkan dalam kehidupan wanita saat ini, yaitu tentang adab-adab wanita bila keluar rumah, baik dari adab berjalan wanita yang tegas alias tidak berlenggak-lenggok (bukan meniru laki-laki), memegang prinsip-prisip kesopanan dalam berpakaian, tidak berhias yang berlebihan, tidak meninggikan suara dan tidak pula memakai wangi-wangian.[22]
Ketika Musa mendatangi orang tua wanita tersebut, berceritalah Musa tetang apa yang telah menimpanya (melarikan diri dari Mesir karena serangan Fir'aun dan orang-orang zalim). Dengan rasa kasih sayang, bapak wanita tersebut (Nabi Syu'aib As.) berkata: "...Janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu telah selamat dari orang-orang zalim itu". (QS. al-Qashas:25).
Ada kisah menarik setelah kedatangan Musa ke rumah orang tua wanita Madyan tadi, sebenarnya ketika mereka berdua mendapatkan pertolongan dari Musa, sesampainya di rumah berceritalah salah satu wanita tersebut kepada ayahnya tentang laki-laki yang telah menolong mereka, dan dia pun berkata : "Wahai ayahku, ambilah dia sebagai orang yang bekerja pada kita, sesunggunya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. al-Qashas: 26).
Penggunaan kata-kata orang yang kuat lagi dapat dipercaya, bermakna bahwa Musa lah yang mengangkat batu di sumur ketika ingin memberi minum binatang ternak mereka, dan Musa juga yang menjaga perempuan tersebut hingga sampai ke rumah nya dengan keadaan aman tanpa cacat sedikit pun.
"Berkatalah dia (Nabi Syu'aib As.): "Sesungguhnya aku ingin menikahkan salah satu putriku kepadamu, atas dasar kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah suatu kebaikan darimu, akan tetapi aku tidak bermaksud memberatkanmu. Dan kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik." (QS. al-Qashas: 27).
Singkat cerita, wanita yang menceritakan kebaikan Musa dan berjalan di belakang Musa lah yang menjadi istri Musa As..[23] Kita bisa memperhatikan bagaimana Allah mempertemuakan orang-orang yang memiliki rasa malu yang tinggi dengan pasangan yang sama. Musa As. adalah lelaki yang pemalu (seperti diceritakan pada Hadis Bukhari sebelumnya) dan wanita Madyan adalah wanita yang pemalu juga (yang digambarkan di dalam al-Quran). Sebagai catatan kaum wanita muslimah saat ini adalah bagaimana kita mampu memelihara dan menghiasi diri kita dengan sifat malu, karena wanita yang cerdas adalah wanita yang sangat pandai melihat situasi dan kondisi, selalu membalas kebaikan orang lain, dan mampu menyimpan perasaan karena tingginya rasa malu yang dia miliki.
Pada zaman dahulu adat dan kebiasaan mereka adalah memberi upah pada orang yang telah bekerja pada mereka akan tetapi, ada gambaran menarik tentang psikologi wanita yang bisa kita dapatkan dari cerita di atas. Yaitu mayoritas wanita ketika melihat sesuatu yang terjadi di sekelilingnya, ataupun mengalami peristiwa yang dia sukai maka dia akan menceritakan hal tersebut pada orang terdekat ataupun orang yang dia percayai. Oleh sebab itu, dengan kepekaan perasaan orang tua terhadap anaknya, maka tidak salah tawaran yang disampaikan sang ayah kepada Musa As.untuk diangkat menjadi menantu pada keluarga mereka.
Mungkin akan timbul pertanyaan lagi dalam benak kita, Kenapa balasan orang yang memberi minum binatang gembalaan ataupun bekerja dirumah seseorang (dalam hal ini Nabi Syu'aib As.) akan mendapatkan upah berupa menikahi anak gadisnya? Kenapa bukan barang-barang berharga yang menjadi maharnya? Jawabannya adalah karena pada zaman itu belum disyariatkannya mahar, dan di zaman Rasulullah sendiri dibolehkan menikah dengan mahar, berupa mengajarkan al-Quran seberapa yang dia mampu. Sebagai contoh ada salah seorang sahabat yang menikah dengan mengajarkan 20 ayat dari surat al-Baqarah kepada wanita yang akan dinikahinya.[24] Dengan kata lain, menikah bukan harus dengan mahar yang berbentuk barang.
Pelajaran yang bisa kita ambil dalam kisah ini adalah betapa besar rasa malu yang dimiliki oleh dua wanita Madyan tersebut. Mulai dari malu berdesak-desakan dengan para lelaki, malu berjalan dengan laki-laki asing, malu berkata-kata yang tidak baik serta malu dalam mengungkapkan perasaannya. Pantaslah Allah Swt. mengagungkan kisah mereka di dalam al-Quran. Yang menjadi pertanyaan muslimah saat ini adalah sudah seberapa besar rasa malu yang ada dalam diri kita? Apakah benar kita termasuk golongan orang-orang yang malu?
Lanjutan edisi 2 : Malu Yang Terlarang
[1] An-Nawawy, Shahih Mislim bi Syarhi Imam Nawawi, vol.I, Maktabah al-Imân, Mansuroh, Mesir, hal. 218
[2] Imam an-Nawawî, Riyadh as-Shâlihin, Dar as-Salâm, Kairo, Mesir, cet. VI, 2008, , hal. 202-203
[3] Ibnu Hajar al-'Asqâlany, Fathu al-Bâry bi Syarhi Shahih Bukhari, vol I, Dâr al-Hadis, Kairo, Mesir, 1998, hal 93-94
[4] Mushtafâ Murâd, Khuluq al-Mukmin, Dâr al-Turats li al-Fajfi, Kairo, Mesir, 2005, hal. 90
[5] Ibnu Qoyim al-Jauziyah, Tahdzîb Madârij as-Sâlikîn, Dâr. Ibnu Haitsam, Kairo, Mesir, 2004, hal. 359
[6] Majma' Lughah 'Arabiyah, Mu'jam al-Wajîz, Jumhuriyyah Lughoh 'Arabiyyah, Kairo, Mesir, 2006, hal. 182
[7] Ibnu al-Mandzûr, Lisan al-'Arab, vol.II, Dâr al-Hadis, Kairo, Mesir, 2003, hal. 696
[8] Musthafa Murâd, op.cit., hal. 90
[9] Sunan Ahmad, vol. IV, hadis ke- 224, abu Daud hadis ke-1488, ibnu haban hadis ke- 2399, 2400
[10] Ibnu Hajar al-'Asqâlâny, op.cit., vol. X, hadis ke-6102, hal. 579
[11] ibid.., vol. I, hadis ke-278, hal. 457, Lihat juga an-Naway, op.cit., vol.II, hadis ke-339, hal. 227-228
[12] ibid., hadis ke-2152, lihat juga ibid., hadis ke-1703
[13] al-Qurtubî, Jâmi' li Ahkâm al-Quran, Maktabah as-Shafâ, vol. III, Kairo, Mesir, 2005, hal . 193
[14] Abu Hayyân al-Andalusî, Tafsir al- Bahru al-Muhith, vol.VII, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, Bairut, Lebanon, cet. 1, 2001, hal. 108
[15] Muhammad Abu Syahbah, al-Isrâiliyyât wa al-Maudû'ât, Maktabah as-Sunnah, Kairo, Mesir, 2004, hal. 233
[16] Ibnu Jarir at-Thabarî, Jami' al-Bayan 'an Ta'wil Ayât al-Quran, vol. VIII, Dâr as-Salâm, Kairo, Mesir, 2007, hal. 6372
[17] az-Zamakhsyarî, al-Kasyâf 'an Haqâiq at-Tanzîl wa 'Uyun al-Aqâwil fi Wujûh at-Ta'wîl, vol. III,
Maktabah Misr, Kairo, Mesir, hal. 440
[18] al-Qurtubî, op.cit., vol. III, hal. 192
[18] al-Qurtubî, op.cit., vol. III, hal. 192
[19] Ibnu Katsîr, Tafsir al-Quran al-'Adhîm, vol.III, Maktabah al-Îman, Manshurah-Mesir, 1996, hal. 142
[20] An-Naisâburî, Tafsîr al-Qusyairî musammâ Lathâif al-Isyârât, vol. II, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Bairut, Lebanon, Cet. I, 2000, hal. 43
[21] Al-Qurtubî, Op.cit, hal. 193,
[22] Musthafâ Murâd, op.cit., hal. 98
[23]Ahmad Bahjat, Abnâ Allah, cet. I, Dâr as-Syurûk, Kairo, Mesir, 1999, hal. 202
[24] al-Qurtubî, op.cit., hal. 195
Post A Comment
Tidak ada komentar :