Pernikahan Dalam Islam : Khitbah / Melamar
Pernikahan Dalam Islam : Mukadimah Nikah
Oleh : Nurleni Munir Miftah, Lc
II. Khithbah (Melamar)
- Definisi Khithbah
Menurut bahasa, khithbah berasal dari khathaba yang berarti meminta, memohon, melamar dan
meminang. Khithbah dalam pernikahan berarti permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikah dengannya.[1]
Sedang khithbah menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, meskipun pada hakikatnya sama. Menurut Malikiyah, khithbah adalah permintaan menikahi wanita. Menurut Syafi'iyah, ia adalah permohonan pelamar untuk menikahi wanita yang dilamar.[2] Wahbah Juhaili mendefinisikan khithbah sebagai bentuk keinginan laki-laki untuk menikahi wanita tertentu serta pemberitahuan hal tersebut pada walinya, baik secara langsung atau dengan perantaraan keluarganya (laki-laki).[3]
Berangkat dari definisi khitbah di atas, ketika makhtûbah dan keluarganya sepakat, maka ketika itu telah terjadi khithbah yang nantinya akan memberikan konsekuensi hukum tertentu.[4] Dengan demikian, khitbah bukan sebuah akad nikah yang dapat menghalalkan apa yang diharamkan. Ia hanya sebagai sebuah ‘perjanjian untuk akad nikah’, bukan ‘akad nikah’.[5]
- Macam-Macam Khithbah[6]
Islam mengenal dua macam khithbah. Pertama, secara langsung (tashrih[7]), seperti “aku ingin menikah denganmu” atau “saya meminta anak bapak untuk dinikahi”. Kedua, tidak langsung (ta’ridh[8] atau talmîh,) seperti “kamu sudah cukup umur untuk menikah” atau “saya sedang mencari gadis sepertimu” dan kalimat-kalimat yang semakna dengan ini.[9] Begitu juga dengan memberi hadiah.[10]
- Hukum Khitbah
Menurut Abdul Karim Zaidan,[11] hukum khithbah yang disepakati para ulama adalah sunat. Ini sejalan dengan pendapat yang dilontarkan Imam Syafi'i,[12] mengingat hikmah yang terkandung dalam khithbah sangat besar dan sangat membantu bagi kelangsungan rumah tangga nantinya.[13]
- Dalil Pensyariatan Khithbah
1. Al-Qur’an. Firman Allah Swt.:
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. al-Baqarah: 235)
2. Hadis Jabir yang diriwayatkan Abu Daud di atas.
3. Ijmak para ulama[14]
- Dasar Memilih Calon Istri atau Suami
1. Sifat-sifat calon istri:
a. Disunatkan menikahi perempuan yang taat beragama serta berakhlak karimah.[15] Sabda Nabi Saw.: “Wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agama. Pilihlah yang taat beragama agar engkau selamat[16]”. (HR. Jamaah kecuali Turmudzi)[17]
Begitu juga bagi wanita dianjurkan memilih calon suami yang taat beragama, sebagaimana diriwayatkan seorang laki-laki bertanya pada Hasan bin Ali: “Saya mempunyai seorang gadis. Menurut anda pada siapa saya menikahkannya? Hasan menjawab: nikahkan dia dengan laki-laki (taat) beragama. Jika dia (laki-laki) mencintainya, maka dia akan memuliakannya. Jika dia membencinya, dia tidak akan menzhaliminya”[18] Sabda Nabi Saw.: “Jika datang pada kalian seseorang yang engkau semua ridai agama dan perangainya melamar (putri)mu, maka kawinkahlah. Jika tidak, (hal itu) akan menimbulkan fitnah di muka bumi serta kerusakan yang besar”. (HR. Turmudzi)[19]
b. Disunatkan menikahi perawan, kecuali jika ada alasan lain untuk lebih mengutamakan janda, seperti berniat mengurus anak-anak yatim.[20] Hadis Nabi dari Jabir Ra. ketika dia telah menikah, Rasulullah berkata:
“Apakah kamu sudah menikah wahai Jabir? Jabir berkata: “saya berkata ‘ya’. Kemudian Nabi bertanya: (dengan) gadis atau janda?” Jabir menjawab: “saya berkata ‘janda’. Kemduan Nabi berkata: “kenapa kamu tidak (menikahi) gadis, kamu bersenda gurau dengannya dan diapun bersenda gurau denganmu”. (HR. Jamaah)[21]
Menurut al-Ghazali ada tiga faidah menikahi perawan. Pertama, mencintai dan menyayangi suaminya. Secara fitrah manusia akan betah dengan yang pertama kali mendampinginya. Sedang janda terkadang sebaliknya. Kedua, lebih dicintai suami, karena gadis akan takut dan menjauhi laki-laki selain suaminya. Terakhir, jika istrinya seorang gadis, dia tidak akan mengkhianati suaminya.[22] Begitu juga bagi wanita disunatkan menikah dengan jejaka.[23]
c. Keturunan banyak anak (walûdah). Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi Saw. melarang keras membujang (tabattul) dan menikahi wanita mandul. Diriwayatkan dari Ma’qal bin Yasar dia berkata, seorang laki-laki datang pada Rasulullah dia berkata:
“Sesungguhnya aku menemukan seorang perempuan terpandang tetapi dia mandul Apakah saya boleh menikahinya? Rasulullah melarangnnya. Kemudian lelaki itu datang lagi sampai tiga kali dan Nabi tetap melarangnnya. Kemudian Nabi berkata” Nikahilah wanita yang dicintai, keturunan banyak anak karena sesungguhnya umatku banyak”. (HR. Abu Dawud dan Nasai)[24]
d. Memilih calon istri yang cantik. Karena dengan itu lebih menundukkan pandangan, lebih tenang bagi jiwa dan lebih dicintai. Di sinilah terlihat hikmah disyariatkannya melihat wanita yang mau dinikahi sebelum dilamar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ketika Rasul ditanya tentang wanita yang paling baik, Rasul menjawab:
“(Wanita yang paling baik) dia adalah yang membahagiakan suaminya bila dilihat, mentaati suaminya bila diperintah serta tidak mengkhianati dirinya dan tidak juga pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya”. (HR. Nasai)[25]
Ketika khâthib menikahi makhthûbah-nya karena cantik, ini bukan sebuah cela. Cela ada ketika mendahulukan cantik dari agama dan akhlak. Menurut Syafi'iyah menikahi wanita yang sangat cantik, makruh hukumnya, karena dia akan sombong dengan kecantikannya.[26]
e. Berakal, karena tujuan nikah adalah hidup bersama. Hal ini tidak akan berjalan dengan baik kecuali pendamping hidupnya berakal. Selain itu, jika istrinya kurang akalnya maka akan berpengaruh terhadap keturunannya.[27]
f. Dari keturunan[28] serta lingkungan keluarga yang baik.[29] Karena seorang istri akan mendidik dan mengasuh anaknya.[30] Ada pribahasa “anakmu bukan anakmu, tapi anak zaman dan lingkungannya”
g. Bukan kerabat dekat. Pertama, pernikahan antara kerabat dekat akan melahirkan generasi-generasi yang lemah, baik secara fisik maupun psikis. Kedua, pernikahan tidak bisa dijamin kelanggengannya. Hal ini akan menimbulkan terputusnya silaturahmi.[31]
Menurut Mahmud Mahdi, semua yang dijelaskan di atas berlaku juga bagi wanita.[32]
h. Yang maharnya murah. Nabi bersabda: “Sebaik-baiknya wanita adalah yang paling cantik wajahnya serta paling murah maharnya”. (HR. Ibnu Hiban)[33]
i. Tidak lebih dari satu jika dengan itu sudah mampu menjaga kehormatan. Karena poligami akan mendorong seorang suami pada hal-hal yang diharamkan, seperti tidak berbuat adil.[34] Firman Allah: “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. al-Nisâ`: 3)
Hadis Nabi: “Barang siapa mempunyai dua istri dan ia condong terhadap salah satunya, maka ia (akan) datang pada hari kiamat sedang pundaknya condong”. (HR. al-Khamsah)
2. Sifat-sifat calon suami
Selain sifat-sifat yang telah disebutkan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika memilih calon suami:[35]
1. Mampu memberikan bâ`ah (jimak dan biaya rumah tangga).[36] Hal ini jelas tidaklah berlebihan karena ketika Fatimah binti Qais istisyârah pada Nabi, dia berkata: “Adapun Mu’awiyah dia adalh orang miskin, tak punya apa-apa”.
2. Lemah lembut terhadap istri. Ini juga bukan hal yang aneh. Dalam Hadis Fatimah Nabi pun berkata: “Sedang Abu Jaham tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid”.[37] Hadis ini merupakan anjuran untuk tidak memilih calon suami yang kasar dan suka memukul tanpa sebab. Kalau tidak demikian, maka Nabi tidak akan menasehati Fatimah dan menyarankannya untuk menikah dengan Zaid.
3. Sekufu[38]. Ini dimaksud supaya tidak terjadi keretakan dalam rumah tangga. Hal ini mengingat posisi suami yang sangat penting; sebagai pemimpin keluarganya (qawâm).[39]
Setelah pemaparan di atas, timbul satu pertanyaan; apakah kecondongan (cinta, red) termasuk salah satu pertimbangan syari’at dalam memilih calon suami atau istri? Dalam artian lain, apakah syariat membenarkan jika seorang wanita menolak lamaran karena tidak ada kecondongan pada sang pelamarnya? Atau, apakah cinta yang merupakan salah satu pondasi rumah tangga diperlukan sebelum nikah (akad) ataukah setelahnya? Menurut Hamid Ahmad Thahir, jawabannya adalah firman Allah: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. ar-Rûm: 21)
Wajhu al-Dilâlah:
Lafal “al-sakan” pada ayat di atas berarti kecondongan dan keramahan setelah jimak. Artinya, ketentraman jiwa yang dijanjikan Allah Swt. adalah ada setelah nikah (setelah jimak), bukan sebelumnya. Setelah timbul ketentraman, maka akan datang cinta dan kasih sayang. Karena tidak akan ada kasih sayang kecuali setelah timbulnya cinta. Cinta yang sebenarnya adalah cinta setelah menikah dan merasakan ketentraman, bukan sebelumnya. Karena perasaan yang timbul sebelum nikah hanyalah sebuah fatamorgana. Ia terlihat indah tapi kenyataannya tidak ada. Karena ia tidak bisa dirasakan dan dimiliki. Atau bisa dimilki, tapi kepemilikan itu menimbulkan konsekuensi dosa dari zina hati yang dilarang agama.
Meski demikian, --menurut hemat penulis, bukan hal dilarang ketika kecondongan dijadikan salah satu alasan menerima atau menolak lamaran. Karena yang jadi terpenting adalah tidak menjadikan ada dan tidak ada kecintaan menjadi satu-satunya alasan untuk tidak menerima tawaran menikah. Pandangan penulis ini dengan beberapa argumen di antaranya:
1. Perintah melihat yang dilamar atau yang melamar merupakan satu isyarat dibolehkannya menerima atau menolak lamaran karena tidak ada kecondongan untuk menerimanya.
2. Karena dengan adanya kecondongan tersebut khâthib dan makhthûbah setidaknya mempunyai keyakinan yang kuat mereka bisa berjalan beriringan meniti jalan-Nya dengan pernikahan sehingga dengan kecondongan itu akan melahirkan generasi-generasi Islam yang diinginkan serta mampu mewujudkan hikmah disyariatkan nikah.
- Hikmah Khithbah
Di antara hikmah khithbah adalah:
1. Memberikan kesempatan yang cukup bagi wanita yang dilamar, keluarganya dan para walinya untuk mengetahui keadaan si pelamar dan hal-hal penting lain yang ingin diketahui darinya, seperti loyalitasnya terhadap agama, akhlaknya dan yang lainnya.[40] Selain itu, untuk mengetahui kecondongan kedua belah pihak yang akan mengantarkannya pada satu pandangan dan satu kesepahaman serta dengan itu memungkinkan mereka untuk hidup dan melangkah bersama mengarungi bahtera rumah tangga.[41]
2. Sebagai wujud perhatian terhadap urgensi akad nikah dan keterlibatan keluarga wanita di dalamnya.[42]
3. Memberikan kesempatan bagi si pelamar untuk mengetahui lebih jauh wanita yang ingin dinikahinya. Meksipun secara adat si pelamar pasti mengetahui yang dilamarnya dan keluarganya, tetapi terkadang dia tidak mengetahui lebih jauh sifat dan tabiat yang dilamarnya.[43] Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap kelangsungan rumah tangga yang ingin dijalaninya.
- Wanita yang Boleh Di-Khithbah
Pada bahasan ini, kaidah yang dipakai adalah ‘setiap wanita yang boleh dinikahi, maka dia boleh di-khithbah, begitu juga sebaliknya’. Dengan demikian, ada dua syarat yang harus dipenuhi ketika meng-khitbah:
1. Makhthûbah bukan wanita yang dilarang menikahinya, baik itu karena sudah bersuami atau dia adalah wanita yang haram dinikahi selama-lamanya.[44]
Bagaimana dengan wanita yang sedang idah?
Wanita yang ada dalam masa idah boleh di-khithbah, dengan syarat tidak secara langsung (tashrîh).[45] Secara rinci, ada tiga macam wanita yang berada dalam masa idah[46]:
a. Tidak boleh di-khithbah sama sekali, baik dengan tashrîh ataupun dengan ta’rîdh, yaitu wanita yang ditalak rujuk,[47] karena secara hukum ia masih sebagai istri.[48]
b. Boleh di-khithbah dengan ta’rîdh, tapi tidak dengan tashrîh, yaitu wanita yang cerai ditinggal mati, fasakh karena istrinya ternyata saudarinya sesusu, karena li’ân[49] atau karena hal lain yang dapat menghalangi nikah. Pada kondisi seperti ini, khâthib hanya boleh melamarnya dengan ta’rîdh.[50] Firman Allah Swt.:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. al-Baqarah: 235)
Bagaimana dengan wanita yang ditalak tiga? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Hanabilah membolehkan ta’rîdh[51] Sedang Hanafiyah tidak membolehkan sama sekali, karena akad nikah pada waktu idah masih ada dari satu sisi, dengan bukti hukum dari nikah itu masih ada, yaitu idah. Keberadaan hukum dari satu sisi sama dengan keberadaannya dari semua sisi.[52]
Selain itu, tidak diperbolehkan mengikat janji untuk menikahinya setelah selesai idah.[53] Firman Allah.:“Dalam pada itu, janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (baik)”. (QS. al-Baqarah: 235)
Menurut Malikiyah, hal ini tidak diperbolehkan hanya jika perjanjian itu datang dari kedua belah pihak, sedang jika datang dari salah satunya, maka hukumnya makruh.[54] Menurut Abdul Karim Zaidan, meski demikian yang benar adalah haram dengan dalil ayat di atas.[55]
c. Bâin.[56] Dalam kondisi seperti ini, bekas suaminya boleh meng-khithbah-nya baik dengan tashrîh ataupun ta’rîdh. Apakah bagi selain bekas suaminya dibolehkan? Pada permasalahan ini para ulama berbeda pendapat. Syafi'iyah ada dua pendapat. Pertama, boleh dengan dalil keumuman ayat serta karena dia bâin, maka sama hukumnya dengan talak tiga. Kedua, tidak boleh karena suaminya lebih berhak dari yang lain, seperti halnya talak rujuk.[57]
Apabila hukum khithbah seperti yang dijelaskan di atas, bagaimana dengan hukum menerima atau menolaknya? Menurut Syafi'iyah dan Hanafiyah, hukumnya sama dengan khithbah. Jika melamarnya dengan tashrîh tidak boleh, begitu juga hukum menjawabnya. Bila dibolehkan, maka menjawabnyapun demikian. Begitu seterusnya.[58]
Di antara hikmah pengharaman khithbah pada waktu idah adalah karena hal itu akan menimbulkan permusuhan di antara khâthib, wanita dan bekas suaminya (kecuali yang ditinggal mati).[59]
2. Tidak sedang dalam lamaran orang lain.[60] Dalam kondisi ini, keadaan makhthûbah tidak akan terlepas dari tiga hal:[61]
a. Menerima lamaran dengan jelas (tashrih), ada kecenderungan serta mengizinkan walinya untuk menerima lamarannya. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki yang lain (selain khâthib) tidak diperbolehkan melamarnya, [62]bahkan diharamkan.[63] Begitu juga orang yang membantu laki-laki selain khâthib untuk melamarnya.[64] Dengan alasan hal itu menyakiti khâthib pertama dan akan menimbulkan permusuhan serta kebencian di antara keduanya. Selain itu, melamar di atas lamaran orang lain bertentangan dengan Hadis Nabi Saw.:
“Tidak melamar salah satu dari kamu di atas lamaran saudaranya sampai dia menikah atau meninggalkannya”. (HR. Bukhari dan Nasai)[65] Dalam riwayat yang lain sisebutkan: “… atau mengizinkan khâthib kedua (untuk meng-khitbah-nya)”. (HR. Bukhari dan Nasai)[66]
Zahir Hadis di atas menunjukkan larangan melamar di atas lamaran orang lain, bila khâthib pertama adalah orang Islam. Sedang bila khâthib pertama berlainan agama, maka boleh bagi selain khâthib pertama melamar wanita tersebut, karena di antara muslim dan non muslim tidak ada tali persaudaraan.[67] Begitu juga jika khâthib pertama orang fasik.[68]
Apabila selain khâthib pertama melamarnya, hingga akhirnya menikahinya, maka nikahnya tetap sah,[69] tapi berdosa.[70] Menurut Jumhur, hal ini mengingat larangan khithbah tidak termasuk syarat sah nikah.[71]
Bagaimana jika khithbah datang dari pihak wanita? Masalah ini sama dengan masalah di atas, kecuali jika makhtûb-nya berniat poligami.[72]
b. Menolak dan tidak ada kecenderungan sama sekali. Pada kondisi ini tidak ada larangan bagi selain khâthib untuk melamarnya.[73] Senada dengan apa yang dialami Fatimah binti Qais. Setelah ditalak tiga oleh suaminya, dia menemui Rasulullah serta menceritakan bahwa Mu’awiyah dan Abu Jaham melamarnya, Rasul berkata: ”Adapun Mu’awiyah dia adalah orang miskin, tidak punya apa-apa. Sedang Abu Jaham dia tidak meletakkan tongkat dari pundaknya. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid”. (HR. Bukhari dan Muslim) Setelah itu Rasulullah melamar Fatimah untuk Usamah. Pada kondisi ini, jika khithbah yang lain dilarang, maka akan merugikan pihak wanita. Tidak ada yang berhak melarang wanita untuk menikah kecuali dengan lamaran yang datang padannya[74] dan dia menerimanya. Kedatangan Fatimah pada Rasulullah merupakan indikasi bahwa Fatimah tidak menerima lamaran dari keduanya serta indikasi bahwa dia ingin meminta pendapat Rasul untuk menolak keduanya.[75]
c. Antara kondisi pertama dan kedua. Maksudnya, terlihat tanda-tanda menerima tapi tidak dengan terang-terangan (tashrîh). Menurut Hanabilah kondisi ini sama dengan kondisi pertama.[76] Sedang menurut Syafi'iyah sama dengan kondisi kedua.[77] Menurut Shan’ani, yang paling sahih adalah sama dengan kondisi kedua.
Bagaimana kalau pihak wanita masih dalam tahap musyawarah atau masih ragu; menerima atau menolak? Menurut Hanafiyah, lamaran khâthib kedua hukumnya makruh, dengan dalil keumumam Hadis pada kondisi pertama.[78] Sedang Jumhur membolehkannya, dengan dalil Hadis Fatimah binti Qais.[79] Menurut Wahbah Juhaili yang paling kuat adalah pendapat jumhur.[80] Meski demikian, diharapkan bagi khâthib kedua untuk menunggu keputusan yang jelas dari lamaran yang pertama.[81]
- Membatalkan Khithbah
1. Hukum Membatalkan Khithbah
Khithbah adalah sebuah perjanjian di antara kedua belah pihak (khathib dan makhthubah). Meskipun ia merupakan janji yang konsekuensinya adalah memenuhi apa yang dijanjikan, Islam tetap membolehkan membatalkannya, baik itu datang dari khâthib atau dari makhthûbah.[82] Menurut Sayid Sabiq, membatalkan khithbah tidak termasuk khianat yang menjadi salah satu ciri orang-orang munafik,[83] selama hal itu didasarkan pada alasan serta pertimbangan-pertimbangan syariat.
Menurut Hanabilah, seorang wali berhak menolak dan menerima lamaran anak gadisnya bila dia mempunyai hak wali ijbâr[84] dan atas dasar maslahat bagi anak gadisnya.[85]Apabila sebaliknya, maka wanita lebih berhak dari pada walinya. Demikian juga jika wali menerima lamaran anak gadisnya, sedang dia menyukai dan memilih selain khâthib yang melamar melalui ayahnya. Pada kondisi seperti ini yang didahulukan adalah pilihan anaknya, yang berarti secara otomatis mengugurkan lamaran pertama.[86] Karena khithbah adalah masa yang dikhususkan untuk memikirkan dan memilih pendamping hidup, baik itu bagi khâthib sendiri ataupun bagi makhthûbah-nya.[87]
Ringkasnya, membatalkan khithbah hukumnya boleh. Ia makruh jika tanpa sebab yang jelas dan dibenarkan menurut syariat,[88] seperti ditakutkan tidak bisa menjaga hati atau menimbulkan fitnah bagi diri dan agamanya. Ini adalah pendapat yang dipegang Jumhur Ulama. Sedang Malikiyah berpendapat, bahwa membatalkan lamaran termasuk khianat (tidak menepati janji). Dengan dalil firman Allah Swt.: “… dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. al-Isrâ`: 34)
Menurut Dr. Fikriyah Ahmad Sayid, kedua pendapat di atas (Jumhur dan Malikiyah) masih perlu pertimbangan dan pemisahan antara lamaran yang sudah lama dan yang baru beberapa waktu.[89]
1. Lamaran yang sudah lama
Pada kondisi pertama ini, sejatinya pelamar tidak membatalkan lamarannya. Karena hal ini akan mencemari nama makhthûbah dan keluarganya serta menimbulkan pertanyaan bagi orang lain. Dalam artian lain, si pelamar sejatinya tetap membuktikan janjinya (menikahi makhthûbah) selama hal tidak ada uzur syar’i atau hal-hal yang memadaratkan bagi kedua belah pihak. Jika sebaliknya, maka membatalkan nikah lebih baik dari pada mempertahankannya.
2. Lamaran yang baru sebentar
Pada kondisi ini, si pelamar boleh membatalkan lamarannya. Hal ini senada dengan pendapar Jumhur Ulama di atas tadi.
Menurut Hamid Ahmad Thahir, ada beberapa hal yang menjadi faktor pendorong terjadi pembatalan khithbah, di antaranya: tergesa-gesa dalam melamar atau menerimanya tanpa pertimbangan yang matang; terlalu banyak ikhtilâth (bercampur-baur) antara khâthib dan makhthûbah-nya; krisisi ekonomi seperti deflasi yang tinggi; terlalu banyak persyaratan yang harus dipenuhi antara kedua belah pihak; pertimbangan-pertimbangan duniawi; dan lain sebagainya.[90]
Maka dari itu, sebelum menerima lamaran, sejatinya seorang wanita memikirkannya dengan matang dan penuh pertimbangan, apalagi ketika ternyata dirinya belum siap berumah tangga. Menolak lamaran karena uzur yang jelas lebih baik dari pada membatalkan lamaran karena menginginkan yang dianggapnya lebih baik dari khâthib-nya. Lebih jauhnya, membatalkan lamaran karena sesuatu yang dibenarkan lebih baik dari pada berpisah setelah menikah.
2. Konsekuensi Pembatalan Khithbah, Kaitannya dengan Hal-hal yang Diberikan Khâthib Pada Makhthûbah atau Walinya
Jika pembatalan khithbah terjadi, maka konsekuensi yang timbul kaitannya dengan barang yang diberikan khâthib adalah sebagai berikut:
a. Jika yang diberikan itu disepakati atau adat menganggapnya sebagai mahar (maskawin), baik sebagian ataupun seluruhnya,[91] para ulama sepakat, hal itu dihukumi sebagai mahar. Dengan itu, Khâthib berhak meminta kembali seluruhnya. Jika ternyata sudah rusak dengan sendirinya atau karena dipakai, maka dia berhak meminta gantinya. Begitu juga jika khathib meninggal dunia, maka ahli warisnya boleh memintanya kembali,[92] dengan dalil khithbah bukan akad nikah. Ia hanya sebagai janji nikah. Dengan itu, makhthûbah hanya berhak memilikinya jika akad nikah terlaksana, bukan hanya dengan janji nikah semata.[93]
b. Jika yang diberikan dianggap sebagai hadiah atau hibah biasa, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyah, jika masih utuh seperti perhiasan, khâthib berhak memintanya kembali. Jika ternyata sudah rusak, baik dengan sendirinya atau karena dipakai, maka khâthib tidak berhak meminta ganti apapun bentuknya.[94]
Menurut Malikiyah, Jika khâthib memberi atau membelanjakan sesuatu bagi makhthûbah-nya, kemudian ternyata makhthûbah-nya menikah dengan orang lain, menurut pendapat yang terkuat, khâthib berhak meminta kembali apa yang diberikannya, kecuali jika karena adat atau syarat.[95]
Menurut Syafi'iyah, jika masih utuh, khâthib berhak meminta kembali apa yang dihadiahkan dan yang dihibahkannya. Jika ternyata sudah rusak, maka khâthib berhak meminta gantinya.[96] Pendapat ini adalah yang difatwakan Atiyah Shaqar dan Muhammad Mutawali Sya’rawi.[97]
Menurut Hanabilah, apa yang dihadiahkan khâthib tidak boleh diminta kembali, baik pembatalan khitbah-nya dari khâthib maupun dari makhthûbah, karena apa yang diberikan khâthib adalah hadiah. Meminta kembali hadiah tidak dibolehkan, kecuali apa yang dihadiahkan seorang ayah bagi anaknya.[98] Ini adalah yang difatwakan Ali Jum’ah.[99]
Menurut para ulama, pendapat yang paling kuat adalah pendapat Malikiyah. Bila pembatalan khithbah datang dari khâthib, maka dia tidak berhak memintanya kembali meskipun masih utuh. Jika pembatalan dari makhthûbah, maka khâthib berhak meminta semua apa yang dihadiahkannya.[100] Menurut Atiyah Shaqar, pendapat ini lebih pantas dan pas untuk difatwakan. Tapi jika adat kebiasaan berbicara lain, maka ketika itu permasalahan dikembalikan pada kesepakatan dan kebiasaan masyarakat setempat.[101] Sedang menurut Wahbah Zuhaili, pendapat yang terkuat adalah pendapat Hanabilah.
3. Ganti Rugi Akibat Pembatalan Khithbah
Jika khâthib atau makhthûbah membatalkan lamaran, dan pihak yang lain (khâthib atau makhthûbah) merasa dirugikan, baik itu kerugian materi atau non materi seperti pencemaran nama baik dan hilangnya kesempatan menerima lamaran yang datang ketika masih dalam lamaran (bagi makhthûbah), apakah pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi? Dalam hal ini ulama kontemporer berbeda pendapat. Menurut Abdul Karim Zaidan, ada dua kemungkinan akan terjadi:[102]
Pertama, yang dirugikan adalah pihak yang membatalkan
Pada kondisi ini, pihak yang membatalkan menanggung kerugian yang diakibatkannya, meskipun pembatalannya itu dengan alasan yang bisa diterima. Hal ini disebabkan pertimbangan yang belum matang ketika ia mengajukan lamarannya. Begitu juga halnya jika yang membatalkan adalah makhthûbah sendiri atau walinya
Kedua, yang dirugikan adalah pihak yang dibatalkan (kháthib atau makhthûbah)
Pada kondisi ini, pihak yang dirugikan tetap tidak bisa menuntut ganti rugi, baik itu pembatalan karena alasan yang diterima ataupun tidak. Karena pihak yang membatalkan mengambil haknya yang diberikan syariat, yaitu membatalkan lamaran yang telah diajukannya (bagi khâthib) dan membatalkan lamaran yang telah diterimanya (bagi makhthûbah). Hal ini senada dengan kaidah fikih, al-jawâz al-syar’iy yunâfî al-dhâman. Bahwa apa yang dibolehkan syariat secara otomatis menafikan adanya tanggungan. Selain itu, kerugian yang ditimbulkan dari pembatalan lamaran ini tidak termasuk madarat yang disinyalid dalam Hadis Nabi sekaligus kaidah fikhiyah, bahwa madarat itu mesti dihilangkan. Karena kedua belah pihak sejatinya mengetahui bahwa masa lamaran adalah masa yang masih erlatif; bisa jadi sampai nikah dan bisa juga tidak. Sehingga dengan itu tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan penyesalan apabila pernikahan tidak jadi dilangsungkan.
Sebagian ulama berpendapat,[103]bahwa pihak yang menyebabkan kerugian wajib menggantinya, meski pembatalan itu hak yang diberikan syariat.Karena pengambilan hak tidak dibenarkan jika menimbulkan madarat bagi orang lain. Madarat atau kerugian yang ada bisa hilang dengan pembayaran ganti rugi bagi pihak yang dirugikan. Adapun ukuran ganti rugi yang wajib dibayar diserahkan pada hakim. Hal ini mengingat besar kecil kerugian berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, antara satu zaman dengan zaman yang lain. Begitu juga antara satu adat dengan adat yang lain.
Menurut Dr. Fikriyah, pendapat kedua ini lebih adil dibanding dengan pendapat yang pertama (Abdul Karim Zaidan). Karena meskipun hak mengambil hak tidak mewajibkan tanggungan, tapi hal itu tetap saja tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Selain itu, Muhammad Abu Zuhrah mengatakan,[104] pihak yang dirugikan berhak meminta ganti apabila yang membatalkan terlibat dengan hal-hal yang bisa menimbulkan kerugian tersebut. Misalnya: (1) makhthûbah meminta sarana tertentu dari khâthib-nya. (2) khâthib meminta makhthûbvah untuk meninggalkan pekerjaannya. Dari contoh di atas, maka ketika makhthûbah membatalkan lamaran, khâthib berhak meminta ganti rugi. Begitu juga sebaliknya
- Permasalahan Lain Seputar Khithbah
Ada beberapa hal penting yang mesti diperhatikan sebelum nikah, yaitu:
1. Memeriksakan jaringan reproduksi kedua belah pihak pada dokter muslim yang dipercaya.[105] Kedua, menghindari komunikasi langsung, baik melalui, telpon, SMS, internet atau sarana lain yang dapat mengubah masa khthbah menjadi masa kasmaran dan pacaran yang diharamkan. Ketiga, menjauhi perkataan yang dapat membangkitkan syahwat atau hal-hal lain yang dilarang syariat.[106]
2. Wali menawarkan anak perempuannya atau seorang perempuan menawarkan dirinya pada laki-laki yang jelas-jelas diketahui salehnya hukumnya boleh. Diriwayatkan bahwa seorang perempuan datang menemui Rasul menawarkan dirinya, ia berkata:
Wahai Rasulullah apakah engkau membutuhkanku? Anak perempuan Anas berkata: “alangkah kecilnya rasa malunya dan alangkah jelehknya. Alangkah jeleknya”. Rasul berkata: “ia lebih baik darimu; mencintai Nabi dan menawarkan diri baginya”.[107]
Hadis ini menunjukkan kebolehan wanita menawarkan dirinya pada laki-laki saleh, begitu juga walinya meskipun yang ditawari tu beristri. karena Abu Bakar ketika ditawari oleh Usman untuk menikah dengan Hafsah, ia telah beristri.[108] Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ketika Hafsah binti Umar menjanda, Umar menawarkannya pada Usman, kemudian pada Abu Bakar dan akhirnya Rasul menikahinya.[109] Hadis ini sejalan dengan firman Allah Swt.: “Berkatalah dia (Syuaib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun…”. (QS. al-Qashash: 27)
Lanjutan Edisi Kedua : Pernikahan Dalam Islam : Pernikahan
[1] Jamaluddin Muhammad Ibnu Makram Ibnu Mandzur, Lisânu’l ‘Arab, vol. V, Dâr Shâdir, Beirut, cet. I, 2000, hal. 98. lih juga Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 330.
[3] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6492. lih juga Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 66.
[6] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, ibid., hal. 6492. lih juga Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, Tuhfatu’l ‘Arûs, Dâru’l Fajr li al-Turâts, Kairo, cet. I, 2004, hal. 80.
[7] Tashrih adalah kalimat yang jelas dan pasti menunjukkan keinginan untuk menikah. Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 331. lih juga Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 526.
[8] Ta’ridh adalah kalimat yang menunjukkan keinginan untuk menikah atau sebaliknya. Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, ibid., hal. 331 dan Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, al-Jâmi’u li Ahkâmi’l Qur’ân, vol. II, Dâru’l Hâdîts, Kairo, 2002, hal. 160.
[10] Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, op. cit., hal. 161. dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 312.
[14] Dr. Su’ad Ibrahim Shaleh, Adwâ` ‘alâ Nizhâmi’l Usrah fî’l Islâm, Dâr al-Dhiyâ`, Kairo, 1989, cet. III, hal. 50.
[15] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmi al-Dîn, vol. II, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo, hal. 57.
[16] Fazhfar bizdâti al-dîn taribat yadâk maksudnya beruntunglah kamu dengan wanita yang taat beragama dan janganlah berpaling melihat harta (memilih wanita yang kaya) Lih. Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Tuhfatu’l ‘Arûs au al-Zawâj al-Islâmiy al-Sa’îd, Dâru’l Ma’ârif, Riyadh, cet. I, 2006. footnote hal. 46.
[17] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 468. lih juga Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathu’l Bâriy bi Syarhi Sahîhi’l Bukhâriy, vol. IX, Dâru’l Hâdîts, Kairo, 2004, hal. 155, Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 307-308, Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani Al-Azdari, op. cit., hal. 874, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 370, dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 597.
[21] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 140, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, op. cit., hal. 309 dan 190, Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani Al-Azdari, op. cit., hal. 874, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 370, Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 225, dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 598.
[24] Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 875 dan Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 374.
[25] Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, Ibid., hal. 377 dan Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 468-469.
[27] Ibid., hal. 317 dan Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 469. Yang dimaksud berakal di sini adalah lebih dari akal yang menjadi objek taklif syariat.
[28] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 469 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, Ibid., hal. 316.
[31] Ibid., hal. 62. lih. juga Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 469 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 316.
[33] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op. cit., hal. 60 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 317
[44] Ibid., hal. 62 dan Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsîru Ayâti’l Ahkâmi mina’l Qur’âni, vol. I, Dâr al-Shâbûnî, Kairo, 1999, hal. 266.
[45]Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524, Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Mausû’atu’l Um, vol. V, Maktabah Taufiqiyah, Kairo, hal. 69 dan 315, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6498, Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 313 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal.331
[48] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 525 dan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6499.
[49] Li’ân adalah tuduhan zina seorang suami terhadap istrinya, sedang dia tidak mengaku tuduhan tersebut, begitu juga suaminya tidak menarik kembali tuduhannya. Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 72.
[50] Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 266-267, Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 63, Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524-525 dan Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, op. cit., hal. 160.
[56] Maksud di sini adalah ba`in shugrâ. Ia adalah wanita yang dalam idah tapi masih halal dinikahi bekas suaminya seperti mukhtali’ah dan bâin karena fasakh baik itu karena suaminya pergi entah ke mana atau karena dia jatuh miskin. Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 525
[58] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 65 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, ibid., hal. 332.
[61] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520 dan Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 67
[62] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 520, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 230 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 332
[63] Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 15, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6493 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 313
[65] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 231, Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 214, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 382, Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 284 dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 600.
[66] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 229, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, ibid., hal. 212, Abu Daud Sulaiman Ibnu al- Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 890 dan Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, ibid., hal. 382
[67] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 229, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, ibid., hal. 215, Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamani al-Shan’ani, op. cit., hal. 155 dan Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, op. cit., hal.494.
[71] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, op. cit., hal. 493 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 314.
[72] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 333 dan lih. juga Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, op. cit., hal. 231.
[73] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520. Lih. juga, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 230 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 314.
[82] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 74 dan lih juga Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 66.
[84] Wali ijbâr adalah wali yang berwenang menikahkan anak gadisnya tanpa perlu meminta izinnya terlebih dahulu pastinya dengan syarat-syarat tertentu. Lebih lengkapnya lih. Dr. Raja Ahmad Ahmad, Dirâsa li’l Madzhab al-Syâfi’iy fi’l Zawâj wa Ahkâmihi, Diktat kuliah Syariah Islamiyah Puteri III, Universitas al-Azhar, 2005-2006. hal. 60-71.
[87] Syekh Ali Jum’ah, al-Kalim al-Thayyib, Fatâwâ ‘Ashriyyah, Dâru’l Salâm, Kairo, cet. I, 2005, hal. 341.
[89] Lih. Dr. Fikriyah Ahmad Sayid, al-Ahwal al-Syakhshiyyah fî al-Syari’ati’l Islâmiyyah, Diktat Kuliah Univ. al-Azhar, Fak. Syari’ah Islamiyah, Tk. II, Th. 2005-2006, hal. 62-64. Lama dan sebentarnya waktu lamaran (jarak antara nikah dan lamaran) tergantung adat kebiasaan yang berlaku. Karena bisa jadi apa yang dianggap lama menurut yang satu belum tentu lama bagi yang lainnya. Begitu juga sebaliknya.
[93] Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, op. cit., hal. 86-87, Lih. Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 74-76, lih. Syekh Ali Jum’ah, op. cit., hal. 358, Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 66, Atiyah Shaqar, op. cit., hal. 100 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 318
[94] Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 75, lih juga Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, ibid., hal 87, Atiyah Shaqar, ibid., hal. 101, Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, ibid., hal. 66 dan Al-Sayyid Sabiq, ibid., hal. 319.
[95]Maksudnya bila kedua belah pihak mensyaratkan serta adat yang ada mengatakan, jika pembatalan khitbah datang dari pihak makhtûbah dan biasanya khâtib berhak meminta kembali apa yang diberikannya, maka hukum itu yang mesti diambil. Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 75.
[103] Dr. Fikriyah Ahmad Sayid, al-Ahwal al-Syakhshiyyah fî al-Syari’ati’l Islâmiyyah, op. cit., hal. 69-70.
[105] Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, op. cit., hal. 88 dan lebih lengkap lih. Mahmud Mahdi al-Istanbuli, op. cit., hal. 53-54.
[107]Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 201. lih. juga Sunanu al- Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 387. Ini lafal Bukhari.
[109] Ibid., hal. 202. Lih. juga Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 386.
II. Khithbah (Melamar)
- Definisi Khithbah
Menurut bahasa, khithbah berasal dari khathaba yang berarti meminta, memohon, melamar dan meminang. Khithbah dalam pernikahan berarti permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikah dengannya.[1]
Sedang khithbah menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, meskipun pada hakikatnya sama. Menurut Malikiyah, khithbah adalah permintaan menikahi wanita. Menurut Syafi'iyah, ia adalah permohonan pelamar untuk menikahi wanita yang dilamar.[2] Wahbah Juhaili mendefinisikan khithbah sebagai bentuk keinginan laki-laki untuk menikahi wanita tertentu serta pemberitahuan hal tersebut pada walinya, baik secara langsung atau dengan perantaraan keluarganya (laki-laki).[3]
Berangkat dari definisi khitbah di atas, ketika makhtûbah dan keluarganya sepakat, maka ketika itu telah terjadi khithbah yang nantinya akan memberikan konsekuensi hukum tertentu.[4] Dengan demikian, khitbah bukan sebuah akad nikah yang dapat menghalalkan apa yang diharamkan. Ia hanya sebagai sebuah ‘perjanjian untuk akad nikah’, bukan ‘akad nikah’.[5]
- Macam-Macam Khithbah[6]
Islam mengenal dua macam khithbah. Pertama, secara langsung (tashrih[7]), seperti “aku ingin menikah denganmu” atau “saya meminta anak bapak untuk dinikahi”. Kedua, tidak langsung (ta’ridh[8] atau talmîh,) seperti “kamu sudah cukup umur untuk menikah” atau “saya sedang mencari gadis sepertimu” dan kalimat-kalimat yang semakna dengan ini.[9] Begitu juga dengan memberi hadiah.[10]
- Hukum Khitbah
Menurut Abdul Karim Zaidan,[11] hukum khithbah yang disepakati para ulama adalah sunat. Ini sejalan dengan pendapat yang dilontarkan Imam Syafi'i,[12] mengingat hikmah yang terkandung dalam khithbah sangat besar dan sangat membantu bagi kelangsungan rumah tangga nantinya.[13]
- Dalil Pensyariatan Khithbah
1. Al-Qur’an. Firman Allah Swt.:
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. al-Baqarah: 235)
2. Hadis Jabir yang diriwayatkan Abu Daud di atas.
3. Ijmak para ulama[14]
- Dasar Memilih Calon Istri atau Suami
1. Sifat-sifat calon istri:
a. Disunatkan menikahi perempuan yang taat beragama serta berakhlak karimah.[15] Sabda Nabi Saw.: “Wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agama. Pilihlah yang taat beragama agar engkau selamat[16]”. (HR. Jamaah kecuali Turmudzi)[17]
Begitu juga bagi wanita dianjurkan memilih calon suami yang taat beragama, sebagaimana diriwayatkan seorang laki-laki bertanya pada Hasan bin Ali: “Saya mempunyai seorang gadis. Menurut anda pada siapa saya menikahkannya? Hasan menjawab: nikahkan dia dengan laki-laki (taat) beragama. Jika dia (laki-laki) mencintainya, maka dia akan memuliakannya. Jika dia membencinya, dia tidak akan menzhaliminya”[18] Sabda Nabi Saw.: “Jika datang pada kalian seseorang yang engkau semua ridai agama dan perangainya melamar (putri)mu, maka kawinkahlah. Jika tidak, (hal itu) akan menimbulkan fitnah di muka bumi serta kerusakan yang besar”. (HR. Turmudzi)[19]
b. Disunatkan menikahi perawan, kecuali jika ada alasan lain untuk lebih mengutamakan janda, seperti berniat mengurus anak-anak yatim.[20] Hadis Nabi dari Jabir Ra. ketika dia telah menikah, Rasulullah berkata:
“Apakah kamu sudah menikah wahai Jabir? Jabir berkata: “saya berkata ‘ya’. Kemudian Nabi bertanya: (dengan) gadis atau janda?” Jabir menjawab: “saya berkata ‘janda’. Kemduan Nabi berkata: “kenapa kamu tidak (menikahi) gadis, kamu bersenda gurau dengannya dan diapun bersenda gurau denganmu”. (HR. Jamaah)[21]
Menurut al-Ghazali ada tiga faidah menikahi perawan. Pertama, mencintai dan menyayangi suaminya. Secara fitrah manusia akan betah dengan yang pertama kali mendampinginya. Sedang janda terkadang sebaliknya. Kedua, lebih dicintai suami, karena gadis akan takut dan menjauhi laki-laki selain suaminya. Terakhir, jika istrinya seorang gadis, dia tidak akan mengkhianati suaminya.[22] Begitu juga bagi wanita disunatkan menikah dengan jejaka.[23]
c. Keturunan banyak anak (walûdah). Diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi Saw. melarang keras membujang (tabattul) dan menikahi wanita mandul. Diriwayatkan dari Ma’qal bin Yasar dia berkata, seorang laki-laki datang pada Rasulullah dia berkata:
“Sesungguhnya aku menemukan seorang perempuan terpandang tetapi dia mandul Apakah saya boleh menikahinya? Rasulullah melarangnnya. Kemudian lelaki itu datang lagi sampai tiga kali dan Nabi tetap melarangnnya. Kemudian Nabi berkata” Nikahilah wanita yang dicintai, keturunan banyak anak karena sesungguhnya umatku banyak”. (HR. Abu Dawud dan Nasai)[24]
d. Memilih calon istri yang cantik. Karena dengan itu lebih menundukkan pandangan, lebih tenang bagi jiwa dan lebih dicintai. Di sinilah terlihat hikmah disyariatkannya melihat wanita yang mau dinikahi sebelum dilamar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ketika Rasul ditanya tentang wanita yang paling baik, Rasul menjawab:
“(Wanita yang paling baik) dia adalah yang membahagiakan suaminya bila dilihat, mentaati suaminya bila diperintah serta tidak mengkhianati dirinya dan tidak juga pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya”. (HR. Nasai)[25]
Ketika khâthib menikahi makhthûbah-nya karena cantik, ini bukan sebuah cela. Cela ada ketika mendahulukan cantik dari agama dan akhlak. Menurut Syafi'iyah menikahi wanita yang sangat cantik, makruh hukumnya, karena dia akan sombong dengan kecantikannya.[26]
e. Berakal, karena tujuan nikah adalah hidup bersama. Hal ini tidak akan berjalan dengan baik kecuali pendamping hidupnya berakal. Selain itu, jika istrinya kurang akalnya maka akan berpengaruh terhadap keturunannya.[27]
f. Dari keturunan[28] serta lingkungan keluarga yang baik.[29] Karena seorang istri akan mendidik dan mengasuh anaknya.[30] Ada pribahasa “anakmu bukan anakmu, tapi anak zaman dan lingkungannya”
g. Bukan kerabat dekat. Pertama, pernikahan antara kerabat dekat akan melahirkan generasi-generasi yang lemah, baik secara fisik maupun psikis. Kedua, pernikahan tidak bisa dijamin kelanggengannya. Hal ini akan menimbulkan terputusnya silaturahmi.[31]
Menurut Mahmud Mahdi, semua yang dijelaskan di atas berlaku juga bagi wanita.[32]
h. Yang maharnya murah. Nabi bersabda: “Sebaik-baiknya wanita adalah yang paling cantik wajahnya serta paling murah maharnya”. (HR. Ibnu Hiban)[33]
i. Tidak lebih dari satu jika dengan itu sudah mampu menjaga kehormatan. Karena poligami akan mendorong seorang suami pada hal-hal yang diharamkan, seperti tidak berbuat adil.[34] Firman Allah: “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. al-Nisâ`: 3)
Hadis Nabi: “Barang siapa mempunyai dua istri dan ia condong terhadap salah satunya, maka ia (akan) datang pada hari kiamat sedang pundaknya condong”. (HR. al-Khamsah)
2. Sifat-sifat calon suami
Selain sifat-sifat yang telah disebutkan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika memilih calon suami:[35]
1. Mampu memberikan bâ`ah (jimak dan biaya rumah tangga).[36] Hal ini jelas tidaklah berlebihan karena ketika Fatimah binti Qais istisyârah pada Nabi, dia berkata: “Adapun Mu’awiyah dia adalh orang miskin, tak punya apa-apa”.
2. Lemah lembut terhadap istri. Ini juga bukan hal yang aneh. Dalam Hadis Fatimah Nabi pun berkata: “Sedang Abu Jaham tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid”.[37] Hadis ini merupakan anjuran untuk tidak memilih calon suami yang kasar dan suka memukul tanpa sebab. Kalau tidak demikian, maka Nabi tidak akan menasehati Fatimah dan menyarankannya untuk menikah dengan Zaid.
3. Sekufu[38]. Ini dimaksud supaya tidak terjadi keretakan dalam rumah tangga. Hal ini mengingat posisi suami yang sangat penting; sebagai pemimpin keluarganya (qawâm).[39]
Setelah pemaparan di atas, timbul satu pertanyaan; apakah kecondongan (cinta, red) termasuk salah satu pertimbangan syari’at dalam memilih calon suami atau istri? Dalam artian lain, apakah syariat membenarkan jika seorang wanita menolak lamaran karena tidak ada kecondongan pada sang pelamarnya? Atau, apakah cinta yang merupakan salah satu pondasi rumah tangga diperlukan sebelum nikah (akad) ataukah setelahnya? Menurut Hamid Ahmad Thahir, jawabannya adalah firman Allah: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. ar-Rûm: 21)
Wajhu al-Dilâlah:
Lafal “al-sakan” pada ayat di atas berarti kecondongan dan keramahan setelah jimak. Artinya, ketentraman jiwa yang dijanjikan Allah Swt. adalah ada setelah nikah (setelah jimak), bukan sebelumnya. Setelah timbul ketentraman, maka akan datang cinta dan kasih sayang. Karena tidak akan ada kasih sayang kecuali setelah timbulnya cinta. Cinta yang sebenarnya adalah cinta setelah menikah dan merasakan ketentraman, bukan sebelumnya. Karena perasaan yang timbul sebelum nikah hanyalah sebuah fatamorgana. Ia terlihat indah tapi kenyataannya tidak ada. Karena ia tidak bisa dirasakan dan dimiliki. Atau bisa dimilki, tapi kepemilikan itu menimbulkan konsekuensi dosa dari zina hati yang dilarang agama.
Meski demikian, --menurut hemat penulis, bukan hal dilarang ketika kecondongan dijadikan salah satu alasan menerima atau menolak lamaran. Karena yang jadi terpenting adalah tidak menjadikan ada dan tidak ada kecintaan menjadi satu-satunya alasan untuk tidak menerima tawaran menikah. Pandangan penulis ini dengan beberapa argumen di antaranya:
1. Perintah melihat yang dilamar atau yang melamar merupakan satu isyarat dibolehkannya menerima atau menolak lamaran karena tidak ada kecondongan untuk menerimanya.
2. Karena dengan adanya kecondongan tersebut khâthib dan makhthûbah setidaknya mempunyai keyakinan yang kuat mereka bisa berjalan beriringan meniti jalan-Nya dengan pernikahan sehingga dengan kecondongan itu akan melahirkan generasi-generasi Islam yang diinginkan serta mampu mewujudkan hikmah disyariatkan nikah.
- Hikmah Khithbah
Di antara hikmah khithbah adalah:
1. Memberikan kesempatan yang cukup bagi wanita yang dilamar, keluarganya dan para walinya untuk mengetahui keadaan si pelamar dan hal-hal penting lain yang ingin diketahui darinya, seperti loyalitasnya terhadap agama, akhlaknya dan yang lainnya.[40] Selain itu, untuk mengetahui kecondongan kedua belah pihak yang akan mengantarkannya pada satu pandangan dan satu kesepahaman serta dengan itu memungkinkan mereka untuk hidup dan melangkah bersama mengarungi bahtera rumah tangga.[41]
2. Sebagai wujud perhatian terhadap urgensi akad nikah dan keterlibatan keluarga wanita di dalamnya.[42]
3. Memberikan kesempatan bagi si pelamar untuk mengetahui lebih jauh wanita yang ingin dinikahinya. Meksipun secara adat si pelamar pasti mengetahui yang dilamarnya dan keluarganya, tetapi terkadang dia tidak mengetahui lebih jauh sifat dan tabiat yang dilamarnya.[43] Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap kelangsungan rumah tangga yang ingin dijalaninya.
- Wanita yang Boleh Di-Khithbah
Pada bahasan ini, kaidah yang dipakai adalah ‘setiap wanita yang boleh dinikahi, maka dia boleh di-khithbah, begitu juga sebaliknya’. Dengan demikian, ada dua syarat yang harus dipenuhi ketika meng-khitbah:
1. Makhthûbah bukan wanita yang dilarang menikahinya, baik itu karena sudah bersuami atau dia adalah wanita yang haram dinikahi selama-lamanya.[44]
Bagaimana dengan wanita yang sedang idah?
Wanita yang ada dalam masa idah boleh di-khithbah, dengan syarat tidak secara langsung (tashrîh).[45] Secara rinci, ada tiga macam wanita yang berada dalam masa idah[46]:
a. Tidak boleh di-khithbah sama sekali, baik dengan tashrîh ataupun dengan ta’rîdh, yaitu wanita yang ditalak rujuk,[47] karena secara hukum ia masih sebagai istri.[48]
b. Boleh di-khithbah dengan ta’rîdh, tapi tidak dengan tashrîh, yaitu wanita yang cerai ditinggal mati, fasakh karena istrinya ternyata saudarinya sesusu, karena li’ân[49] atau karena hal lain yang dapat menghalangi nikah. Pada kondisi seperti ini, khâthib hanya boleh melamarnya dengan ta’rîdh.[50] Firman Allah Swt.:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”. (QS. al-Baqarah: 235)
Bagaimana dengan wanita yang ditalak tiga? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Hanabilah membolehkan ta’rîdh[51] Sedang Hanafiyah tidak membolehkan sama sekali, karena akad nikah pada waktu idah masih ada dari satu sisi, dengan bukti hukum dari nikah itu masih ada, yaitu idah. Keberadaan hukum dari satu sisi sama dengan keberadaannya dari semua sisi.[52]
Selain itu, tidak diperbolehkan mengikat janji untuk menikahinya setelah selesai idah.[53] Firman Allah.:“Dalam pada itu, janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (baik)”. (QS. al-Baqarah: 235)
Menurut Malikiyah, hal ini tidak diperbolehkan hanya jika perjanjian itu datang dari kedua belah pihak, sedang jika datang dari salah satunya, maka hukumnya makruh.[54] Menurut Abdul Karim Zaidan, meski demikian yang benar adalah haram dengan dalil ayat di atas.[55]
c. Bâin.[56] Dalam kondisi seperti ini, bekas suaminya boleh meng-khithbah-nya baik dengan tashrîh ataupun ta’rîdh. Apakah bagi selain bekas suaminya dibolehkan? Pada permasalahan ini para ulama berbeda pendapat. Syafi'iyah ada dua pendapat. Pertama, boleh dengan dalil keumuman ayat serta karena dia bâin, maka sama hukumnya dengan talak tiga. Kedua, tidak boleh karena suaminya lebih berhak dari yang lain, seperti halnya talak rujuk.[57]
Apabila hukum khithbah seperti yang dijelaskan di atas, bagaimana dengan hukum menerima atau menolaknya? Menurut Syafi'iyah dan Hanafiyah, hukumnya sama dengan khithbah. Jika melamarnya dengan tashrîh tidak boleh, begitu juga hukum menjawabnya. Bila dibolehkan, maka menjawabnyapun demikian. Begitu seterusnya.[58]
Di antara hikmah pengharaman khithbah pada waktu idah adalah karena hal itu akan menimbulkan permusuhan di antara khâthib, wanita dan bekas suaminya (kecuali yang ditinggal mati).[59]
2. Tidak sedang dalam lamaran orang lain.[60] Dalam kondisi ini, keadaan makhthûbah tidak akan terlepas dari tiga hal:[61]
a. Menerima lamaran dengan jelas (tashrih), ada kecenderungan serta mengizinkan walinya untuk menerima lamarannya. Dalam kondisi seperti ini, laki-laki yang lain (selain khâthib) tidak diperbolehkan melamarnya, [62]bahkan diharamkan.[63] Begitu juga orang yang membantu laki-laki selain khâthib untuk melamarnya.[64] Dengan alasan hal itu menyakiti khâthib pertama dan akan menimbulkan permusuhan serta kebencian di antara keduanya. Selain itu, melamar di atas lamaran orang lain bertentangan dengan Hadis Nabi Saw.:
“Tidak melamar salah satu dari kamu di atas lamaran saudaranya sampai dia menikah atau meninggalkannya”. (HR. Bukhari dan Nasai)[65] Dalam riwayat yang lain sisebutkan: “… atau mengizinkan khâthib kedua (untuk meng-khitbah-nya)”. (HR. Bukhari dan Nasai)[66]
Zahir Hadis di atas menunjukkan larangan melamar di atas lamaran orang lain, bila khâthib pertama adalah orang Islam. Sedang bila khâthib pertama berlainan agama, maka boleh bagi selain khâthib pertama melamar wanita tersebut, karena di antara muslim dan non muslim tidak ada tali persaudaraan.[67] Begitu juga jika khâthib pertama orang fasik.[68]
Apabila selain khâthib pertama melamarnya, hingga akhirnya menikahinya, maka nikahnya tetap sah,[69] tapi berdosa.[70] Menurut Jumhur, hal ini mengingat larangan khithbah tidak termasuk syarat sah nikah.[71]
Bagaimana jika khithbah datang dari pihak wanita? Masalah ini sama dengan masalah di atas, kecuali jika makhtûb-nya berniat poligami.[72]
b. Menolak dan tidak ada kecenderungan sama sekali. Pada kondisi ini tidak ada larangan bagi selain khâthib untuk melamarnya.[73] Senada dengan apa yang dialami Fatimah binti Qais. Setelah ditalak tiga oleh suaminya, dia menemui Rasulullah serta menceritakan bahwa Mu’awiyah dan Abu Jaham melamarnya, Rasul berkata: ”Adapun Mu’awiyah dia adalah orang miskin, tidak punya apa-apa. Sedang Abu Jaham dia tidak meletakkan tongkat dari pundaknya. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid”. (HR. Bukhari dan Muslim) Setelah itu Rasulullah melamar Fatimah untuk Usamah. Pada kondisi ini, jika khithbah yang lain dilarang, maka akan merugikan pihak wanita. Tidak ada yang berhak melarang wanita untuk menikah kecuali dengan lamaran yang datang padannya[74] dan dia menerimanya. Kedatangan Fatimah pada Rasulullah merupakan indikasi bahwa Fatimah tidak menerima lamaran dari keduanya serta indikasi bahwa dia ingin meminta pendapat Rasul untuk menolak keduanya.[75]
c. Antara kondisi pertama dan kedua. Maksudnya, terlihat tanda-tanda menerima tapi tidak dengan terang-terangan (tashrîh). Menurut Hanabilah kondisi ini sama dengan kondisi pertama.[76] Sedang menurut Syafi'iyah sama dengan kondisi kedua.[77] Menurut Shan’ani, yang paling sahih adalah sama dengan kondisi kedua.
Bagaimana kalau pihak wanita masih dalam tahap musyawarah atau masih ragu; menerima atau menolak? Menurut Hanafiyah, lamaran khâthib kedua hukumnya makruh, dengan dalil keumumam Hadis pada kondisi pertama.[78] Sedang Jumhur membolehkannya, dengan dalil Hadis Fatimah binti Qais.[79] Menurut Wahbah Juhaili yang paling kuat adalah pendapat jumhur.[80] Meski demikian, diharapkan bagi khâthib kedua untuk menunggu keputusan yang jelas dari lamaran yang pertama.[81]
- Membatalkan Khithbah
1. Hukum Membatalkan Khithbah
Khithbah adalah sebuah perjanjian di antara kedua belah pihak (khathib dan makhthubah). Meskipun ia merupakan janji yang konsekuensinya adalah memenuhi apa yang dijanjikan, Islam tetap membolehkan membatalkannya, baik itu datang dari khâthib atau dari makhthûbah.[82] Menurut Sayid Sabiq, membatalkan khithbah tidak termasuk khianat yang menjadi salah satu ciri orang-orang munafik,[83] selama hal itu didasarkan pada alasan serta pertimbangan-pertimbangan syariat.
Menurut Hanabilah, seorang wali berhak menolak dan menerima lamaran anak gadisnya bila dia mempunyai hak wali ijbâr[84] dan atas dasar maslahat bagi anak gadisnya.[85]Apabila sebaliknya, maka wanita lebih berhak dari pada walinya. Demikian juga jika wali menerima lamaran anak gadisnya, sedang dia menyukai dan memilih selain khâthib yang melamar melalui ayahnya. Pada kondisi seperti ini yang didahulukan adalah pilihan anaknya, yang berarti secara otomatis mengugurkan lamaran pertama.[86] Karena khithbah adalah masa yang dikhususkan untuk memikirkan dan memilih pendamping hidup, baik itu bagi khâthib sendiri ataupun bagi makhthûbah-nya.[87]
Ringkasnya, membatalkan khithbah hukumnya boleh. Ia makruh jika tanpa sebab yang jelas dan dibenarkan menurut syariat,[88] seperti ditakutkan tidak bisa menjaga hati atau menimbulkan fitnah bagi diri dan agamanya. Ini adalah pendapat yang dipegang Jumhur Ulama. Sedang Malikiyah berpendapat, bahwa membatalkan lamaran termasuk khianat (tidak menepati janji). Dengan dalil firman Allah Swt.: “… dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. al-Isrâ`: 34)
Menurut Dr. Fikriyah Ahmad Sayid, kedua pendapat di atas (Jumhur dan Malikiyah) masih perlu pertimbangan dan pemisahan antara lamaran yang sudah lama dan yang baru beberapa waktu.[89]
1. Lamaran yang sudah lama
Pada kondisi pertama ini, sejatinya pelamar tidak membatalkan lamarannya. Karena hal ini akan mencemari nama makhthûbah dan keluarganya serta menimbulkan pertanyaan bagi orang lain. Dalam artian lain, si pelamar sejatinya tetap membuktikan janjinya (menikahi makhthûbah) selama hal tidak ada uzur syar’i atau hal-hal yang memadaratkan bagi kedua belah pihak. Jika sebaliknya, maka membatalkan nikah lebih baik dari pada mempertahankannya.
2. Lamaran yang baru sebentar
Pada kondisi ini, si pelamar boleh membatalkan lamarannya. Hal ini senada dengan pendapar Jumhur Ulama di atas tadi.
Menurut Hamid Ahmad Thahir, ada beberapa hal yang menjadi faktor pendorong terjadi pembatalan khithbah, di antaranya: tergesa-gesa dalam melamar atau menerimanya tanpa pertimbangan yang matang; terlalu banyak ikhtilâth (bercampur-baur) antara khâthib dan makhthûbah-nya; krisisi ekonomi seperti deflasi yang tinggi; terlalu banyak persyaratan yang harus dipenuhi antara kedua belah pihak; pertimbangan-pertimbangan duniawi; dan lain sebagainya.[90]
Maka dari itu, sebelum menerima lamaran, sejatinya seorang wanita memikirkannya dengan matang dan penuh pertimbangan, apalagi ketika ternyata dirinya belum siap berumah tangga. Menolak lamaran karena uzur yang jelas lebih baik dari pada membatalkan lamaran karena menginginkan yang dianggapnya lebih baik dari khâthib-nya. Lebih jauhnya, membatalkan lamaran karena sesuatu yang dibenarkan lebih baik dari pada berpisah setelah menikah.
2. Konsekuensi Pembatalan Khithbah, Kaitannya dengan Hal-hal yang Diberikan Khâthib Pada Makhthûbah atau Walinya
Jika pembatalan khithbah terjadi, maka konsekuensi yang timbul kaitannya dengan barang yang diberikan khâthib adalah sebagai berikut:
a. Jika yang diberikan itu disepakati atau adat menganggapnya sebagai mahar (maskawin), baik sebagian ataupun seluruhnya,[91] para ulama sepakat, hal itu dihukumi sebagai mahar. Dengan itu, Khâthib berhak meminta kembali seluruhnya. Jika ternyata sudah rusak dengan sendirinya atau karena dipakai, maka dia berhak meminta gantinya. Begitu juga jika khathib meninggal dunia, maka ahli warisnya boleh memintanya kembali,[92] dengan dalil khithbah bukan akad nikah. Ia hanya sebagai janji nikah. Dengan itu, makhthûbah hanya berhak memilikinya jika akad nikah terlaksana, bukan hanya dengan janji nikah semata.[93]
b. Jika yang diberikan dianggap sebagai hadiah atau hibah biasa, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyah, jika masih utuh seperti perhiasan, khâthib berhak memintanya kembali. Jika ternyata sudah rusak, baik dengan sendirinya atau karena dipakai, maka khâthib tidak berhak meminta ganti apapun bentuknya.[94]
Menurut Malikiyah, Jika khâthib memberi atau membelanjakan sesuatu bagi makhthûbah-nya, kemudian ternyata makhthûbah-nya menikah dengan orang lain, menurut pendapat yang terkuat, khâthib berhak meminta kembali apa yang diberikannya, kecuali jika karena adat atau syarat.[95]
Menurut Syafi'iyah, jika masih utuh, khâthib berhak meminta kembali apa yang dihadiahkan dan yang dihibahkannya. Jika ternyata sudah rusak, maka khâthib berhak meminta gantinya.[96] Pendapat ini adalah yang difatwakan Atiyah Shaqar dan Muhammad Mutawali Sya’rawi.[97]
Menurut Hanabilah, apa yang dihadiahkan khâthib tidak boleh diminta kembali, baik pembatalan khitbah-nya dari khâthib maupun dari makhthûbah, karena apa yang diberikan khâthib adalah hadiah. Meminta kembali hadiah tidak dibolehkan, kecuali apa yang dihadiahkan seorang ayah bagi anaknya.[98] Ini adalah yang difatwakan Ali Jum’ah.[99]
Menurut para ulama, pendapat yang paling kuat adalah pendapat Malikiyah. Bila pembatalan khithbah datang dari khâthib, maka dia tidak berhak memintanya kembali meskipun masih utuh. Jika pembatalan dari makhthûbah, maka khâthib berhak meminta semua apa yang dihadiahkannya.[100] Menurut Atiyah Shaqar, pendapat ini lebih pantas dan pas untuk difatwakan. Tapi jika adat kebiasaan berbicara lain, maka ketika itu permasalahan dikembalikan pada kesepakatan dan kebiasaan masyarakat setempat.[101] Sedang menurut Wahbah Zuhaili, pendapat yang terkuat adalah pendapat Hanabilah.
3. Ganti Rugi Akibat Pembatalan Khithbah
Jika khâthib atau makhthûbah membatalkan lamaran, dan pihak yang lain (khâthib atau makhthûbah) merasa dirugikan, baik itu kerugian materi atau non materi seperti pencemaran nama baik dan hilangnya kesempatan menerima lamaran yang datang ketika masih dalam lamaran (bagi makhthûbah), apakah pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi? Dalam hal ini ulama kontemporer berbeda pendapat. Menurut Abdul Karim Zaidan, ada dua kemungkinan akan terjadi:[102]
Pertama, yang dirugikan adalah pihak yang membatalkan
Pada kondisi ini, pihak yang membatalkan menanggung kerugian yang diakibatkannya, meskipun pembatalannya itu dengan alasan yang bisa diterima. Hal ini disebabkan pertimbangan yang belum matang ketika ia mengajukan lamarannya. Begitu juga halnya jika yang membatalkan adalah makhthûbah sendiri atau walinya
Kedua, yang dirugikan adalah pihak yang dibatalkan (kháthib atau makhthûbah)
Pada kondisi ini, pihak yang dirugikan tetap tidak bisa menuntut ganti rugi, baik itu pembatalan karena alasan yang diterima ataupun tidak. Karena pihak yang membatalkan mengambil haknya yang diberikan syariat, yaitu membatalkan lamaran yang telah diajukannya (bagi khâthib) dan membatalkan lamaran yang telah diterimanya (bagi makhthûbah). Hal ini senada dengan kaidah fikih, al-jawâz al-syar’iy yunâfî al-dhâman. Bahwa apa yang dibolehkan syariat secara otomatis menafikan adanya tanggungan. Selain itu, kerugian yang ditimbulkan dari pembatalan lamaran ini tidak termasuk madarat yang disinyalid dalam Hadis Nabi sekaligus kaidah fikhiyah, bahwa madarat itu mesti dihilangkan. Karena kedua belah pihak sejatinya mengetahui bahwa masa lamaran adalah masa yang masih erlatif; bisa jadi sampai nikah dan bisa juga tidak. Sehingga dengan itu tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan penyesalan apabila pernikahan tidak jadi dilangsungkan.
Sebagian ulama berpendapat,[103]bahwa pihak yang menyebabkan kerugian wajib menggantinya, meski pembatalan itu hak yang diberikan syariat.Karena pengambilan hak tidak dibenarkan jika menimbulkan madarat bagi orang lain. Madarat atau kerugian yang ada bisa hilang dengan pembayaran ganti rugi bagi pihak yang dirugikan. Adapun ukuran ganti rugi yang wajib dibayar diserahkan pada hakim. Hal ini mengingat besar kecil kerugian berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, antara satu zaman dengan zaman yang lain. Begitu juga antara satu adat dengan adat yang lain.
Menurut Dr. Fikriyah, pendapat kedua ini lebih adil dibanding dengan pendapat yang pertama (Abdul Karim Zaidan). Karena meskipun hak mengambil hak tidak mewajibkan tanggungan, tapi hal itu tetap saja tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Selain itu, Muhammad Abu Zuhrah mengatakan,[104] pihak yang dirugikan berhak meminta ganti apabila yang membatalkan terlibat dengan hal-hal yang bisa menimbulkan kerugian tersebut. Misalnya: (1) makhthûbah meminta sarana tertentu dari khâthib-nya. (2) khâthib meminta makhthûbvah untuk meninggalkan pekerjaannya. Dari contoh di atas, maka ketika makhthûbah membatalkan lamaran, khâthib berhak meminta ganti rugi. Begitu juga sebaliknya
- Permasalahan Lain Seputar Khithbah
Ada beberapa hal penting yang mesti diperhatikan sebelum nikah, yaitu:
1. Memeriksakan jaringan reproduksi kedua belah pihak pada dokter muslim yang dipercaya.[105] Kedua, menghindari komunikasi langsung, baik melalui, telpon, SMS, internet atau sarana lain yang dapat mengubah masa khthbah menjadi masa kasmaran dan pacaran yang diharamkan. Ketiga, menjauhi perkataan yang dapat membangkitkan syahwat atau hal-hal lain yang dilarang syariat.[106]
2. Wali menawarkan anak perempuannya atau seorang perempuan menawarkan dirinya pada laki-laki yang jelas-jelas diketahui salehnya hukumnya boleh. Diriwayatkan bahwa seorang perempuan datang menemui Rasul menawarkan dirinya, ia berkata:
Wahai Rasulullah apakah engkau membutuhkanku? Anak perempuan Anas berkata: “alangkah kecilnya rasa malunya dan alangkah jelehknya. Alangkah jeleknya”. Rasul berkata: “ia lebih baik darimu; mencintai Nabi dan menawarkan diri baginya”.[107]
Hadis ini menunjukkan kebolehan wanita menawarkan dirinya pada laki-laki saleh, begitu juga walinya meskipun yang ditawari tu beristri. karena Abu Bakar ketika ditawari oleh Usman untuk menikah dengan Hafsah, ia telah beristri.[108] Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ketika Hafsah binti Umar menjanda, Umar menawarkannya pada Usman, kemudian pada Abu Bakar dan akhirnya Rasul menikahinya.[109] Hadis ini sejalan dengan firman Allah Swt.: “Berkatalah dia (Syuaib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun…”. (QS. al-Qashash: 27)
[1] Jamaluddin Muhammad Ibnu Makram Ibnu Mandzur, Lisânu’l ‘Arab, vol. V, Dâr Shâdir, Beirut, cet. I, 2000, hal. 98. lih juga Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 330.
[3] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6492. lih juga Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 66.
[6] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, ibid., hal. 6492. lih juga Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, Tuhfatu’l ‘Arûs, Dâru’l Fajr li al-Turâts, Kairo, cet. I, 2004, hal. 80.
[7] Tashrih adalah kalimat yang jelas dan pasti menunjukkan keinginan untuk menikah. Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 331. lih juga Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 526.
[8] Ta’ridh adalah kalimat yang menunjukkan keinginan untuk menikah atau sebaliknya. Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, ibid., hal. 331 dan Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, al-Jâmi’u li Ahkâmi’l Qur’ân, vol. II, Dâru’l Hâdîts, Kairo, 2002, hal. 160.
[10] Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, op. cit., hal. 161. dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 312.
[14] Dr. Su’ad Ibrahim Shaleh, Adwâ` ‘alâ Nizhâmi’l Usrah fî’l Islâm, Dâr al-Dhiyâ`, Kairo, 1989, cet. III, hal. 50.
[15] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmi al-Dîn, vol. II, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo, hal. 57.
[16] Fazhfar bizdâti al-dîn taribat yadâk maksudnya beruntunglah kamu dengan wanita yang taat beragama dan janganlah berpaling melihat harta (memilih wanita yang kaya) Lih. Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Tuhfatu’l ‘Arûs au al-Zawâj al-Islâmiy al-Sa’îd, Dâru’l Ma’ârif, Riyadh, cet. I, 2006. footnote hal. 46.
[17] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 468. lih juga Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathu’l Bâriy bi Syarhi Sahîhi’l Bukhâriy, vol. IX, Dâru’l Hâdîts, Kairo, 2004, hal. 155, Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 307-308, Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani Al-Azdari, op. cit., hal. 874, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 370, dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 597.
[21] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 140, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, op. cit., hal. 309 dan 190, Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani Al-Azdari, op. cit., hal. 874, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 370, Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 225, dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 598.
[24] Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 875 dan Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 374.
[25] Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, Ibid., hal. 377 dan Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 468-469.
[27] Ibid., hal. 317 dan Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 469. Yang dimaksud berakal di sini adalah lebih dari akal yang menjadi objek taklif syariat.
[28] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 469 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, Ibid., hal. 316.
[31] Ibid., hal. 62. lih. juga Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 469 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 316.
[33] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op. cit., hal. 60 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 317
[44] Ibid., hal. 62 dan Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsîru Ayâti’l Ahkâmi mina’l Qur’âni, vol. I, Dâr al-Shâbûnî, Kairo, 1999, hal. 266.
[45]Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524, Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Mausû’atu’l Um, vol. V, Maktabah Taufiqiyah, Kairo, hal. 69 dan 315, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6498, Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 313 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal.331
[48] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 525 dan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6499.
[49] Li’ân adalah tuduhan zina seorang suami terhadap istrinya, sedang dia tidak mengaku tuduhan tersebut, begitu juga suaminya tidak menarik kembali tuduhannya. Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 72.
[50] Muhammad Ali al-Shabuni, op. cit., hal. 266-267, Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 63, Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524-525 dan Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, op. cit., hal. 160.
[56] Maksud di sini adalah ba`in shugrâ. Ia adalah wanita yang dalam idah tapi masih halal dinikahi bekas suaminya seperti mukhtali’ah dan bâin karena fasakh baik itu karena suaminya pergi entah ke mana atau karena dia jatuh miskin. Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 525
[58] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 65 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, ibid., hal. 332.
[61] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520 dan Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 67
[62] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, ibid., hal. 520, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 230 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 332
[63] Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 15, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6493 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 313
[65] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 231, Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 214, Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 382, Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri, op. cit., hal. 284 dan Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, op. cit., hal. 600.
[66] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 229, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, ibid., hal. 212, Abu Daud Sulaiman Ibnu al- Asy’ats al-Sajastani al-Azdari, op. cit., hal. 890 dan Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, ibid., hal. 382
[67] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 524, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 229, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, ibid., hal. 215, Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamani al-Shan’ani, op. cit., hal. 155 dan Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, op. cit., hal.494.
[71] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, op. cit., hal. 493 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 314.
[72] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 333 dan lih. juga Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, op. cit., hal. 231.
[73] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 520. Lih. juga, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, ibid., hal. 230 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 314.
[82] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 74 dan lih juga Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 66.
[84] Wali ijbâr adalah wali yang berwenang menikahkan anak gadisnya tanpa perlu meminta izinnya terlebih dahulu pastinya dengan syarat-syarat tertentu. Lebih lengkapnya lih. Dr. Raja Ahmad Ahmad, Dirâsa li’l Madzhab al-Syâfi’iy fi’l Zawâj wa Ahkâmihi, Diktat kuliah Syariah Islamiyah Puteri III, Universitas al-Azhar, 2005-2006. hal. 60-71.
[87] Syekh Ali Jum’ah, al-Kalim al-Thayyib, Fatâwâ ‘Ashriyyah, Dâru’l Salâm, Kairo, cet. I, 2005, hal. 341.
[89] Lih. Dr. Fikriyah Ahmad Sayid, al-Ahwal al-Syakhshiyyah fî al-Syari’ati’l Islâmiyyah, Diktat Kuliah Univ. al-Azhar, Fak. Syari’ah Islamiyah, Tk. II, Th. 2005-2006, hal. 62-64. Lama dan sebentarnya waktu lamaran (jarak antara nikah dan lamaran) tergantung adat kebiasaan yang berlaku. Karena bisa jadi apa yang dianggap lama menurut yang satu belum tentu lama bagi yang lainnya. Begitu juga sebaliknya.
[93] Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, op. cit., hal. 86-87, Lih. Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 74-76, lih. Syekh Ali Jum’ah, op. cit., hal. 358, Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, op. cit., hal. 66, Atiyah Shaqar, op. cit., hal. 100 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 318
[94] Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 75, lih juga Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, ibid., hal 87, Atiyah Shaqar, ibid., hal. 101, Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, ibid., hal. 66 dan Al-Sayyid Sabiq, ibid., hal. 319.
[95]Maksudnya bila kedua belah pihak mensyaratkan serta adat yang ada mengatakan, jika pembatalan khitbah datang dari pihak makhtûbah dan biasanya khâtib berhak meminta kembali apa yang diberikannya, maka hukum itu yang mesti diambil. Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 75.
[103] Dr. Fikriyah Ahmad Sayid, al-Ahwal al-Syakhshiyyah fî al-Syari’ati’l Islâmiyyah, op. cit., hal. 69-70.
[105] Dr. Hamid Ahmad al-Thahir, op. cit., hal. 88 dan lebih lengkap lih. Mahmud Mahdi al-Istanbuli, op. cit., hal. 53-54.
[107]Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, op. cit., hal. 201. lih. juga Sunanu al- Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 387. Ini lafal Bukhari.
[109] Ibid., hal. 202. Lih. juga Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 386.
Labels
Fikih Wanita
[…] Lanjutan Edisi Kedua : Pernikahan Dalam Islam : Khitbah / Melamar […]
BalasHapus