PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

KONSEP ISTISHAB DALAM USHUL FIKIH (2)

A. Istishhâb Hukm al-Nash



Artinya, memberlakukan kelanjutan hukum yang pernah ditetapkan masa lalu hingga masa sekarang, dengan syarat hukum tersebut ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Secara prakteknya ia terbagi menjadi dua, yaitu:[1]

  1. Memberlakukan keumuman hukum (‘âm) yang dipaparkan oleh nash hingga ia berlangsung sampai sekarang, namun hal ini disyaratkan selama tidak ada dalil lain yang mengkhususkan (takhshîish) hukum tersebut.

  2. Memberlakukan hukum yang dipaparkan oleh nash hingga ia berlangsung sampai sekarang, namun hal ini disyaratkan selama tidak ada dalil lain yang menghapus atau merubah (naskh) hukum tersebut. Begitu juga, memberlakukan hukum yang ditetapkan oleh dalil mutlak (muthlaq) selama tidak ada dalil yang lain yang mengkaitkannnya  (muqayyad).

Istishhâb  inilah yang ditetapkan oleh Ibnu Hazm dan disepakati para ulama untuk dijadikan dalil hukum, bahkan sebagian menyebutkan bahwa Istishhâb ini diterima oleh jumhur ulama secara mutlak.



B. Istishhâb Hukm al-Sabab al-Syar‘iy

Artinya, pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya oleh syariat dan akal hingga masa sekarang karena tidak ditemukan dalil yang menafikannya. Contohnya, jika kepemilikan seseorang terhadap harta ditetapkan sebelumnya oleh salah satu sebab syar’i, seperti akad jual beli atau hak waris maka hukum kepemilikan tersebut tetap diberlakukan pada masa selanjutnya hingga ada dalil yang menafikannya. Demikian juga, hukum yang ditetapkan bahwa seseorang telah bersuci dengan melakukan sebab syar’i seperti mandi besar atau berwudhu maka hukum tersebut tetap diberlakukan pada masa selanjutnya hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa dia telah junub atau berhadas.[2]

Dari Istishhâb ini ditetapkan dua kaidah fikih, yaitu:[3]



Kaidah fikih pertama:
الأصل بقاء ما كان علي ما كان حتي يثبت خلافه

 “Hukum asal ditetapkan keberlangsungannya seperti sebelumnya, hingga ada dalil yang merubah atau menafikannya”.

Jadi, selama tidak ada dalil yang menghukumi sebuah permasalahan maka ia ditetapkan seperti hukum asalnya. Seperti  makanan, pakaian dan lainya dibolehkan selama tidak ada dalil yang merubahnya. Begitu pula, hubungan intim antar lawan jenis diharamkan hingga ada dalil yang menghalalkannya seperti akad nikah.



Kaidah fikih kedua:
ما يثبت بااليقين لا يزول إلا بيقين مثله

 “Hukum sesuatu yang telah ditetapkan dengan keyakinan tidak bisa dihapuskan dengan keraguan, kecuali dengan keyakinan yang semisalnya”.

Contohnya, apabila seseorang yakin telah berwudhu tidak bisa dinyatakan/dihukumi batal wudhunya hanya dengan keraguan, misalnya ragu sudah kentut atau belum dll., kecuali dengan keyakinan yang semisalnya. Begitu pula, jika seseorang asalnya diyakini hidup tidak bisa dinyatakan wafat dengan keraguan, kecuali ada dalil yang menyatakannya dengan keyakinan. Al-Suyuthi mengomentari kaidah ini dengan mengatakan:” Jumlah permasalahan fikih yang memakai kaidah ini mencapai tiga perempat bahkan lebih.

Terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai hal ini, yaitu:

  1. Al-Syaukani mengatakan: ”Istishhâb semacam ini telah disepakati untuk diamalkan hingga ada dalil yang merubahnya”. Pendapat ini juga disepakati oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah.[4]

  2. Ada yang mengatakan bahwa jenis Istishhâb ini tidak bisa menjadi hujjah (dasar pengambilan hukum) secara mutlak.[5]

  3. Menurut Hanafiyah, ia menjadi hujjah ketika memberlakukan keberlangsungan hukum yang sebelumnya telah ditetapkan, namun ia tidak boleh menetapkan sesuatu yang belum disyari'atkan. Contoh, di satu pihak orang yang telah hilang (orang hilang) dihukumkan hidup atas dasar Istishhâb, agar harta dan istri yang sebelumnya telah dia miliki tetap diberlakukan hukumnya sebagai milik dia, hingga ada dalil yang menyatakan bahwa dia telah wafat. Sedangkan di pihak lain, dia dihukumi telah wafat hingga tidak menjadi ahli waris karena hak tersebut tidak dia miliki sebelum hilang. Dengan demikian, menurut Hanafiyah dia tidak diwarisi dan tidak mewarisi.[6]

  4. Imam Malik tidak menyetujui beberapa permasalahan yang terlahir dari jenis  Istishhâb ini, karena menurutnya terdapat dua hukum asal yang bertentangan.[7] Di antara beberapa permasalahan tersebut, yaitu Imam Malik mengatakan bahwa jika seseorang ragu tentang batal tidaknya wudhu yang telah dia lakukan, maka dia dilarang mengerjakan shalat dengan wudhu tersebut hingga berwudhu kembali karena dua hukum asal yang bertentangan, yaitu:[8]

    1. Asal pertama: Hukum bahwa dia masih dalam keadaan berwudhu senantiasa diberlakukan atas dasar Istishhâb, karena keyakinan sebelumnya tidak bisa dihapuskan dengan keragu-raguan yang datang belakangan/setelahnya.

    2. Asal kedua: Hukum asal bahwa seorang mukallaf ditaklif/diharuskan mengerjakan kewajiban shalat. Maka atas dasar Istishhâb juga, si mukallaaf tidak terbebas dari kewajibannya hingga dia mengerjakan shalat dengan wudhu yang sah tanpa ada keraguan.

Hukum dua asal yang bertentangan di atas, menyebabkan Imam Malik merajihkan hukum asal yang kedua. Dengan demikian, menurut Malikyah tidak dibolehkan shalat jika terjadi keraguan terhadap batal tidaknya wudhu seseorang untuk kehati-hatian.



C. Istishhâb al-Barâ'ah al-Ashliyyâh  (al-‘Adam al-Ashliy)



Artinya, penafian hukum sebagaimana asal mula dengan dalil akal atau ketiadaan hukum taklif, hingga ada dalil nash yang menetapkannya.[9] Contohnya, manusia tidak ditaklif sebelum diutusnya para Rasul atau tidak diwajibkan shalat fardhu yang keenam dan puasa bulan Syawal sebelum syariat mewajibkannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw., tentang pembatasan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.
طلحة بن عبد الله قال: جاء رجل الي رسول الله صلي الله عليه وسلم ، فاذا هو يسأل عن السلام، فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم:  (خمس صلوات في اليوم و اليلة)،  فقال: هل علي غيرها؟ قال رسول الله صلي الله عليه وسلم:  (لا إلا أن تطووع)، قال الي رسول الله صلي الله عليه وسلم:  (و صيام رمضان)، قال: هل علي غيره؟  ؟ قال الي رسول الله صلي الله عليه وسلم:  (لا إلا أن تطووع)

Diriwayatkan dari Thalhah bin Abdullah bahwa seorang lelaki bertanya tentang Islam kepada Rasulullah Saw.. Rasulullah Saw menjawab: ”Shalat fardhu lima kali dalam sehari semalam”. Dia bertanya lagi: “Apakah ada shalat selainnya?”. Rasulullah Saw., menjawab: “Tidak, kecuali jika kamu melakukan perkara (shalat) sunnah”. Rasulullah kembali menyebutkan: “dan puasa Ramadhan”. Dia bertanya lagi: "Apakah ada puasa selainnya?”. Rasulullah Saw. menjawab: “Tidak, kecuali jika kamu melakukan perkara (puasa) sunnah” (HR. Bukhari).[10]

Dari hadits ini diketahui bahwa syari'at Islam membatasi shalat dan puasa yang diwajibkan. Begitu pula dengan akal, ia juga menyatakan bahwa apa yang tidak disebutkan baik shalat fardu yang keenam atau puasa wajib selain Ramadlan dinafikan sebagaimana asalnya karena tidak ada dalil syar’i yang menyatakannya.[11]

Contoh lain, jika pendakwa mendakwa bahwa seseorang telah berhutang padanya, maka si pendakwa wajib mendatangkan bukti atas dakwaannya. Namun jika dia tidak bisa melakukannya, maka otomatis terdakwa terbebaskan dari dakwaan tersebut, sebab hukum asalnya terdakwa memang dianggap tidak mempunyai hutang hingga si pendakwa menetapkan dakwaannya dengan bukti konkrit. Jadi, bila tidak ditemukan dalil yang menentang hukum asal, maka hal ini termasuk bab "mengetahui ketiadaan dalil", bukan bab "tidak mengetahui dalil". Sebab ketiadaan nash yang menetapkan sebuah hukum terkadang diketahui dengan pasti  (yakin) atau zhan. Maksud bab "mengetahui ketiadaan dalil dengan yakin" adalah seperti contoh di atas, menafikan shalat fardhu yang keenam atau puasa wajib selain Ramadhan karena ketiadaan nash yang mensyariatkannya. Sebab jika nash ditemukan, niscaya pensyari'atannya akan tersebar kepada seluruh umat Rasulullah Saw., dan berlangsung hingga sekarang. Adapun "mengetahui ketiadaan dalil dengan Dzan" terjadi ketika seorang mujtahid tidak menemukan dalil hukum setelah berusaha keras melakukan penelitian.[12]

Adapun kaidah fikih yang ditetapkan dari Istishhâb ini, yaitu:
الأصل براءة الذمة

"Manusia secara asalnya dihukumi terlepas dari tanggung jawab atau taklif".

Kaidah ini telah disepakati, maka menyandarkan taklif atau tanggung jawab kepada seseorang tanpa dalil dilarang dalam syari'at.[13]

Jumhur ahlusunnah sepakat bahwa Istishhâb al-Barâ'ah al-Ashliyyâh menjadi hujjah dengan mengatakan bahwa sesungguhnya hukum dianggap tiada hingga ada nash yang menunjukkan pensyari'atannya, bahkan ada sebagian lagi menyatakan bahwa Istishhâb ini  merupakan hujjah menurut ijmak ulama. Adapun Hanafiyah sendiri juga ikut menetapkannya, padahal mereka sebelumnya dikenal tidak mengakui Istishhâb sebagai hujjah. Imam Shadru al-Syari‘ah menyebutkan bahwa menurut Imam Syafi'i Istishhâb menjadi hujjah dalam berbagai permasalahan yang ditetapkan sebelumnya oleh dalil, kemudian terjadi keraguan apakah keberlangsungannya masih bisa diberlakukan. Sedangkan menurut Hanafiyah, ia menjadi hujjah dalam permasalahan yang sebelumnya telah dinafikan tapi tidak sebaliknya.[14]



D. Istishhâb mâ Atsbatahu al-‘Aqlu ‘Inda al-Mu‘tazilah



Jadi, jenis Istishhâb ini hanya sebatas pendapat Mu’tazilah dan orang-orang yang sepakat dengan mereka. Adapun maksud dari Istishhâb ini adalah bahwa segala sesuatu yang tidak ada dalil syar’i maka akal yang akan berperan menghukumi baik buruk sebuah perbuatan. Al-Syaukani mengatakan bahwa ahlusunnah sepakat tidak menjadikan Istishhâb ini sebagai hujjah dalam pengambillan hukum, karena akal tidak punya peran dalam menetapkan hukum-hukum syar’i.[15]



E. Istishhâb al-Hukm al-Tsâbit bi'l Ijmâ‘ fiy Maudhi‘

al-Khilâf[16]

Artinya, pemberlakuan hukum yang diperselisihkan karena berubah atau hilangnya salah satu sifat yang telah disepakti sebelumnya oleh ijmak fuqaha/ulama fikih. Contohnya, menurut ijmak fuqaha tayamum disyari'atkan ketika tidak ditemukan air. Namun jika kemudian air ditemukan ketika sedang melaksanakan shalat, bagaimana hukumnya?. Dalam hal ini, Imam Malik dan Syafii berpendapat bahwa shalat yang sedang dilakukan tersebut sah karena masih memakai hukum yang telah disepakati sebelumnya, yaitu hukum dibolehkannya tayammum, meski ada salah satu sifat yang berubah dalam permasalahan tersebut, yaitu air ditemukan ketika sedang melasanakan shalat. Jadi, atas dasar Istishhâb hukum tersebut tetap diberlakukan selama tidak ada dalil yang menyatakan bahwa shalat tidak sah jika melihat air pada saat melaksanakan shalat. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan Ahmad shalat tersebut dianngap batal, karena  ijmak fuqaha menyatakan shalat dianggap sah ketika air tidak ditemukan.

Contoh lain, madzhab Zhahiriyah menyebutkan bahwa hukum jual beli ummu'l walad[17] seperti hamba sahaya lainya, karena ijmak fuqaha sebelumnya telah menyatakan hukum jual beli hamba sahaya sebelum dia menjadi ummu'l walad. Jadi, berdasarkan Istishhâb ini hukum jual beli hamba sahaya senantiasa diberlakukan baik sebelum atau sesudah menjadi ummu'l walad. Dengan demikian, sebenarnya hukum permasalahan telah disepakati sebelumnya, namun kemudian diperelisihkan karena ada salah satu sifat yang berubah dalam permasalahan tesebut. Jadi, apakah keberlangsungan hukum yang telah disepakati sebelumnya berlaku walaupun salah satu sifat telah berubah dalam permasalahan tersebut? Singkatnya, apakah Istishhâb jenis ini bisa dijadikan hujjah?

Terjadi perselisihan yang begitu besar antar para ulama ushul fikih, yaitu:[18]

  1. Menurut Imam Syafii, al-Mazani, ibnu Suraij, al-Shairafi, ibnu Khairan, ibnu Sam‘ani,  al-Amidi, ibnu Hâjib, Abu Ishaq bin Syaqilan, Abu Tsaur, dan Dawud al-Zhahiri bahwa Istishhâb jenis ini bisa dijadikan hujjah, bahkan al-Syaukani mengatakan bahwa inilah pendapat yang rajih karena berpegang dengan Istishhâb ini berarti tetap memberlakukan hukum seperti sebelumnya, dan tidak wajib berpindah kepada hukum selainnya kecuali ada dalil yang merubahnya. Adapun alasan mereka, bahwa pergantian waktu, tempat, dan subjek tidak berpengaruh terhadap pemberlakuan hukum yang telah diijmakkan sebelumnya atas dasar Istishhâb. Maka hal ini menunjukkan bahwa berubahnya sifat juga tidak berpengaruh dalam memberlakukan hukum yang diijmakkan sebelumnya.

  2. Sedangkan menurut jumhur ulama (Hanafiyah, Syafiiyah dan mayoritas Malikiyah), Istishhâb jenis ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena ijmak yang disepakati atas sebuah sifat tidak menunjukkan disepakatinya pada sifat yang lain. Contoh, ijmak menyatakan sahnya shalat seseorang dengan tayammum selama tidak menemukan air, namun jika ditemukannya di waktu shalat maka saat itu juga hukum ijmak tidak berlaku lagi, dan shalat tersebut dinyatakan batal karena salah satu sifat yang telah disepakati tersebut telah berubah. Demikian juga, ijmak menyatakan disyari'atkan jual beli hamba sahaya selama dia masih tergolong makna hamba sahaya itu sendiri, namun jika dia telah menjadi ummu'l walad maka hukum ijmak sebelumnya tidak berlaku lagi.

Hal ini disepakati oleh Qadhi al-Baqilani, Abu Ishaq al-Syirazi, ibnu Shibâgh, dan imam al-Ghazali. Abu Manshur mengatakan: "Itu adalah perkataan jumhur dari berbagai golongan yang berpegang kepada kebenaran”. Al-Mawardi dan al-Rûyanî mengatakan dalam kitab "al-Qadha": ”Itu adalah perkataan Imam Syafi'i dan jumhur ulama. Dengan demikian, dilarang menghukumi sesuatu hanya berdasarkan Istishhâb jenis ini, kecuali terdapat qiyas atau dasar-dasar hukum lain yang menetapkan keberlangsungan hukum sebelumnya di masa sekarang"



F. Istishhâb al-Maqlûb[19]

Artinya, memberlakukan hukum di masa lalu atas dasar penetapannya di masa sekarang sebab ketiaadaan dalil yang menafikannya. Jadi, ia kebalikan Istishhâb yang biasa, yaitu menghukumi sesuatu pada masa sekarang atas dasar ditetapkannya hukum tersebut pada masa lalu. Jenis Istishhâb ini disebutkan oleh Ibnu al-Subki al-Syafi'i dan disandarkan kepada orang-orang yang menyetujuinya. Contoh, jika melihat Zaid duduk hari ini di sebuah tempat, kemudian ragu apakah Zaid juga duduk di tempat ini pada hari sebelumnya? Dalam hal ini, Zaid dihukumi duduk di tempat yang sama pada hari sebelumnya atas dasar Istishhâb al-Maqlûb, karena pengambilan hukum ini sebenarnya kembali kepada Istishhâb yang biasa, yaitu jika Zaid tidak duduk pada hari sebelumnya maka dia juga dihukumi tidak duduk hari ini berdasarkan Istishhâb yang biasa.

Dari Istishhâb ini, Syafi'iyah mendapatkan solusi permaslahan fikih sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Subki:: "Apabila seseorang membeli barang kepada penjual, kemudian datang orang ketiga mengambil barang tersebut dengan alasan bahwa dia berhak memilikinya (pemiliknya) maka Syafi'iyah sepakat bahwa pembeli tersebut harus mengembalikan barang yang telah dia beli kepada orang ketiga berdasarkan Istishhâb al-Maqlûb, yaitu memberlakukan hukum dengan menetapkan adanya orang ketiga yang telah telah memiliki barang tersebut di masa sebelumnya, atas dasar alasan kepemilikan yang dia kemukakan di masa sekarang. Setelah itu, si penjual pun  wajib mengembalikan hak si  pembeli".

Bahkan Alauddin al-Fâsî mengatakan bahwa fuqaha Malikyah juga berpegang dengan Istishhâb ini dalam beberapa permasalahan, salah satunya adalah wakaf. Apabila setelah melakukan penelitian masih tidak ditemukan sumber wakaf dan syarat-syarat pewakaf pada masa lalu maka ia dihukumkan seperti masa sekarang, di mana wakaf telah diatur sedemikian rupa hingga ada dalil yang menentangnya berdasarkan Istishhâb al-Maqlûb.

Lanjutan edisi ketiga : Konsep Istishab dalam Ushul Fikih








[1] Al-Syaukani, op. cit., hal. 682, Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 162, Sa'duddin Mus'ad Hilali, op. cit., hal. 176, dan Jalaluddin Abdurahman, op. cit., hal. 138.




[2] Ibid., hal. 136, Al-Syaukani, op. cit., hal. 681,  Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 162, dan Sa'duddin Mus'ad Hilali, op. cit., hal. 176.




[3] Ibid., hal. 176, dan Muhammad Abu Zahrah op. cit., hal. 266.




[4] Al-Syaukani, op. cit., hal. 681 dan Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 162.




[5] Ibid., hal. 162.




[6] Ibid.




[7] Ibid.




[8] Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hal. 264.




[9] Al-Syaukani, op. cit., hal. 681. dan Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 163.




[10] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu'l Bârî bi Syarhi Shahîh  al-Bukhârî, vol. I, Maktabah al-Shafâ', cet. I, 2003 M, hal. 134.




[11] Sa'duddin Mus'ad Hilali,  op. cit., hal. 178.




[12] Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 162.




[13] Ibid., hal. 171, dan Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal.  270.




[14] Sa'duddin Mus'ad Hilali,  op. cit., hal. 179.




[15] Al-Syaukani, op. cit., hal. 682.




[16] Ibid., hal. 682 dan Sa'duddin Mus'ad Hilali,  op. cit., hal. 181.




[17] Hamba sahaya yang melahirkan anak majikannya.









[19] Sa'duddin Mus'ad Hilali,  op. cit., hal. 181.


Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

1 komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]