AGAR SEJARAH ISLAM TAK LAGI DI SELEWENGKAN (2)
Bukankah dengan tidak diterapkan metode ini, justru akan membuka celah bagi usaha-usaha penyelewengan terhadap sejarah Islam itu sendiri? Jadi menurut Anda, apa solusi tepat untuk menghindarkan sejarah Islam dari bentuk-bentuk penyelewengan tersebut?
Permasalahannya bukan seperti itu. Jangan dipahami bahwa seluruh pendapat sejarawan saling bertolak belakang. Ada semacam konsensus bersama di kalangan sejarawan, mana hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang masih diperdebatkan dan nama yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Jika saya katakan bahwa dalam sejarah Islam ada yang disebut dengan perang unta dan perang shiffin, maka tidak ada seorang pun yang akan mengingkarinya kecuali orang bodoh. Sebagaimana jika dikatakan bahwa Daulah Bani Umayyah berdiri pada tahun 41 Hijiriyah, para pemimpinnya adalah Mu’awiyah, Yazid, Mu’awiyah II, Ibnu Marwan dan Malik bin Marwan dan seterusnya, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Masalah akan timbul jika terdapat beberapa perbedaan dalam tataran penelitian dan cara pandang (baca: ideologi), seperti jika seorang sejarawan yang berpaham markisme mencoba menganalisa sejarah Islam dengan metodenya sendiri, maka kemungkinan besar ia akan menyelewengkan sejarah dan memutarbalikkan fakta.
Jika metode ini memang tidak dapat diterapkan, maka tentu kita tetap membutuhkan metode tertentu untuk melakukan pambacaan ulang terhadap sejarah itu sendiri persis seperti yang disarankan Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya; ‘Târîkhunâ al-Muftarâ ‘Alaihi’. Apa tanggapan Anda mengenai hal ini?
Pertama kali, saya sangat menghargai pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi. Namun sayangnya, beliau berbicara lebih berdasarkan perasaan dan lebih sebagai seorang dai, bukan sejarawan. Padangan beliau tentang sejarah Islam patut kita hargai. Tetapi harus diingat, pendapatnya bukan berdasarkan spesialisasi keilmuan sebagai seorang sejarawan, sehingga ada banyak hal yang kurang dicermati oleh beliau. Di antara pendapat yang perlu dicermati, beliau banyak menjadikan ungkapan orang saleh tertentu sebagai standar dalam meneliti validitas sejarah, misalnya beliau mengatakan bahwa pemimpin Daulah Bani Umaiyah terbesar adalah Umar bin Abdul Aziz dan setelahnya adalah Yazid bin Walid. Padahal dalam sejarahnya, Yazid bin Walid yang memerintah selama enam belas tahun sering mendzalimi rakyat bahkan ia mengaku pernah membunuh seorang khalifah. Yazid bin Walid-lah sebenarnya faktor terbesar penyebab keruntuhan daulah ini. Banyak terjadi aksi kudeta selama ia memimpin, bahkan setelah wafatnya, mulailah Bani Umayyah saling bermusuhan satu sama lain sampai akhirnya runtuh. Apakah ini yang dipuji oleh Dr. Qaradhawi dan menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang adil. Pendapat ini sangat tidak tepat dan kurang cermat. Hal ini bisa jadi karena Dr. Qaradhawi bukan seorang sejarawan, maka idealnya beliau bertanya terlebih dahulu kepada pakar sejarah.
Di antara cara modern Barat dalam mendistorsi sejarah Islam adalah dengan menggunakan media massa dan elektronik baik lewat film, lagu dan sarana lainnya. Menurut Anda, apakah solusi tepat yang harus dilakukan umat Islam untuk membentengi sejarahnya dari upaya-upaya tersebut?
Solusi terbainya adalah mengetahui watak manusia itu sendiri, terutama musuh-musus Islam. Kita harus menggunakan semua sarana yang memungkinkan untuk membersihkan sejarah kita dari tuduhan-tuduhan tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur`an, “...mereka akan terus memerangi kalian sampai kalian keluar dari agama kalian semampu mereka’. (QS. 2: 217), dalam hati mereka memang sudah terpatri kebencian mendalam kepada Islam dan kaum muslimin. Mereka mencoba berinteraksi dengan kita, namun tidak pernah bersikap adil dengan umat Islam dan tidak pernah jujur mengungkap kebenaran Islam. Bahkan dengan sengaja, mereka membentuk satu kelompok khusus anti Islam (baca: orientalis) yang tugasnya hanya merusak agama Islam dari segala segi. Bukankah mereka yang menyerang kaum muslimin di Philipina? Bukankah mereka yang memiliki senjata nuklir dan menyebabkan peperangan selama dua abad ini? Bukankah mereka yang membunuh lebih kurang 8 juta penduduk Aljazair selama 130 tahun?
Oleh sebab itu, menurut saya, cara yang tepat untuk membantah mereka adalah membongkar kedok sejarah kelam mereka sendiri. Ketika lembaga pengadilan yang ada di Spanyol sengaja didirikan untuk mendiskritkan umat Islam, ternyata di lembaga pengadilan mereka sendiri terdapat pertikaian. Bahkan mereka tidak mengakui kebebasan berpikir dan menuduh seluruh orang yang menjadikan kitab suci sebagai pedoman adalah orang yang kolot dan primitif.
Sejarah mereka yang penuh dengan lembaran hitam menunjukkan bahwa perjalanan mereka selalu diwarnai dengan pertikaian. Coba perhatikan bagaimana mereka menyiksa seorang ilmuwan yang mengatakan bahwa bumi ini berbentuk bulat. Saat ini, bagaimana cara mereka membodohi dunia dengan tuduhan-tuduhan murahan terhadap umat Islam sepeti isu terorisme dan sebagainya. Itu semua adalah hasil rekayasa mereka untuk menjatuhkan Islam. Oleh karenanya, kita harus selalu waspada dengan niat mereka dan pada saat yang sama, kita juga harus selalu menjelaskan sejarah Islam secara benar dengan sarana apapun, baik buku, internet dan media lainnya agar generasi Islam ini paham akan sejarah mereka.
Kalau boleh, saya ingin menambahkan tanggapan atas pendapat Dr. Qaradhawi. Begini, sesungguhnya beliau terjebak dengan pendapatnya sendiri. Ketika menganggap beberapa kalangan bersikap kurang adil terhadap sejarah Islam, pada saat yang sama, beliau menjelekkan sejarah Islam sendiri. Dalam bukunya tersebut, beliau menganggap bahwa sistem pemerintahan keturunan adalah sistem yang kurang baik. Padahal, sistem ini tidak hanya ada pada saat pemerintahan Bani Umayyah tapi juga diterapkan pada pemerintahan Bani Abbasiyah, Ayubiyah, Utsmaniyah dan Fathimiyah. Artinya, hampir 90 persen sejarah Islam adalah pemerintahan keturunan. Jika Dr. Yusuf Qaradhawi menolak pendapat Muhammad Ghazali yang mengatakan bahwa sistem ini diterapkan sepanjang sejarah Islam, maka secara otomatis beliau telah menyerang sejarah Islam seluruhnya, meskipun hal itu di luar kemauan beliau.
Permasalahannya menurut saya, bukan terletak pada sistem pemerintahan keturunan atau tidak, akan tetapi yang terpenting adalah nilai-nilai keadilan yang diterapkan pada sistem tersebut. Bahkan bagi saya secara pribadi, lebih baik pemrintahan keturunan yang berdiri di atas nilai-nilai kadilan daripada sistem revolusi atau republik yang hanya diwarnai oleh keburukan. Bagaimana Anda melihat Sukarno, Suharto, Gamal Abdul Nashir dan para pemimpin setelahnya? Ternyata seluruhnya hanyalah kamuflase belaka yang tidak pernah melahirkan kebaikan dan ketenangan bahkan sekedar kebebasan. Artinya, sejauh mana nlai-nilai Islam seperti keadilan, musyawarah, persamaan, kebebasan itu diterapkan dalam sebuah negara terlepas dari sistem pemerintahan apa yang digunakan.
Bisakah Anda sedikit menjelaskan tentang perbedaan mendasar antara metode yang digunakan orientalis dengan metode umat Islam dalam meneliti sejarah Islam?
Adalah kewajiban kita semua untuk besikap objektif terhadap sejarah kita sendiri. Peristiwa apapun yang terjadi sepanjang sejarah Islam harus disikapai dengan baik dan dilihat secara utuh. Kita memang boleh berbeda pendapat dengan hal-hal yang memang masih diperselisihkan, akan tetapi jangan sampai hal itu justru menjerat kita untuk menilai seluruh sejarah Islam dengan kacamata subjktif. Inilah yang harus kita tuntut dari kaum orieentalis dalam melihat sejarah umat Islam. Saya katakan, barangkali untuk saat ini para musuh-musuh Islam bisa dikatakan menang dalam memusuhi Islam. Kenapa demikian? Karena umat Islam sedang terlelap, sebagaimana yang diungkapkan syekh Ghozali bahwa musuh-musuh Islam bersembunyi di balik kelemahan Islam.
Perbedaan mendasar antara metode orientalis dan umat Islam dalam meneliti sejarah adalah bahwa seorang orientalis berusaha memasukkan hasil penelitiannya terhadap sejarah Islam. Hal ini dapat dipahami karena mereka berangkat dari penelitian sebelumnya yang sarat akan kepentingan. Sementara, disiplin ilmu apapun yang menjadikan hasil penelitian orang lain atau hasil penelitian sebelumnya sebagai landasan, maka itu bukan disebut ilmu. Agar objektif, penelitian mereka seharusnya melewati fase-fase tertentu, di samping juga harus melepas baju kedengkian dan dendam terhadap agama Islam. Sedangkan kita sebagai sejarawan Islam, berangkat dari ‘daerah kosong’ dan keinginan untuk menemukan kebenaran sejarah. Makanya, sejarawan muslim tidak pernah mengingkari kebenaran sekalipun datangnya dari orang lain sebagaimana yang ditegaskan panjang lebar dalam al-Qur`an.
Menurut Anda, mungkinkah para sejarawan muslim untuk melakukan pembacaan ulang terhadap sejarah Islam dengan metode yang baru? Kalau mungkin, kira-kira faktor apa saja yang mendukungnya?
Menurut saya, pertama kali, kita harus lebih mencermati lagi bebagai kurikulum pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, termasuk institusi pendidikan yang berada di Indonesia saya kira. Sebab, aspek ini (baca: kurikulum pendidikan) terlanjur disusun di bawah ‘penjajahan metedologi’ ala Amerika. Oleh sebab itu, kita perlu menampilkan ulang sejarah Islam dengan berbagai sarana., baik itu melalui buku sejarah, diskusi-diskusi intensif, internet dan sarana lainnya. Jika sekarang kita mengajarkan agama kepada anak-anak, menjaga mereka agar tetap berinteraksi intens dengan al-Qur`an, tidak hanya sekedar menghafal tapi juga memahaminya dengan benar, memahamkan mereka akan rukun Iman dan rukun Islam, maka sudah selayaknya pula kita mengenalkan sejarah Islam terdahulu secara singkat, jelas dan komprehensif agar mereka paham akan kemegahan dan kegemilangan sejarahnya.
Secara historis, umat Islam-lah yang sebenarnya menjembatani munculnya peradaban Barat modern, dimana ketika itu kaum muslimin menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab dan merumuskannya dalam bentuk sederhana sehingga dapat dipahami oleh bangsa Eropa kemudian. Tanpa usaha umat Islam ini, mustahil Eropa bisa membangun peradaban modernnya seperti yang kita saksikan saat ini. Sayangnya, dalam kurun waktu lima sampai enam abad kemudian, umat Islam seperti kehilangan orang-orang kreatif untuk membangun peradabannya sendiri, persis seperti apa yang dikatakan oleh sejarawan Barat, Will Durant. Padahal pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam menjadi simbol kemajuan ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Contoh lain, pada masa pemerintahan Abdurrahman al-Nashir dari Dinasti Fathimiyah (350 H-366 H), di perpustakaannya terdapat 400.000 jilid buku dimana pada saat yang sama, perpustakaan Eropa hanya mempunyai 190 jilid buku saja. Demikian juga perpustakaan Daru`l Hikmah di Kairo yang mempunyai koleksi buku hingga jutaan eksemplar. Bahkan setiap rumah punya perpustakaan pribadi. Maka tak salah kalau dulu itu kita adalah penguasa peradaban. Ilmu apapun yang dicari, termasuk Ilmu Falak dan Ilmu Kedokteran, ada dalah khazanah Islam. Hal itu bisa dibuktikan dalam karya-karya Khawarizmi, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Sina dan cendikiawan muslim lainnya.
Jadi, apa saran Anda untuk membangun kembali generasi Islam yang terlelap ini?
Pertama sekali, saya mengingatkan kaum muslimin dengan peringatan al-Qur`an dalam surat al-‘Alaq, yang artinya; “Bacalah dengan nama Tuhan-mu!” Zaman skarang adalah zaman yang penuh dengan keberagaman ilmu. Bacalah apa saja yang dapat meningkatkan wawasan kita sebagai seorang muslim agar kita dapat menguasai informasi tersebut, bukan sebaliknya, informasi itu yang menguasai kita, menuduh kita dengan sesuatu yang tidak benar. Anda bisa lihat dalam beberapa surat kabar kita. Porsi bagi wawasan dan penelitian sangat minim sekali, sementara porsi untuk informasi olah raga, berita kriminalitas dan pelecehan seksual begitu dibesar-besarkan. Padahal apa yang akan didapat dari informasi-informasi semacam ini. Itulah mengapa, Rasulullah saw. sering berdo`a, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat.”
Wa`lLâhu A’lamu Bishshawâb.
Permasalahannya bukan seperti itu. Jangan dipahami bahwa seluruh pendapat sejarawan saling bertolak belakang. Ada semacam konsensus bersama di kalangan sejarawan, mana hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang masih diperdebatkan dan nama yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Jika saya katakan bahwa dalam sejarah Islam ada yang disebut dengan perang unta dan perang shiffin, maka tidak ada seorang pun yang akan mengingkarinya kecuali orang bodoh. Sebagaimana jika dikatakan bahwa Daulah Bani Umayyah berdiri pada tahun 41 Hijiriyah, para pemimpinnya adalah Mu’awiyah, Yazid, Mu’awiyah II, Ibnu Marwan dan Malik bin Marwan dan seterusnya, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Masalah akan timbul jika terdapat beberapa perbedaan dalam tataran penelitian dan cara pandang (baca: ideologi), seperti jika seorang sejarawan yang berpaham markisme mencoba menganalisa sejarah Islam dengan metodenya sendiri, maka kemungkinan besar ia akan menyelewengkan sejarah dan memutarbalikkan fakta.
Jika metode ini memang tidak dapat diterapkan, maka tentu kita tetap membutuhkan metode tertentu untuk melakukan pambacaan ulang terhadap sejarah itu sendiri persis seperti yang disarankan Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya; ‘Târîkhunâ al-Muftarâ ‘Alaihi’. Apa tanggapan Anda mengenai hal ini?
Pertama kali, saya sangat menghargai pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi. Namun sayangnya, beliau berbicara lebih berdasarkan perasaan dan lebih sebagai seorang dai, bukan sejarawan. Padangan beliau tentang sejarah Islam patut kita hargai. Tetapi harus diingat, pendapatnya bukan berdasarkan spesialisasi keilmuan sebagai seorang sejarawan, sehingga ada banyak hal yang kurang dicermati oleh beliau. Di antara pendapat yang perlu dicermati, beliau banyak menjadikan ungkapan orang saleh tertentu sebagai standar dalam meneliti validitas sejarah, misalnya beliau mengatakan bahwa pemimpin Daulah Bani Umaiyah terbesar adalah Umar bin Abdul Aziz dan setelahnya adalah Yazid bin Walid. Padahal dalam sejarahnya, Yazid bin Walid yang memerintah selama enam belas tahun sering mendzalimi rakyat bahkan ia mengaku pernah membunuh seorang khalifah. Yazid bin Walid-lah sebenarnya faktor terbesar penyebab keruntuhan daulah ini. Banyak terjadi aksi kudeta selama ia memimpin, bahkan setelah wafatnya, mulailah Bani Umayyah saling bermusuhan satu sama lain sampai akhirnya runtuh. Apakah ini yang dipuji oleh Dr. Qaradhawi dan menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang adil. Pendapat ini sangat tidak tepat dan kurang cermat. Hal ini bisa jadi karena Dr. Qaradhawi bukan seorang sejarawan, maka idealnya beliau bertanya terlebih dahulu kepada pakar sejarah.
Di antara cara modern Barat dalam mendistorsi sejarah Islam adalah dengan menggunakan media massa dan elektronik baik lewat film, lagu dan sarana lainnya. Menurut Anda, apakah solusi tepat yang harus dilakukan umat Islam untuk membentengi sejarahnya dari upaya-upaya tersebut?
Solusi terbainya adalah mengetahui watak manusia itu sendiri, terutama musuh-musus Islam. Kita harus menggunakan semua sarana yang memungkinkan untuk membersihkan sejarah kita dari tuduhan-tuduhan tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur`an, “...mereka akan terus memerangi kalian sampai kalian keluar dari agama kalian semampu mereka’. (QS. 2: 217), dalam hati mereka memang sudah terpatri kebencian mendalam kepada Islam dan kaum muslimin. Mereka mencoba berinteraksi dengan kita, namun tidak pernah bersikap adil dengan umat Islam dan tidak pernah jujur mengungkap kebenaran Islam. Bahkan dengan sengaja, mereka membentuk satu kelompok khusus anti Islam (baca: orientalis) yang tugasnya hanya merusak agama Islam dari segala segi. Bukankah mereka yang menyerang kaum muslimin di Philipina? Bukankah mereka yang memiliki senjata nuklir dan menyebabkan peperangan selama dua abad ini? Bukankah mereka yang membunuh lebih kurang 8 juta penduduk Aljazair selama 130 tahun?
Oleh sebab itu, menurut saya, cara yang tepat untuk membantah mereka adalah membongkar kedok sejarah kelam mereka sendiri. Ketika lembaga pengadilan yang ada di Spanyol sengaja didirikan untuk mendiskritkan umat Islam, ternyata di lembaga pengadilan mereka sendiri terdapat pertikaian. Bahkan mereka tidak mengakui kebebasan berpikir dan menuduh seluruh orang yang menjadikan kitab suci sebagai pedoman adalah orang yang kolot dan primitif.
Sejarah mereka yang penuh dengan lembaran hitam menunjukkan bahwa perjalanan mereka selalu diwarnai dengan pertikaian. Coba perhatikan bagaimana mereka menyiksa seorang ilmuwan yang mengatakan bahwa bumi ini berbentuk bulat. Saat ini, bagaimana cara mereka membodohi dunia dengan tuduhan-tuduhan murahan terhadap umat Islam sepeti isu terorisme dan sebagainya. Itu semua adalah hasil rekayasa mereka untuk menjatuhkan Islam. Oleh karenanya, kita harus selalu waspada dengan niat mereka dan pada saat yang sama, kita juga harus selalu menjelaskan sejarah Islam secara benar dengan sarana apapun, baik buku, internet dan media lainnya agar generasi Islam ini paham akan sejarah mereka.
Kalau boleh, saya ingin menambahkan tanggapan atas pendapat Dr. Qaradhawi. Begini, sesungguhnya beliau terjebak dengan pendapatnya sendiri. Ketika menganggap beberapa kalangan bersikap kurang adil terhadap sejarah Islam, pada saat yang sama, beliau menjelekkan sejarah Islam sendiri. Dalam bukunya tersebut, beliau menganggap bahwa sistem pemerintahan keturunan adalah sistem yang kurang baik. Padahal, sistem ini tidak hanya ada pada saat pemerintahan Bani Umayyah tapi juga diterapkan pada pemerintahan Bani Abbasiyah, Ayubiyah, Utsmaniyah dan Fathimiyah. Artinya, hampir 90 persen sejarah Islam adalah pemerintahan keturunan. Jika Dr. Yusuf Qaradhawi menolak pendapat Muhammad Ghazali yang mengatakan bahwa sistem ini diterapkan sepanjang sejarah Islam, maka secara otomatis beliau telah menyerang sejarah Islam seluruhnya, meskipun hal itu di luar kemauan beliau.
Permasalahannya menurut saya, bukan terletak pada sistem pemerintahan keturunan atau tidak, akan tetapi yang terpenting adalah nilai-nilai keadilan yang diterapkan pada sistem tersebut. Bahkan bagi saya secara pribadi, lebih baik pemrintahan keturunan yang berdiri di atas nilai-nilai kadilan daripada sistem revolusi atau republik yang hanya diwarnai oleh keburukan. Bagaimana Anda melihat Sukarno, Suharto, Gamal Abdul Nashir dan para pemimpin setelahnya? Ternyata seluruhnya hanyalah kamuflase belaka yang tidak pernah melahirkan kebaikan dan ketenangan bahkan sekedar kebebasan. Artinya, sejauh mana nlai-nilai Islam seperti keadilan, musyawarah, persamaan, kebebasan itu diterapkan dalam sebuah negara terlepas dari sistem pemerintahan apa yang digunakan.
Bisakah Anda sedikit menjelaskan tentang perbedaan mendasar antara metode yang digunakan orientalis dengan metode umat Islam dalam meneliti sejarah Islam?
Adalah kewajiban kita semua untuk besikap objektif terhadap sejarah kita sendiri. Peristiwa apapun yang terjadi sepanjang sejarah Islam harus disikapai dengan baik dan dilihat secara utuh. Kita memang boleh berbeda pendapat dengan hal-hal yang memang masih diperselisihkan, akan tetapi jangan sampai hal itu justru menjerat kita untuk menilai seluruh sejarah Islam dengan kacamata subjktif. Inilah yang harus kita tuntut dari kaum orieentalis dalam melihat sejarah umat Islam. Saya katakan, barangkali untuk saat ini para musuh-musuh Islam bisa dikatakan menang dalam memusuhi Islam. Kenapa demikian? Karena umat Islam sedang terlelap, sebagaimana yang diungkapkan syekh Ghozali bahwa musuh-musuh Islam bersembunyi di balik kelemahan Islam.
Perbedaan mendasar antara metode orientalis dan umat Islam dalam meneliti sejarah adalah bahwa seorang orientalis berusaha memasukkan hasil penelitiannya terhadap sejarah Islam. Hal ini dapat dipahami karena mereka berangkat dari penelitian sebelumnya yang sarat akan kepentingan. Sementara, disiplin ilmu apapun yang menjadikan hasil penelitian orang lain atau hasil penelitian sebelumnya sebagai landasan, maka itu bukan disebut ilmu. Agar objektif, penelitian mereka seharusnya melewati fase-fase tertentu, di samping juga harus melepas baju kedengkian dan dendam terhadap agama Islam. Sedangkan kita sebagai sejarawan Islam, berangkat dari ‘daerah kosong’ dan keinginan untuk menemukan kebenaran sejarah. Makanya, sejarawan muslim tidak pernah mengingkari kebenaran sekalipun datangnya dari orang lain sebagaimana yang ditegaskan panjang lebar dalam al-Qur`an.
Menurut Anda, mungkinkah para sejarawan muslim untuk melakukan pembacaan ulang terhadap sejarah Islam dengan metode yang baru? Kalau mungkin, kira-kira faktor apa saja yang mendukungnya?
Menurut saya, pertama kali, kita harus lebih mencermati lagi bebagai kurikulum pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, termasuk institusi pendidikan yang berada di Indonesia saya kira. Sebab, aspek ini (baca: kurikulum pendidikan) terlanjur disusun di bawah ‘penjajahan metedologi’ ala Amerika. Oleh sebab itu, kita perlu menampilkan ulang sejarah Islam dengan berbagai sarana., baik itu melalui buku sejarah, diskusi-diskusi intensif, internet dan sarana lainnya. Jika sekarang kita mengajarkan agama kepada anak-anak, menjaga mereka agar tetap berinteraksi intens dengan al-Qur`an, tidak hanya sekedar menghafal tapi juga memahaminya dengan benar, memahamkan mereka akan rukun Iman dan rukun Islam, maka sudah selayaknya pula kita mengenalkan sejarah Islam terdahulu secara singkat, jelas dan komprehensif agar mereka paham akan kemegahan dan kegemilangan sejarahnya.
Secara historis, umat Islam-lah yang sebenarnya menjembatani munculnya peradaban Barat modern, dimana ketika itu kaum muslimin menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab dan merumuskannya dalam bentuk sederhana sehingga dapat dipahami oleh bangsa Eropa kemudian. Tanpa usaha umat Islam ini, mustahil Eropa bisa membangun peradaban modernnya seperti yang kita saksikan saat ini. Sayangnya, dalam kurun waktu lima sampai enam abad kemudian, umat Islam seperti kehilangan orang-orang kreatif untuk membangun peradabannya sendiri, persis seperti apa yang dikatakan oleh sejarawan Barat, Will Durant. Padahal pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam menjadi simbol kemajuan ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Contoh lain, pada masa pemerintahan Abdurrahman al-Nashir dari Dinasti Fathimiyah (350 H-366 H), di perpustakaannya terdapat 400.000 jilid buku dimana pada saat yang sama, perpustakaan Eropa hanya mempunyai 190 jilid buku saja. Demikian juga perpustakaan Daru`l Hikmah di Kairo yang mempunyai koleksi buku hingga jutaan eksemplar. Bahkan setiap rumah punya perpustakaan pribadi. Maka tak salah kalau dulu itu kita adalah penguasa peradaban. Ilmu apapun yang dicari, termasuk Ilmu Falak dan Ilmu Kedokteran, ada dalah khazanah Islam. Hal itu bisa dibuktikan dalam karya-karya Khawarizmi, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Sina dan cendikiawan muslim lainnya.
Jadi, apa saran Anda untuk membangun kembali generasi Islam yang terlelap ini?
Pertama sekali, saya mengingatkan kaum muslimin dengan peringatan al-Qur`an dalam surat al-‘Alaq, yang artinya; “Bacalah dengan nama Tuhan-mu!” Zaman skarang adalah zaman yang penuh dengan keberagaman ilmu. Bacalah apa saja yang dapat meningkatkan wawasan kita sebagai seorang muslim agar kita dapat menguasai informasi tersebut, bukan sebaliknya, informasi itu yang menguasai kita, menuduh kita dengan sesuatu yang tidak benar. Anda bisa lihat dalam beberapa surat kabar kita. Porsi bagi wawasan dan penelitian sangat minim sekali, sementara porsi untuk informasi olah raga, berita kriminalitas dan pelecehan seksual begitu dibesar-besarkan. Padahal apa yang akan didapat dari informasi-informasi semacam ini. Itulah mengapa, Rasulullah saw. sering berdo`a, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat.”
Wa`lLâhu A’lamu Bishshawâb.
[…] Kelanjutan Edisi Kedua : AGAR SEJARAH ISLAM TAK LAGI DI SELEWENGKAN (2) […]
BalasHapus