SIMBOLISME BAGIAN DARI KOMODITAS SEKULARISME (2)
Banyak dari kelompok liberal menyeru kita agar berpindah dari sekedar simbol menuju ke maqâsidu`l syari’ah. Mereka juga mengatakan bahwa maqâsidu`l syari’ah adalah sumber hukum Islam selain al-Qur`an dan Sunah. Bagaimana komentar Anda?
Saya tidak sepakat dengan klaim ini. Saya telah mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara dua dimensi ini. Tapi sekalipun begitu, harapan akan keseimbangan diantara keduanya di tengah-tengah umat Islam masih sekedar utopia. Kita harus menyeimbangkan keduanya dan tidak condong ke salah satu saja. Kita upayakan hal tersebut semaksimal mungkin. Tidak hanya care pada paham simbolisme saja (baik itu yang berkembang di Barat maupun yang berkembang di Timur) atau juga tidak hanya memperhatikan aspek substansi (maqâshidiy) saja sebagaimana yang digaungkan oleh kelompok liberal. Mereka biasa berlindung di bawah kaidah ushul fikih al-‘ibratu bi`l maqâshidihâ. Maqashid atau substansi itu tidak akan terealisir dengan baik tanpa dibalut lagi dengan simbol normatif-praktis. Artinya, simbol-simbol tersebut harus tetap ada dan dilaksanakan.
Mereka yang menyerukan agar berpindah ke masalah maqashid saja dan keluar dari simbol fikih, apa sebenarnya tujuan yang ingin dicapai dengan itu? Apakah mereka hendak mengubah ketentuan legal formal yang beraku di masyarakat atau hendak meniru Barat? Jadi, kita dituntut untuk bisa mengkolaborasikan dua hal; tidak berlebihan (ekstrim) dalam hal simbol dan tidak juga mencampakkan begitu saja. Kelompok liberal itu sebenarnya tidak mutlak menginginkan kebebasan, akan tetapi mereka menginginkan agar tidak terikat dan terkungkung di bawah simbol atau undang-undang. Tentu saja hal ini tidak bisa diseret ke ranah agama. Saya tentu saja tidak sepakat dengan mereka.
Ada satu aliran dalam Islam yang menyebutkan kebolehan mengganti hukum buatan Tuhan dengan hukum buatan manusia. Ini adalah pemikiran yang salah dan tidak sesuai dengan hukum syar’i. Hukum syar’i itu sendiri buatan Allah swt. yang dikenakan kepada para muslim yang mukallaf. Lagi pula, kalau kita pahami lebih dalam, hudûd (hukum) itu datang sebagai sebuah sistem yang sudah diatur sedemikian rupa dalam rangka melindungi dan menjaga kemaslahatan manusia pada umumnya. Artinya, ketentuan potong tangan untuk pencuri tidak semata-mata hukuman an sich tanpa ada maksud tertentu dibaliknya.
Oleh karena itu, kita harus memulainya dari pemahaman agama yang benar; akidah, akhak dan hukum-hukum syar’i ‘amaliy (praktis). Kita menginginkan Islam yang beradab, Islam yang sebenar-benarnya yaitu Islam sebagaimana pertama kali diturunkan yang berdasarkan kitabu`lLâh dan sunah Nabi saw.. Bukan hanya politik, juga bukan Islam historis, bukan pula Islam simbolis yang dirancang oleh kelompok liberal yang menyimpang dari ajaran Islam.
Pertanyaan selanjutnya berkenaan dengan sastra Islam (adab Islam). Dalam karya sastra yang mengatasnamakan diri Islami, sering kita dapatkan istilah-istilah tertentu seperti penyebutan nama Allah, lafaz Asslamu’alaikum, Alhamdulillah dsb. Bukankah itu hanya sekedar simbol? Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?
Anda memberikan pertanyaan kepada saya dengan banyak pertanyaan. Tentang pemikiran, sastra, ekonomi dan sufisme. Saya tidak tahu banyak. Andai saja pemikiran tentang fikih Islam dan pembaharuan agama itu berangkat dari titik tolak akidah dan akhlak, baru kemudian beranjak ke undang-undang untuk semata-mata melindungi, maka kita tidak perlu mempermasalahkan simbolisasi tersebut. Saya akan mencoba menjawab semampu saya. Menurut hemat saya, maksud dari adab Islam itu tidak berbeda dengan perekonomian Islam dan tidak berbeda juga dengan syariat Islam. Hal itu karena semuanya bersandar kepada al-Qur`an. Dan ini juga bukan masalah yang baru, seperti sastrawan-sastrawan, misal Jalaluddin Arrumi, Abdurrahman Gami, Ibnul Faridh dan Muhammad Iqbal mereka itu semua bersandar dan memakai istilah-istilah juga kalimat-kalimat islami, bahkan sebagian dari ayat-ayat al-Qur`an dan hadis yang notabene bagian dari ajaran islami. Dan sesungguhnya, hakikat adab islami itu wajib dipahami dan selalu dilaksanakan. Maka saya himbau jangan biarkan bayi yang masih kecil memahami Islam dan kaum yang lainnya itu mengikuti semuanya, akan tetapi yang kami mau adalah keadaan islami di dalam segi adab, perekonomian dan hukum undang-undang. Akan tetapi digabungkan antara simbol dan bagiannya dan simbol-simbol itu seperti hukum undang-undang jangan diambil dari Barat, melainkan yang kita inginkan adalah kita yang memulainya, kita yang menciptakan bersumber dari buku-buku Islam serta akal-pikiran orang muslim. Mungkin dari akhlaknya, hukum undang-undang dan perekonomiannya yang bersatu dengan ruh Islam. Dan inilah jawaban dari simbol-simbol Islam di dalam adab Islam dan saya himbau untuk melihat kembali pada buku-buku turâts yang ditulis oleh Muhammad Jalaluddin berjudul Mâ Hakikatu`l Adab Islam.
NARASUMBER
Nama : Prof. Dr. Hasan Mahmud Abdul Latif al-Syafi’i
Lahir : 19 Desember 1930
Riwayat Pendidikan
- S1 Fakultas Ushuluddin – Universitas Al Azhar jurusan Akidah-Filsafat 1963
- S1 Bahasa Arab dan Ilmu-Ilmu Islam – Fakultas Darul Ulum 1963
- S2 Jurusan Akidah-Filsafat –Fakultas Darul Ulum
- S3 Akidah-Filsafat Universitas London – Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika SOAS (School of Oriental and African Studies) 1977
Karir
- Guru Besar Akidah-Filsafat – Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo
- Kepala Jurusan Akidah-Filsafat – Fakultas darul Ulum Universitas Kairo 1992-1995
- Anggota Dewan Tinggi Bahasa Arab (Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah) Kairo sejak tahun 1994
- Dewan Redaksi Jurnal ‘al-Muslim al’Mu’ashir’ yang terbir di Kairo
- Dekan Fakultas Syari’ah – Universitas Islam Internasional Islamabat-Pakistan 1983
- Rektor Universitas Internasional Islamabat-Pakistan 1998-2004
Karya
- Ghayatu`l Maram fi Ilmi`l Kalam, Saifuddin al-Amidi
- Tathawwur Fikri`l Falsafi fi Iran
- Muqaddimah fi Filsafah ‘Ammah
- Fshul fi Tashawuf
- Al-Madkhal ila Dirasati Ilmi`l Kalam
- Fi Fikrina al-Hadits al-Mua’shir
- Al-Amidi wa Ara`uhu al-Kalamiyyah
- Al-Tayyar al-Masyai fi`l Falasafah al-Islamiyyah
- dan lain-lain.
Berikut nasehat Prof. Dr. Hasan Mahmud Abdul Latif al-Syafi’i untuk kaum muslim se-dunia dan warga Indonesia dalam menghadapi istilah simbolis:
“Saya himbau untuk saudara-saudara sekalian untuk menjaga akhlak kepribadiannya sehari-hari, dengan demikian maka tidak akan rusaklah simbol-simbol Islam.”
Labels
Sinar Mesir
[…] Lanjutan Edisi Dua : SIMBOLISME BAGIAN DARI KOMODITAS SEKULARISME (2) […]
BalasHapus[…] sumber hukum Islam selain al-Qur`an dan Sunah. Bagaimana komentar Anda? Lanjutan Edisi Dua : SIMBOLISME BAGIAN DARI KOMODITAS SEKULARISME (2) input, textarea{} #authorarea{ padding-left: 8px; margin:10px 0; width: 635px; } #authorarea […]
BalasHapus[…] Lanjutan Edisi Dua : SIMBOLISME BAGIAN DARI KOMODITAS SEKULARISME (2) […]
BalasHapus