PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

KONSEP ISTISHAB DALAM USHUL FIKIH 1

Metodologi, Legalitas, dan Pengaruhnya dalam Inferensi Hukum Islam


(Mira Novyanti  Hamliani)

I. Iftitâh



Dalam khazanah pemikiran ilmu ushul fikih, metode istishhâb adalah salah satu dari 11 dalil yang diperselisihkan untuk menjadi hujjah/sumber penggalian hukum syariat Islam.[1] Para ulama fikih memandang dalil-dalil tersebut sebagai penyempurna empat dalil yang telah disepakati, yaitu al-Qur'an, al-Sunnah, ijma‘, dan qiyâs. Seandainya qiyâs dan sebelas dalil tersebut tidak menjadi metode konklusi hukum, niscaya syariat Islam akan bersifat kaku. Dengan demikian, keumuman nash yang menjadi bahan penggalian hukum harus diproses melalui metode ijtihad, agar bahan-bahan tersebut bisa diolah sedemikian rupa untuk memberikan solusi terhadap perubahan zaman, tempat, dan hal-hal baru yang membutuhkan pandangan hukum.[2]

         Istishhâb mempunyai banyak bagian, namun secara garis besar ia bermakna penetapan hukum di masa sebelumnya, kemudian keberlangsungannya senantiasa diberlakukan di masa sekarang dan akan datang hingga ada dalil yang merubahnya. Dari sebelas dalil tersebut, ia juga termasuk kategori metode ijtihad yang mana keabsahannya diperselisihkan oleh para ulama. Bagi ulama yang sepakat pastinya berpendapat bahwa Istishhâb berperan sebagai instrumen penggalian konklusi hukum. Sebaliknya, ulama yang menentang pastinya juga punya cara tersendiri dalam menghukumi permasalahan. Akhirnya, ke-hujjah-an Istishhâb  yang diperselisahkan menghasilkan produk hukum yang berbeda-beda ketika diterapkan dalam permasalahan-permasalahan fikih.

Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa definisi (yang maknanya sebenarnya hampir sama), macam-macam Istishhâb yang terdiri tujuh bagian beserta pendapat ulama pada masing-masing bagiannya. Selanjutnya, penulis mengikuti metode Imam al-Syaukani dalam menuliskan perselisihan para ulama mengenai keabsahan Istishhâb secara umum dan terakhir adalah peranan Istishhâb itu sendiri dalam wacana hukum fikih beserta pengaruhnya.





II. Definisi Istishhâb



         Istishhâb artinya ikatan hubungan atau kelanjutan sebuah relasi, dan huruf siin dalam lafal Istishhâb bermakna permintaan.[3] Istishhâb secara etimologis adalah menjalin hubungan tanpa keterputusan.[4] Sedangkan secara terminologis adalah menghukumi sesuatu pada zaman yang kedua dengan berdasar pada hukumnya di zaman pertama, tapi dengan syarat hukum tersebut masih tetap berlaku karena ketiadaan dalil yang menghapuskannya. Dikatakan juga bahwa Istishhâb adalah tetap berpegang kepada hukum yang telah ditetapkan sebelumnya selama tidak ada dalil yang merubahnya.[5] Ia dinamakan Istishhâb hâl karena menjadikan hukum yang ditetapkan di masa lalu berlaku hingga sekarang. Contohnya, nash menujukkan bahwa umat Islam diwajibkan menunaikan shalat lima waktu, maka shalat keenam dinafikan karena tidak ada ketetapan yang mewajibkannya hingga sekarang.[6]

Para ahli ushul fikih berbeda-beda dalam pengungkapan Istishhâb itu sendiri hingga menghasilkan banyak definisi, diantaranya: Al-Kamâl ibnu Hammâm[7] mengatakan: “Istishhâb adalah menghukumi kesinambungan sesuatu yang telah terwujud sebelumnya, tanpa adanya kemungkinan akan ketiadaannya”.[8] Al-Isnawi mengatakan: “Istishhâb adalah ketetapan sebuah perkara di zaman yang kedua, atas dasar ditetapkannya pada zaman yang pertama”.[9] Imam Ghazali[10] mengatakan: “Istishhâb bermakna berpegang terhadap dalil akal atau syar’i. Hal ini bukan berarti penetapan hukum tanpa mengetahui dalil, tapi pastinya bersandarkan dalil karena diketahui atau adanya kemungkinan (zhan) bahwa tidak ada dalil lain yang merubahnya setelah  berusaha keras meneliti hukum tersebut”.[11] Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan:“ Istishhâb bermakna kelanjutan sebuah hukum, baik yang artinya penetapan atau penafian hingga ada dalil yang merubahnya”.[12] Al-Syaukani[13] mengatakan: "Istishhâb adalah berlakunya sebuah perkara seperti sediakala hingga ada dalil yang merubahnya" Artinya, hukum segala sesuatu yang berlaku di zaman sebelumnya, berlaku juga di zaman sekarang dan akan datang.[14]

Beberapa definisi di atas sebenarnya hampir satu makna secara prakteknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Istishhâb adalah penetapan hukum berdasarkan dalil di masa lalu, kemudian hukum tersebut tetap diberlakukan di masa sekarang dan akan datang hingga ada dalil yang merubahnya. Namun Ibnu Hazm[15] membatasi definisi Istishhâb dengan mengatakan:“Jika terdapat nash baik dari al-Qur’an atau Sunnah yang menghukumi sebuah perkara, kemudian ada seorang pendakwa yang mengatakan bahwa hukum tersebut telah berubah atau batal karena perkara yang dihukumkan telah berubah kepada kondisi yang lain atau karena perbedaan zaman dan tempat maka pendakwa tersebut harus mendatangkan nas al-Qur’an atau Sunnah, sebagai bukti bahwa hukum tersebut  telah berubah atau tidak berlaku lagi"[16]

Dari definisi Ibnu Hazm di atas, jelaslah bahwa dia membatasi  Istishhâb yang hanya ditetapkan oleh al-Qur’an atau as-Sunnah, tanpa Istishhâb yang ditetapkan oleh ijmak dan qiyas[17].



III. Klasifikasi Istishhâb



Para ahli ushul fikih berselisih pendapat mengenai pembagian Istishhâb, diantaranya;

Ibnu Hazm berpendapat bahwa Istishhâb hanya satu macam, yaitu Istishhâb Hukm al-Nash al-Tsâbit fiy al-Kitâb aw al-Sunnah. Maksudnya adalah memberlakukan kelanjutan hukum  sebelumnya hingga masa sekarang, dengan syarat hukum tersebut ditetapkan oleh al-Qur’an atau  al-Sunnah.[18]

Al-Khathib al-Baghdadi mengatakan bahwa Istishhâb ada dua macam:[19]

  1. Istishhâb al-Barâ’ah al-Ashliyyah  (al-‘Adam al-Ashliy).

  2. Istishhâb al-Hukm al-Tsâbit bi’l Ijmâ‘  fiy Maudhi‘ al-Khilâf.

Abu Ishaq ibnu Syaqilan dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa Istishhâb ada tiga macam:[20]

  1. Istishhâb al-Barâ’ah al-Ashliyyah.

  2. Istishhâb al-Hukm al-Tsâbit bi’l Ijmâ‘ fiy Maudhi‘ al-Khilâf.

  3. Istishhâb Hukm al-Nash atau al-Sabab al-Syar‘i.

Imam al-Ghazali mengatakan bahwa Istishhâb ada empat macam:[21]

  1. Istishhâb al-Barâ’ah al-Ashliyyah.

  2. Istishhâb al-Hukm al-Ts‘bit bi’l Ijmâ‘ fiy Maudhi‘ al-Khilâf.

  3. Istishhâb Hukm al-Nash.

  4. Istishhâb Hukm al-Sabab al-Syar‘i.

Ali bin Abdulkafi al-Subki dan Tajuddin Abdul Wahab al-Subki dari madzhab Syafi’iyah mengatakan bahwa Istishhâb ada lima macam. Jadi, selain empat macam Istishhâb yang telah disebutkan oleh al-Ghazali di atas, mereka juga menambahkan Istishhâb al-Maqlûb.[22] Al-Syaukani mengatakan bahwa Istishhâb ada lima macam. Jadi, selain empat macam Istishhâb yang telah disebutkan oleh al-Ghazali di atas, dia juga menambahkan  Istishhâb Hukm al-‘Aql seperti yang disepakati Mu’tazilah.[23]

Wahbah al-Zuhaili menyebutkan dalam kitabya “Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy” bahwa  Istishhâb ada lima macam. Jadi, selain empat macam Istishhâb yang telah disebutkan oleh Ghazali di atas, dia juga menambahkan Istishhâb Hukm al-Ibâhah al-Ashliyâh li al-Asyyâ' al-Latî Lam Yarid Dalîlun Bitahrîmihâ.[24] Abdul Karim Zaidan menyebutkan dalam bukunya “al-Wajîz fiy Ushûl al-Fiqh” bahwa Istishhâb ada tiga macam:[25]

  1. 1.     Istishhâb Hukm al-Ibâhah al-Ashliyâh li al-Asyyâ' al-Latî Lam Yarid Dalîlun Bitahrîmihâ.

  2. 2.     Istishhâb al-Barâ'ah al-Ashliyâh.

  3. Istishhâb Hukm al-Sabab al-Syar‘iy.

Setelah dipaparkan klasifikasi Istishhâb, sekarang akan dijelaskan maksud dan perselisihan para ulama mengenai macam-macam Istishhâb itu sendiri.

Lanjutan edisi kedua : Konsep Istishab dalam Ushul Fikih








[1] 11 dalil yaitu: al-Mashâlih al-Mursalah, Qaul al-Shahâbiy, Istihsân, Istishhâb, al-Ashlu fi'l Asyy' ba‘da Wurûd al-Syar‘iy, Syar‘u Man Qablanâ, Sad adl-Dzarâ'i‘, al-‘Urf wa al-‘Âdah, al-Akhdzu bi Aqalli Mâ Qîla, al-Istiqrâ', dan Faqdu al-Dalîl.




[2] Jalaluddin Abdurahman, Ghâyatu’l Wushûl ilâ Daqâ’iqi ‘Ilmi’l Ushûl ( al-Adillah al-Mukhtalaf  fîhâ), Mathba‘ah al-Jablâwî, Kairo, cet. I, 1992 M, hal.11.




[3]  Jalaluddin Abdurahman, op. cit., hal.131.




[4] Sa'aduddin Mus’ad Hilali, al-Mahârah al-Ushûliyyah wa Atsaruhâ fiy al-Nadhji wa al-Tajdîd al-Fiqhiy, Majlis al-Nasyr al-‘Ilmî, Kuwait, cet. I, 2004 M, hal. 172.




[5] Jalaluddin Abdurahman, op. cit., hal.131.




[6] Ibid., hal 133.




[7] Dia adalah Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan julukan Ibnu Hammâm. Berasal dari Swess, lahir pada tahun 1377 M  dan wafat di Kairo pada tahun 1457 M. Dia adalah seorang imam dari madzhab Hanafiyah yang berkecimpung dalam dunia ushul fikih, tafsir, farâ’id, fikih, matematika, bahasa dan mantik. Sya'ban Muhammad Ismail, Ushûl al-Fiqhi; Târîkhuhu wa Rijâluhu, Dâr al-Salâm, Kairo, cet. II, 1998 M, hal. 457.




[8] Sa'aduddin Mus'ad Hilali, op. cit., hal. 173.




[9] Ibid.




[10] Dia adalah hujjatu'l islâm Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi. Lahir pada tahun 1058 M dan wafat 1111 M di Khurasan. Dia adalah seorang filosof dan sufi yang juga berkecimpung dalam dunia ushuluddin, ushul fiqh, mantik, hikmah, serta  telah mengarang sekitar dua ratus buah kitab. Sya'ban Muhammad Ismail, op. cit., hal 203.




[11] Jalaluddin Abdurahman, op. cit., hal.131.




[12] Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqhi, Dâru'l Fikr al-‘Arabiy, Kairo, 1997 M, hal. 260.




[13] Dia adalah Abu Ali Badruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani. Lahir di Hijrah Syaukan pada tahun 1173 M dan wafat di Shan'a pada tahun 1760 M. Dia dibesarkan di Shan'a  (Yaman) dan ditarbiyah dalam sebuah halaqah keilmuan. Dengan demikian, tidak heran jika dia mengarang lebih dari dua ratus kitab, baik berupa tafsir, ulumul Qur'an, hadist , tauhid, ushul fiqh, mantik, sejarah dan lainya. Sya'ban Muhammad Ismail, op. cit., hal. 567.




[14] Al-Syaukani, Irsyâdu’l Fuhûl  ilâ Tahqîqi al-Haq min ‘Ilmi’l Ushûl, vol. II, Dâr al-Salâm, Kairo, 1998 M, cet. I, hal. 680.




[15] Dia adalah Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm al-Zhâhirî. Lahir di Cordova, Spanyol 994 M dan wafat di Andalus pada tahun 1064 M. Dia adalah seorang pembesar ulama di Andalus, bahkan mayoritas masyarakat di sana berpegang terhadap madzhabnya. Dia dikenal sebagai seorang ahli fikih yang menyimpulkan hukum berdasarkan al-Qur'an dan sunnah. Sebelumnya dia bermadzhab Syafii, hingga kemudian berpindah kepada madzhab ahli zhahir dan terus menyebarkannya. Dia cerdas dalam segala bidang keilmuan dan punya banyak karya di dalamnya, baik fikih, tafsir, hadist, ushul fikh, ilmu kalam, mantik, satra dan lainnya. Sya'ban Muhammad Ismail, op. cit., hal. 175.




[16] Ibnu Hazm Al-Zhahiri, al-Ihkâm fiy Ushûli’l Ahkâm, vol. II, Dâru'l Fikr, Beirut, cet. I, 1997 M, hal. 3.




[17] Sa'duddin Mus'ad Hilali, op. cit., hal. 173.




[18] Ibnu Hazm Al-Zhahiri, op. cit., hal. 3.




[19] Sa'duddin Mus'ad Hilali, op. cit., hal. 173.




[20] Ibid., hal 174.




[21] Ibid., hal 175.




[22] Ibid.




[23] Al-Syaukani, op. cit., hal. 681.




[24] Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, vol. II, Dâr al-Fikr, Damaskus , cet. 14,, 2006 M, hal. 160.




[25] Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fiy Ushûl al-Fiqh, Mu'assasah al-Risâlah, Beirut, cet. V, 1996 M, hal. 267.





Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

1 komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]