AGAR SEJARAH ISLAM TAK LAGI DI SELEWENGKAN
Prof. Dr. Abdul Halim ‘Uwais, MA
Dosen sejarah Islam fakultas Darul ‘Ulum – Universitas Kairo
Peneliti Sejarah dan Kebudayaan pada International Institute Islamic Thought (IIIT)
Anggota Dewan Penasehat pada Lembaga Bahasa Imam Ibnu Su’ud Cabang Jakarta-Indonesia
Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan terminologi sejarah secara umum?
Bismi`lLâhirrahmânirrahîm, istilah sejarah secara umum adalah kegiatan menelaah peristiwa masa lalu melalui sumber-sumber akurat yang mendekati kebenaran. Para sejarawan dalam melakukan penelitian tidak hanya berdasarkan kritik sanad atau juga yang biasa disebut dengan ilmu riwayah. Akan tetapi, mereka juga mengfungsikan akalnya untuk meneliti kondisi sosio-historis pada saat peristiwa itu terjadi, hal ini yang kemudian disebut dengan ilmu dirayah.
Seorang sejarawan juga harus memperhatikan referensi yang menjadi rujukannya, apakah referensi tersebut dapat diterima secara rasional dan sesuai dengan sumber-sumber sejarah lainnya. Di samping itu, ia juga harus memperhatikan sumber yang menjadi rujukannya, apakah ia berasal dari aliran Syi’ah, Khawarij atau bahkan dari orang-orang Atheis.
Sejarah juga berasal dari kata ta’rîkhu`l yaumiy, yaitu menuliskan aktivitas sehari-hari sebagaimana yang dilakukan al-Kamil dalam al-Hamliyyât dan Ibnu Katsir dalam Bidâyah wa Nihâyah. Keduanya menulis sejarah berdasarkan peristiwa yang terjadi pada setiap tahun. Akan tetapi yang dimaksud sejarah dalam arti luas adalah mengumpulkan seluruh rentetan peristiwa, menyusunnya secara logis, menerima hal-hal yang rasional dan menolak hal-hal yang irasional serta menelitinya secara mendetail untuk kemudian diambil pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Dimana letak perbedaan mendasar antara sejarah umum dengan sejarah Islam?
Sejarah umum adalah sejarah yang meliputi seluruh aktivitas manusia yang hanya berorientasi kepada kepentingan dunia, baik itu secara individu maupun sosial. Sedangkan sejarah Islam adalah sejarah yang dihubungkan dengan gerakan agama Islam. Kenapa? Karena Islam adalah satu-satunya agama yang tidak memisahkan antara kepetingan dunia dengan kepentingan agama. Dalam Islam, semua kembali kepada Allah swt.. Oleh karena itu, bagi saya, sejarah Islam adalah sejarah yang memiliki keterkaitan aerat dengan nilai-nilai keislaman. Hal penting yang perlu dicatat, bahwa dalam sejarah Islam terdapat banyak sisi positif sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah saw. dan Khulafa’ al-Rasyidin, namun juga terdapat beberapa kekurangan yang terjadi pada masa pemerintahan Umayah dan Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Abbasiyah sendiri, banyak terjadi peningkatan peradaban, terutama meningkatnya gerakan terjemah dari bahasa asing ke dalam bahas Arab, meski harus diakui kalau gerakan ini menyisakan beberapa permasalahan serius seperti mengimpor pemikiran-pemikiran ‘cacat’ dari peradaban lain, atau sebaliknya, sejarah Islam yang ditulis dengan bahasa asing mengalami banyak distorsi.
Saya sendiri lebih senang untuk membedakan antara sejarah Islam dengan sejarah umat Islam. Sejarah Islam menurut saya, lebih spesifik kepada sejarah penyebaran Islam (baca: dakwah Islam) ke penjuru dunia. Sedangkan sejarah kaum muslimin adalah sejarah bangsa dan negara. Sejarah kaum muslimin adalah gerakan aktivitas umat di bumi ini, bagaimana mereka membangun pemerintahan, mendidik masyarakat, membangun ilmu pengetahuan Islam, meracik peradaban gemilang serta kapan mereka mengalami kemunduran dan kemajuan. Maka gerakan umat Islam harus disesuaikan dengan ruh Islam, sedangkan gerakan sejarah Islam adalah gerakan nilai, akidah dan moral tertentu. Artinya, sejarah Islam tidak berkaitan dengan kesalahan yang dilakukan umat Islam sepanjang sejarah.
Salah satu tuduhan yang dilontarkan kaum orientalis, bahwa setelah Rasulullah saw. wafat, sistem khalifah Islamiyah tidak pernah diterapkan kecuali pada waktu yang cukup singkat, yaitu masa pemerintahan Umar bin Khattab ra.. Beranggapan demikian karena menurut mereka–pemerintahan Abu Bakar ra., Utsman bin Affan ra., maupun Ali bin Abi Thalib ra.–selalu diwarnai dengan konflik-konflik internal. Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?
Ini adalah pembacaan sejarah yang salah. Abu Bakar ra. sendiri pewaris pemerintahan setelah Rasulullah saw., dan pada saat itu banyak orang yang berbondong-bondong masuk Islam, karena memang Islam telah tersebar, bahkan menjadi agama mayoritas di sepanjang jazirah Arab. Sekelompok kaum minoritas memang masuk Islam bukan karena keinginan sendiri, namun lebih karena seluruh kabilahnya memeluk Islam atau katakanlah karena terpaksa ikut kaum muslimin yang mayoritas. Tatkala Rasulullah saw. wafat dan digantikan oleh Abu Bakar ra., ternyata kaum minoritas ini tidak memahami apa makna dari wafatnya Rasulullah saw.. Mereka menganggap bahwa Rasulullah saw. itu representasi agama Islam, sehingga ketika beliau wafat, maka lenyaplah Islam. Akibatnya mereka tidak mau lagi membayar jizyah dan zakat kepada Abu Bakar ra., sebab menurut mereka keduanya hanya dibayarkan kepada Muhammad, seakan lupa bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam. Kondisi ini sesungguhnya sangat menguntungkan, agar orang-orang munafik tersebut tidak merusak umat Islam dari dalam. Penting untuk dicatat, selama beberapa bulan sebelumnya, Abu Bakar ra. telah menyiapkan dan mengutus tentara Usamah untuk melakukan futuhât sebelum memerangi orang-orang murtad. Jika seandainya apa yang mereka katakan benar, niscaya tidak mungkin Abu Bakar ra. mengutus tentara Usamah. Ini membuktikan bahwa saat itu, khilafah Islamiyyah masih ada dan masih memiliki kekuatan.
Keputusan Abu Bakar ra. untuk mengutus tentara Usamah sendiri sempat ditentang Umar ra.. Beliau berpendapat bahwa masalah ini ditangguhkan saja sampai orang-orang murtad itu diberikan ganjaran. Namun Abu Bakar ra. menolak ide Umar ra., dengan alasan bahwa Rasulullah saw. sendiri memerintahkan untuk mengutus tentara Usamah dengan segera, bahkan dengan tegas beliau berkata, “Aku tidak akan pernah menunda-nunda perintah Rasulullah saw. setelah beliau wafat, sekalipun aku harus disambar petir.”
Bahkan sekembalinya tentara Usamah dari melaksanakan tugas untuk menentukan batas-batas teritorial dengan pihak luar (baca: Romawi), bangsa Romawi sendir mengakui bahwa pemerintahan tidak lantas mati dengan wafatnya Rasulullah saw.. Setelah itu barulah Abu Bakar ra. mengutus 11.000 tentara untuk memerengi orang-orang murtad.
Hal semacam ini sebenarnya juga terjadi di setiap negara karena memang tidak ada satu negara pun yang lepas dari kaum pemberontak dan pembangkang. Apakah karena terjadi hal-hal semacam ini, lantas mereka tidak menganggap adanya pemerintahan (baca: khilafah Islamiyyah) kala itu? Penilaian seperti ini sangat tidak dibenarkan secara ilmiah.
Adapun ketika masa pemerintahan Umar ra., justru dunia hampir sepenuhnya di tangan Umar ra.. Sampai-sampai beliau pernah tidur di jalanan, karena pada saat itu suasana negara sangat tenang dan aman. Bahkan pada masa pemerintahan Umar ra. pula-lah, dua kekuatan besar seperti Romawi dan Persia dapat dikalahkan. Umar ra. juga menerapkan peraturan yang adil bagi rakyatnya, dia sanggup menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat, maka-nya tidak heran jika beliau sangat dikagumi oleh sejarawan Barat. Seperti yang dilakukan Michael Hard dalam bukunya dengan meletakkan Nabi Muhammad saw. (urutan pertama) dan Umar bin Khattab ra. dalam daftar seratus tokoh besar sedunia sepanjang sejarah.
Kemudian saya ingin menegaskan, apakah yang dinamakan sejarah Islam hanya terletak pada sosok pimpinan pemerintahan? Lalu dimanakah posisi gerakan umat Islam? Bukankah proses penebaran Islam juga melibatkan umat. Jika dibandingkan antara jumlah politisi pemerintahan dengan penduduk sipil pada saat pemerintahan Bani Umayyah maka perbandingannya adalah satu banding seratus ribu. Artinya, umatlah yang berpotensi menggerakkan potensi peradaban, kebudayaan dan pertanian, bukan pemerintah. Pemerintahan hanya membantu memfasilitasi umat untuk menjalankan tugas tersebut.
Sepanjang sejarah, umat Islam telah memperlihatkan kepada dunia, bagaimana peradaban mereka dibangun di atas nilai-nilai keislaman seperti ahwâl syakhsiyah yang merupakan aspek sosial, aspek ekonomi yang tidak ditemukan adanya riba dan monopoli dagang, aspek politik yang sangat kental dengan nilai-nilai keislaman, terlebih aspek spiritual yang terlihat pada gerakan umat di masjid-masjid. Pendeknya, seluruh lini kehidupan memang dibangun di atas dasar nilai-nilai keislaman.
Saya pernah menulis sebuah buku mengenai nilai-nilai keislaman sepanjang sejarah umat Islam dan telah diterbitkan Lembaga Tinggi Islam Mesir. Di dalamnya, saya menegaskan bahwa nilai-nilai Islam tetap diterapkan sampai pada awal runtuhnya Daulah Utsmaniyah. Bahkan Gouronthi (?) mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban terbesar yang pernah tegak sepanjang sejarah dunia selama lebih dari sepuluh abad.
Sebagaimana yang diketahui, ke-otentikan hadis-hadis mutawatir tidak diragukan lagi. Hal itu, karena diterapkannya metode penyeleksian yang sangat ketat, seperti ilmu mustalah hadits dan jarh wa ta’dîl. Apakah metode ini dapat juga diterapkan untuk meneliti validitas sejarah Islam?
Tidak. Kita tidak bisa menerapkan metode ini untuk meneliti sejarah. Setidaknya ada beberapa alasan di sana. Pertama, metode ini hanya bisa diterapkan dengan tapat bila waktunya tidak lebih dari dua abad sejak wafatnya Muhammad saw.. Artinya metode hadis memang mutlak diperlukan pada masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Adapun setelah itu, maka sulit untuk diterapkan kembali. Kedua, sejarah seluruh bangsa lain lebih sedikit jika dibandingkan dengan sejarah Islam. Dalam Islam, kita memiliki silsilah sanad yang sangat kuat, sementara mereka tidak memiliki hal itu. Dan penerapan metode ini tentu sebuah pekerjaan yang berat, meskipun sebenarnya banyak dari ahli hadis yang mengkritik sejarawan ketika menulis sejarah Islam, seperti yang dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal terhadap sirah Ibnu Hisyam. Ketiga, dalam sejarah ada hal-hal yang tidak dibutuhkan sebagaimana yang dibutuhkan dalam hadis. Hadis sendiri landasan syariat Islam, bahkan sumber hukum kedua setelah al-Qur`an, maka sangat mutlak diperlukan validitas sanad sehingga tidk diragukan lagi kekuatan hukumnya. Sedangkan sejarah bukan merupakan syariat, ia hanyalah hasil penelitian yang perlu dikritisi kebenarannya. Jika sejarawan seperti Mas’udi misalnya, mengatakan bahwa jumlah orang yang pergi ke Mesir bersama Nabi Yusuf as. berjumlah 70 orang, kemudian setelah tujuh generasi, mereka bertambah menjadi 500 ribu orang dan seterusnya apakah ini masuk akal? Penggambaran ini mendapat kritikan tajam dari Ibnu Hazm Andalusiy yang kemudian dikritik lagi oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Ini menunjukkan bahwa dalam sejarah, seseorang boleh mengeluarkan pendapat meski sangat subjektif. Sebaliknya, hal ini tidak mungkin diterapkan dalam Sunah, sebab ia adalah wahyu Ilahi.
Bukankah dengan tidak diterapkan metode ini, justru akan membuka celah bagi usaha-usaha penyelewengan terhadap sejarah Islam itu sendiri? Jadi menurut Anda, apa solusi tepat untuk menghindarkan sejarah Islam dari bentuk-bentuk penyelewengan tersebut?
Kelanjutan Edisi Kedua : AGAR SEJARAH ISLAM TAK LAGI DI SELEWENGKAN (2)
Post A Comment
Tidak ada komentar :