Revitalisasi Turâts (Sebuah Upaya Mengembalikan Kejayaan Islam)
Revitalisasi Turâts
(Sebuah Upaya Mengembalikan Kejayaan Islam)
Oleh: Miftah Firdaus
(Juara 2 Lomba Esai dalam Rangkaian MUSCA6 Pci Muhammadiyah Mesir)
(Juara 2 Lomba Esai dalam Rangkaian MUSCA6 Pci Muhammadiyah Mesir)
Usaha merevitalisasi
turâts berarti usaha untuk mencari jati diri asli umat Islam. Karena dalam turâts
itulah tersimpan kemegahan, kecemerlangan, dan kejayaan umat Islam. Di sana
tersimpan pengalaman-pengalaman historis umat ini. Pengalaman historis, selain
pengalaman batin, adalah sumber pengetahuan lain yang diakui dalam Islam.
(Muhammad Iqbal)
Bangunan peradaban Islam merupakan rangkaian sistem yang
sudah terbangun semenjak empat belas abad silam, maka sejatinya ia telah
matang. Islam sebagai bangunan yang di transmisikan langsung oleh Tuhan kepada
manusia (baca; wahyu) pada hakikatnya ia sempurna. Maka tak ayal peradaban Islam
pernah mencapai zaman keemasan ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa pada
abad ke-15 M, ditandai dengan maraknya ilmuwan-ilmuwan muslim dan karya-karya
mereka menjadi rujukan pada saat tersebut, dipelajari dan diterjemahkan. Padahal
secara waktu peradaban Islam ketika itu termasuk baru. Namun, seringkali
manusia lupa bahwa peradaban tersebut juga merupakan bentukan dirinya, maka ia
perlu di rawat dan dipugar laiknya sebuah bangunan.
Penjelasan singkat di atas ibarat mimpi indah pada malam
hari, sebentar namun menyenangkan. Ketika bangun, kita akhirnya menyadari bahwa kenyataannya tidak demikian, karena
peradaban Islam sedang sakit. Saat ini Islam
identik dengan kemiskinan, Islam identik dengan kekerasan, Islam inferior di
tengah bangsa-bangsa lain (terutama Barat). Padahal khazanah
Islam merupakan samudera ilmu yang menjadi syarat mutlak sebuah kemajuan.
Maka disinilah letak pentingnya upaya revitalisasi
khazanah Islam (baca; turâts). Agar di tengah benturan peradaban (clash of civilization)
saat ini, seperti yang digambarkan Samuel Huntington, Islam tidak
berakhir sebagai peradaban yang kalah sehingga terkubur dalam akhir sejarah (the
end of history), sebagaimana diramalkan oleh Fukuyama. Menurutnya, di
penghujung sejarah dan masa depan nanti tidak akan pernah lagi tersedia ruang
bagi pertarungan antar ideologi, karena kapitalisme dan demokrasi liberal
sebagai ideologi yang besar akan menenggelamkan bangsa dan umat yang lemah.
Menurut Ali Jum’ah, turâts sendiri sebenarnya
merupakan terma baru yang baru muncul di pertengahan abad ke-20 M. Digawangi
oleh empunya buku Fajru al-Islam, Ahmad Amin dan oleh Muhammad Zahid
Kautsari yang menggunakan istilah maurûts. Maka mantan mufti Mesir
tersebut memberikan terminologi kepada turâts sebagai produk manusia
yang bertransmisi melalui perkataan atau tulisan yang diwariskan kepada umat
Islam sebelum seratus tahun dari sekarang. Maka dia menekankan bahwa karya kita
sekarang pun suatu hari akan menjadi turâts.
Bahkan Aisyah Abdurrahman yang lebih dikenal dengan Bintu
Syati’ mendefinisikan lebih luas lagi.
Dalam bukunya Turâtsuna baina al-Mâdi
wa al-Hâdir, ia berpendapat bahwa kita tidak dapat
membatasi lingkup turâts Islam pada zaman dan wilayah tertentu. Karena turâts
Islam mencakup seluruh warisan kebudayaan, seperti kebudayaan Mesir kuno,
Babylonia, Asyur. Hal itu, menurut Aisyah, karena penduduk wilayah tersebut
telah memeluk agama Islam, maka secara otomatis masa lampau menjadi milik Islam
pula.
Untuk saat ini pemahaman tersebut memang tampak aneh,
seperti diakui oleh Aisyah sendiri. Namun, menurutnya tidak aneh bagi kaum
muslimin pada era kejayaan Islam. Pada saat itu, pemahaman tentang khazanah
intelektual Islam telah demikian luas, sehingga tidak terbatas pada warisan
klasik yang ditinggalkan pada era jahiliyah dan bangsa Arab. Namun mencakup
semua wilayah yang telah terislamkan. Sehingga tercatat dalam sejarah bahwa
dalam rangka memelihara dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, tidak
saja dilakukan oleh kaum Muslimin berdarah Arab, namun juga oleh kaum Muslimin
dari berbagai belahan dunia lain, termasuk umat Islam di Nusantara. Definisi
ini di perkuat oleh Hasan Hanafi yang mengatakan bahwa Turâts sebagai
dokumentasi interpretasi yang dilakukan generasi masa lalu dalam merespon
kebutuhan-kebutuhan yang dibatasi oleh koridor semangat zamannya. Ia memandang
bahwa turâts bukanlah tumpukan material yang tersimpan dalam
perpustakaan atau musium yang terlepas dari realitas historis.
Pemahaman seperti ini, menurut Aisyah, adalah salah satu
tanda kesadaran umat Islam akan kedudukannya dalam percaturan peradaban saat
ini. Dan dengan itu akan mempersiapkan umat Islam untuk menjadi pemimpin
peradaban dunia ini. Dari sini ada sebuah pertanyaan yang harus dijawab: Lantas
bagaimana merevitalisasi warisan klasik yang begitu besar tersebut?
Metode Revitalisasi Turats
Setidaknya ada empat cara guna merevitalisasi warisan
klasik Islam yang begitu besar tersebut sebagaimana disebutkan Ali Jum’ah dalam
bukunya al-Tarîq ila al-Turâts al-Islâmi. Pertama, melalui
penerbitan kembali dan pentahkîkan. Dalam hal
ini umat Islam harus mengakui bahwa kita kalah start dari para ilmuwan
barat yang konsen terhadap kajian ketimuran (orientalism). Sebagaimana
Muhammad Imarah mengatakan bahwa para orientalislah yang pertama kali
mempunyai metode yang rapi -dalam pentahkîkan dan
penerbitan- turâts Islam, yang didasari mayoritas dari tujuan mereka
adalah dalam rangka kolonialisasi.
Dari umat Islam sendiri kesadaran pentingnya hal ini baru
dimulai di awal abad ke-18 M oleh sang pioner terjemah modern Rifa’ah Thah’tawi,
yang ketika menerjemahkan buku-buku kedokteran butuh merujuk kepada
istilah-istilah di buku turâts semisal Qanûn fi al-Tibb karangan
Ibnu Sina. Sedangkan tahkîk sendiri baru dimulai oleh Muhammad Abduh di
awal abad ke 19 M, sebagaimana ia ketika itu mentahkîk buku Futûh
al-Syâm yang ditulis oleh al-Waqidi, dan mengatakan bahwa dalam studi tahkîk
tidak bisa terlepas dari realitas historis penulis sendiri. Hal itu di dasari
bahwa dalam kitab tersebut Muhammad Abduh menemukan bahasa yang tidak sesuai
dengan zaman dan tempat ketika dia menulis.
Namun, menurut Hasan Hanafi ditengah maraknya penerbitan
kembali saat ini, sangat disayangkan jika revitalisasi turâts, hanya
terkesan “bisnis intelektual”. Misal, jika masyarakat sedang tertarik dengan
wacana fikih, maka yang dicetak dan disebarluaskan adalah berbagai buku
mengenai fikih. Dan jika muncul wacana mengenai tentang politik, maka yang di
cetak dan disebarluaskan adalah berbagai buku mengenai siyâsah. Di sini revitalisasi turâts belum sampai pada yang
diharapkan. Revitalisasi baru sebatas pada upaya-upaya menghidupkan turâts sesuai dengan
kebutuhan pasar. Jika masih demikian, menurutnya, maka kemodernan sebagaimana
yang dicita-citakan masyarakat masih sulit tercapai.
Kedua, membuat turâts mudah dipahami.
Dalam hal ini penulis memandang termasuk merevitalisasi dengan merekonstruksi
wacana-wacana turâts, dan menuliskannya kembali sesuai dengan konteks
kekinian. Seperti yang telah dilakukan oleh Muhammad Imarah yang menulis Fiqh
al-Muwâjahah (Fikih Konfrontasi) dan Fiqh al-Hadhârah (Fikih
Peradaban). Ada juga Fiqh al-Awliyât karya Yusuf Qardhawi. Termasuk yang
dilakukan oleh Markaz al-A’lami Li al-Washâtiyyah yang menyusun Fiqh
al-Washâtiyyah, yang menyangkut: Fiqh al-I’tilâf wa al-Ikhtilâf
(Fikih harmonitas Pendapat dan Perbedaan Pandangan), Fiqh al-Awliyât
(Fikih Prioritas), Fiqh Maqâshid wa Ahammiyatuha (Fikih Maqashid dan
Urgensinya), Fiqh al-Amru bi al-Ma’rûf wa al-Nahyu an al-Munkâr.
Hal ini sesuai dengan wacana pembaharuan yang digaungkan
oleh Hasan Hanafi, dimana dia berpendapat bahwa pembaharuan hanya bisa
berangkat dari realita, yang merupakan metode Islam ketika kita mencermati
metode asbâb al-nuzûl dan nâsikh wa al-mansûkh. Kemudian menarik
teks-teks yang dekat dengan persoalan kita bukan yang jauh. Al-Qur’an dan
Sunnah ibarat supermarket yang besar, dan kita mengambil teks-teks yang urgen
saat ini, seperti tentang pengentasan kemiskinan, kebodohan, melawan
penjajahan, dan persoalan-persoalan yang tampak di depan kita. Misalnya juga memperhatikan
pertanyaan dari pada jawaban, seperti ayat-ayat wa yas’alûnaka ani al-khamr,
wa yasalûnaka ani al-mahîdh, wa yasalûnaka ani al-anfâl, pertanyaan-pertanyaan
ini sudah jelas jawabannya. Saat ini pertanyaan yang dihadapi kaum muslimin
yang sangat butuh dijawab adalah: ani al-awlâmah (globalisasi), ani
al-ihtilâl (kolonialisme) ani al-faqr (kemiskinan), ani al-bathâlah
(pengangguran) dan banyak lagi.
Ketiga, menerbitkan bibliografi, thesaurus, indeksasi turâts
Islam, dan termasuk membuat ensklopedia yang
berkenaan dengan istilah-istilah dalam turâst. Keempat, gerakan menghidupkan
kembali turâts Islam. Tiga metode diatas sebenarnya merupakan rangkaian
metode daripada untuk menghidupkan kembali warisan Islam yang besar ini. Namun,
sebagaimana Ali Jum’ah tekankan, bahwa dalam menghidupkan kembali, tidak boleh
hanya terbatas pada masalah-masalah yang ada dalam turâts tersebut,
namun juga harus menghidupkan manhaj yang ada pada turâts itu
sendiri. Yang mana salah satu penyebab kemandekan umat Islam saat ini adalah
terlalu terpaku pada teks, tanpa memperdulikan konteks yang sedang terjadi.
Turâts Sebagai Teks
Yang menjadi titik persoalan adalah adanya klaim-klaim
pembenaran terhadap realitas masa kini yang senantiasa harus merujuk kepada
teks-teks klasik. Artinya realitas selalu tunduk kepad teks. Akibatnya, seperti
yang dikatakan Said al-Asymawi dalam bukunya al-Islâm al-Siyâsi, bahwa
dialektika paham keislaman yang terjadi saat ini adalah memahami agama
kebanyakan dengan “bongkar pasang” dengan tidak bertujuan untuk menggali
substansi dari teks yang ada. Maka Ali Jum’ah menekankan dalam berkutat dengan
teks kita harus bijaksana dan melalui metode ilmiyah dengan tidak menerimanya
secara mutlak apalagi mensucikannya -selain al-Qur’an dan al-Sunnah- ataupun
meninggalkannya secara total.
Kesadaran membaca turâts sebagai reproduksi
peradaban yang menjadi decision maker memang tidak bisa dipungkiri. Teks
adalah bagian dari peradaban. Tapi teks bukanlah satu-satunya pencipta
peradaban, karena menurut Hasan Hanafi, peradaban mencakup segala lini (al-Hadhâra al-Markaziya). Maka menempatkan turâts sebagai tolak ukur objektifitas dalam
pembentukan peradaban adalah sebuah kekeliruan. Lebih-lebih lagi membaca turâts dengan tolak
ukur turâts itu sendiri semakin mengaburkan. Realitas bukan hanya masa
lalu, tapi realitas adalah kini dan akan datang.
Dengan demikian, ruang lingkup konotasi turâts
mengalami perkembangan dan perluasan tidak hanya sekedar
peninggalan-peninggalan statis, namun merupakan peninggalan dinamis dan
futuristik, terus mengisi tuntutan modernitas. Oleh karena itu, yang patut dikembangkan
dalam mengkaji turâts adalah objektifitas dan rasionalitas. Yang
dimaksud dengan objektifitas adalah sejauh mana memberikan konstribusi kepada
umat Islam dalam kapasitasnya sebagai khazanah keilmuan klasik.
Senada dengan Atif al-Iraqi, menurutnya kesalahan para
tokoh dan pemikir adalah mensakralkan turâts, dan wacana keagamaan juga
tidak hanya terbatas pada shalat dan
puasa semata, akan tetapi wacana yang holistik mencakup sosial, budaya,
politik, dan sebagainya. Hal ini juga yang menurut Muhammad Abduh menyebabkan
sikap statis umat Islam terhadap perubahan zaman dan jumud
dalam artian beku serta tidak menempatkan akal pada posisi yang tinggi. Akibatnya umat Islam enggan
berubah dan menerima perubahan, semerta tertinggal.
Bagaimana Seharusnya?
Muhammad Imarah dalam bukunya Nazhrat al-Jadîdah ila
al-Turâts, berpendapat bahwa kematangan sebuah peradaban terlihat pada
seberapa jauh kesadarannya akan akar-akar warisan klasik yang ia miliki. Makin
dalam kesadaran itu, akan makin dalam juga ketangguhan dan kematangan
peradabannya. Peradaban Barat sekarang ini di bangun atas warisan peradaban dan
karya intelektual yang di olah oleh umat Islam, dan umat Islam
mengambil sebagian peradaban dari bangsa Yunani. Sementara bangsa Yunani
mewariskannya dari bangsa Mesir kuno dan Bangsa India. Dengan demikian,
peradaban tersebut adalah hasil karya dan milik bersama umat manusia. Dan umat
Islam yang telah menghidupkan peradaban tersebut dari
lubang kegelapannya, tentu lebih berhak atas peradaban modern sekarang ini
dibandingkan bangsa lainnya.
Maka meninggalkan sama sekali turâts tentu
bukanlah pilihan yang bijak, dan mensakralkan turâts juga merupakan
sebuah kesalahan. Daripada itu Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa turâts
merupakan materi dan buku-buku kontemporer adalah metode, maka kita tidak bisa
meninggalkan salah satunya. Hal ini senada dengan Hasan Hanafi yang
berpendapat bahwa sikap melupakan masa lalu adalah sikap sekular yang tidak
realistis. Yang realistis adalah bagaimana kita memahami turâts dengan
pemahaman modern, turâts adalah daya
dan senjata, tugas kita bagaimana merekayasa daya itu agar berfungsi dengan
baik dan sempurna. Maka jargon al-Muhâfadzatu ala al-Qadîmi al-Sâleh wa al-Ahdzu bi al-Jadîdi Aslah (Melestarikan
nilai lama yang baik dan mengadopsi nilai baru yang lebih relevan) harus segera lebih di
kebumikan, agar Islam
dapat segera bangkit dan memimpin peradaban.
Biodata
Nama : Miftah
Firdaus
Ttl :
Tangerang, 11 Juni 1991
Fakultas : Syariah
Islamiyah IV, Universitas al-Azhar Cairo
Alamat : Tabbah, Nasr City
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :