Restorasi Persatuan Menuju Kebangkitan Islam
Tema : Menyegarkan Kembali Wacana Persatuan Ummat
Oleh : M Yusuf Ibrahim
(Juara 3 Lomba Esai dalam Rangkaian MUSCA6 Pci Muhammadiyah Mesir)
Berbicara perihal persatuan, maka kita berbicara tentang sebuah
proyek gemilang, eksistensi perjuangan dan tentunya
fase agung menuju kebangkitan. Pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki 3 Maret 1924 silam, umat
Islam seolah kehilangan kompas penuntun yang selama ratusan tahun berada dalam genggaman.
Sosok pemimpin yang tidak pernah absen menuntun umat dengan arahan ulama
robbani pun menjadi kian langka dan sulit ditemukan.
Para ulama diawasi dan dikekang oleh para penguasa dzalim.
Membatasi nasyr da’wah nya, menekan bahkan mengancam kehidupannya. Walaupun
begitu, kesadaran dan kepedulian kaum muslimin tidak sirna begitu saja. Tak
sedikit yang memutuskan untuk tetap pada prinsip menyuarakan keadilan,
persatuan dan tentunya membangun jama’ah yang sedikit demi sedikit
menampakkan gigi perlawanannya meskipun akan berujung pada konspirasi pemusnahan
dan bahkan kematian.
Aroma konspirasi barat saat itu begitu terasa, bahkan sesaat
sebelum terjadinya penggulingan Sultan Abdul Hamid II dari kursi kekhalifahan
di Turki. Adalah Binyamin Ze’ev atau dikenal sebagai Theodero Herzl sebagai
penggagas berdirinya Negara Yahudi yang putus asa lantaran permohonannya
meminta sebagian tanah Palestina untuk bangsa Yahudi ditolak Khalifah.
Beliau kemudian menyusun siasat dan membangun makar untuk merebut
tanah Palestina dari naungan Khilafah sekaligus menghentikan estafeta sejarah
Khilafah Islamiyah untuk pertama kalinya di muka bumi!
Selanjutnya, sedikit demi sedikit muncul berbagai gerakan
perlawanan. Namun kelanjutan ceritanya sekali lagi harus berujung pada
pemusnahan dan usaha pembunuhan.
Hari ini, fenomena tersebut barang kali sudah tidak begitu asing.
Setidaknya berdasarkan kutipan dari buku Fiqh al Daulah karangan seorang
lulusan universitas Islam terkemuka dunia, Al Azhar Kairo, Syeikh Yusuf
Al-Qardhawi, semoga Allah menjaganya, yang saat ini menjabat sebagai Ketua
Persatuan Ulama Dunia. Beliau menuliskan, “Setiap kali muncul bibit-bibit
gerakan kebangkitan Islam dan Khilafah, maka saat itu juga musuh Islam tidak
akan pernah tinggal diam dan secara continue memburu bahkan menghabisi
hingga ke akar-akarnya dengan berbagai cara.”
Disaat yang sama, berbagai wilayah kaum muslimin, yang sudah
dikotak-kotakkan, menjadi santapan dan buruan para musuh yang akhirnya sedikit
banyak meninggalkan perih dan luka mendalam dihati umat. Jeritan dan tangisan
umat yang tertindas dibelahan bumi terjajah hanya menjadi sebatas suara yang
tak berbalas.
Tidak ada lagi pasukan kaum muslimin yang diutus sebagaimana yang
terjadi saat Rasulullah saw mendengar ada seorang muslimah yang dilecehkan oleh
sekumpulan Yahudi dan berujung pada kematian seorang muslim yang berusaha
membela saudari seimannya. Tidak ada lagi pasukan yang dikirim sebagai bentuk
respon dan jawaban sikap setelah mendengar ada utusan kaum muslimin yang
dibunuh saat menjalankan misi dakwahnya.
Dinikah jika umat Islam saat ini berbicara tentang persatuan? Tidak!
Pada kenyataannya, keadaan umat sejak runtuhnya qiyadah
mereka di Turki justru diselimuti penderitaan yang hingga saat ini tak kunjung usai.
Palestina adalah contoh salah satunya. Desingan peluru dan teriakan bom seakan
menjadi konsumsi harian yang hampir tidak pernah terlewatkan. Penculikan dan
pembunuhan besar-besaran seolah menjadi ‘keajaiban dunia’ baru yang nahasnya tidak
menarik perhatikan banyak mata penduduk bumi. Korbannya jelas, kaum muslimin. Miris?
Ya!
Masih ingat bagaimana daratan Irak dan Afganistan pada awal 2000an berubah
menjadi kota mati yang menyeramkan?. Dimana keamanan dan kenyaman telah berubah
menjadi kesengsaraan dan penderitaan. Alasannya jelas sekali, penguasaan minyak
yang ada ditanah kaum muslimin. Dan bukan lagi soal senjata pemusnah massal
yang tersembunyi disana, sebagaimana yang digemborkan pelakunya.1)
Fakta lainnya, korban yang tercatat maupun yang tidak adalah warga
sipil yang mayoritasnya adalah kaum muslimin, lagi-lagi umat ini. “Half-Million
Iraqis Died in The War”2).
Masih diawal tahun yang sama, berbagai media anti Islam menjadi
sangat aktif sibuk menggambarkan dan
memprovokasi dunia bahwa Islam adalah musuh yang kehadirannya akan
mengganggu keamanan dunia. Perihnya, kaum muda umat ini sedikit banyak
terpengaruh. Lalu memilih langkah untuk menjadi malu dan mengarahkan ‘qiblat’
gaya hidupnya menuju barat sebagai contoh dan standar.
Badiuzzaman Sa’id Nursi pernah berujar, “Saat ini kaum muslimin
sedang mengandung janin orang barat dan bangsa barat sedang mengandung janin
agama ini. Akan ada saatnya Islam terbit dari benua biru dimana tanah timur
telah gelap dan tandus tersebab meninggalkan Islam.”
Tahun ini tepat 92 tahun sejak Khilafah Islamiyah runtuh. 92 tahun
sejak tanah kekuasaan Islam dibagi-bagi, diambil alih, dijajah dan meninggalkan
kerusakan parah. Tanah-tanah itu bahkan pernah menjadi bahan rebutan banyak negara
eropa. Daratan Afrika adalah salah satunya.
Seharusnya keperihan dan kesengsaran umat ini sudah cukup menjadi
alasan mengapa umat ini perlu bersatu lagi.
Mengapa Berbicara Persatuan?
Mari mengkaji bagaimana ahwal umat ini saat berada dalam naungan
Khilafah Ar Rasyidah? Dimana saat Rasulullah saw dan para penerusnya memimpin
umat ini meraih berbagai prestasi dan kegemilangan dunia. Berani maju,
menentang dan menembus kekuasaan Roma dan Persia yang saat itu menjadi penguasa
dunia. Atau saat zaman kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz? Yang dalam
salah satu riwayat disebutkan bahwa selama masa kepemimpinannya tidak ada satu
warga pun yang mengingini pembagian zakat dan shodaqoh, tersebab sudah terpenuhinya
kebutuhan harian mereka. Ini adalah buah kebahagian yang dirasakan umat masa
itu. Sebuah kebahagian dari hasil kolaborasi solid umara sholih yang
takwa dengan ulama robbani yang zuhud lagi ikhlas.
Pada dasarnya manusia manapun tidak akan sanggup hidup sendiri.
Selalu ada sebab atau alasan yang menjadikan mereka, suka maupun tidak, memilih
untuk hidup berdampingan dengan yang lain, bersatu dengan yang lain.
Hebatnya, Rasulullah saw mempersatukan umat ini bukan atas dasar
ras, status sosial atau tersohornya nama suatu kaum. Tidak. Sejarah telah menceritakan
bahwa persatuan agung ini dibangun atas dasar kesamaan yang suci. Kesamaan keyakinan,
kesamaan pedoman dan kesamaan iman.
Tidak ada lagi pembeda antara status Utsman bin Affan sang saudagar kaya dan dermawan
dengan Bilal bin Robah seorang budak yang tidak memliki apa-apa. Tidak ada lagi
perbedaan antara Bani Quraisy dan Bani Hasyim yang terpandang dengan selain
mereka yang biasa saja. Tolak ukurnya berubah. Takwa.
Eratnya ikatan persaudaraan yang Rasulullah saw dan Islam bangun
jauh lebih kuat dan berarti ketimbang hubungan darah dan nasab yang sebelumnya
begitu diperhitungkan. Semuanya melebur bercampur. Hanya ikatan iman saja yang
menyatukan dan memadukan mereka. Energi keimanan inilah yang akhirnya menghempaskan
segala macam perbedaan lalu menggantikan dasar pondasinya dengan kesamaan iman.
Lihatlah bagaimana Rasulullah saw mempersatukan Kaum Muhajirin dan
Anshar yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah, pun tidak pernah
berjumpa sebelumnya. Namun berkat
keindahan ukhuwah dan iman yang tergambar justru hasilnya
menggemparkan. Keduanya saling membahu dan membantu hingga tercipta masyarakat impian
yang madani. Bahkan Kaum Anshar berebut untuk dapat membantu saudara baru
mereka. Membantu apa saja, hingga istri saja bisa begitu mudah jika memang
ingin. Ukhuwah yang seperti ini yang akan melahirkan kokohnya persatuan Islam
dimasa depan.
Kombinasi Muhajirin dan Anshar telah menjadi kesatuan masyarakat
yang luar biasa. Mereka lalui perang-perang besar dengan kaum yang besar. Masih
ingat perang badar? 300an kaum muslimin dengan gagah dan perkasa mampu memukul
mundur 1000an pasukan perang dari Kaum Quraisy. Kemenangan silih berganti
mereka dapatkan. Hingga tiba masa saat umat ini mendeklarasikan diri sebagai
kesatuan Negara Islam untuk pertama kalinya di Madinah.
Inilah keistimewaan yang Allah anugerahkan kepada umat ini, dimana
hanya kesamaan iman yang menjadi sebab bersatunya mereka. Bukan lagi nasab keturunan
terlebih hubungan darah. Bukan lagi status sosial warna kulit dan terlebih kasta.
Siapa yang tidak merindukan hal ini?. Maka persatuan adalah salah
satu syarat mutlak untuk kembali mendulang kejayaan Islam.
Menyongsong 100 Tahun Menuju Kebangkitan
Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,“Sesungguhnya
Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini orang yang akan memperbaharui
(urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun.” 3)
Bahwa kelak akan hadir mereka yang menghidupkan kembali sunnah dan
melaksanakan ajaran Al-Qur’an secara kaffah. Mereka yang visi misi
hidupnya semata adalah untuk kemuliaan Islam. Mereka yang mengisi siang
malamnya untuk menyusun kembali proyek kebangkitan dan mengulang kejayaan Islam.
Mereka yang kesibukannya penuh dengan upaya pembangunan kembali kesadaran dan
mengembalikan umat ini pada ajaran hakiki. Lalu menyuarakan persatuan dan
mendidik generasi penyokong kebangkitan.
Siap tidak siap, mau tidak mau, masa itu akan tiba. Lantas apakah
umat ini ingin mengulangi masa emas mereka tempo hari? Apakah kita akan ikut
ambil bagian periode itu atau sekadar menjadi penonton?
Izinkan saya untuk mengatakan, mari memulainya dengan membangun
manusia.
Konon, orang-orang China dahulu kala ingin sekali hidup aman,
Mereka membangun tembok besar yang kini dikenal sebagai salah satu karya keajaiban
yang mendunia, dengan keyakinan bahwa tidak akan ada orang yang akan sanggup menembus
temboknya dan mengusik kenyamanan penduduknya. Namun sayang, 100 tahun pertama
setelah tembok besar itu selesai dibangun, China terlibat tiga kali pertempuran
besar. Setiap kali peperangan, angkatan darat musuh tidak perlu susah payah menghancurkan
tembok atau memanjatnya untuk bisa masuk. Yang mereka lakukan hanyalah menyogok
sang penjaga kemudian masuk dengan mudahnya melalui pintu-pintu yang tersedia.
Mereka hari itu sibuk membangun tembok tinggi, namun lupa
untuk membangun manusia!
Jika boleh dikatakan, syarat utama untuk menuju kebangkitan sekali
lagi adalah bagaimana kita mampu membangun manusia, mempersiapkan setiap
komponen umat ini untuk kembali tampil bersaing sebagai pemain dalam episode
kebangkitan Islam masa depan. Bukan lagi sebagai penonton alih-alih korban.
Kita mulai dari bagaimana memperbaiki dan me-manage tatanan
hidup pribadi kita sesuai arahan Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, lalu
beranjak menyebar menuju ranah berikutnya yang lebih luas dan majemuk.
Selanjutnya memperkaya diri dengan keseimbangan ilmu ukhrawi dunyawi.
Menyikapi segala bentuk perbedaan dengan pikiran lapang dan hati tenang. Tidak
mendahulukan egoisme dan emosi. Mulai dengan mengedepankan cinta dan kasih
sayang. Membangun kekuatan jasadi yang dikawal dengan keimanan yang
meninggi. Kembali kepada masjid dan ulama robbani
Syeikh Al-Bani pernah berujar,”Tegakkan Daulah Islam dalam hati
kalian, kelak ia akan tegak di bumi.” Jika Daulah Islamiyah adalah buah, maka selayaknya
persatuan umat ini adalah akar. Jika kejayaan agama ini adalah tunas, maka
persatuan umat seharusnya adalah pupuk dan airnya.
Dan pada akhirnya, peran dan hakikat dari kata persatuan selalunya
akan berujung pada kegemilangan era. Memimpikannya boleh saja, namun
merealisasikannya dalam kehidupan nyata adalah wajib hukumnya. Setelah umat ini
dikotak-kotakkan oleh batas teritorial ciptaan manusia, maka seharusnya batas
itu kini tidak lagi menjadi penghalang demi terwujudnya persatuan Islam dimasa
mendatang. Persatuan atas dasar keimanan sebagaimana dahulu Rasul ajarkan.
Dan dalam usaha menyongsong 100 tahun menuju kebangkitan, semoga wacana
persatuan tidak lagi hanya menjadi sebatas elegi dan mimpi. Suara persatuan
umat ini cepat atau lambat akan kembali menggema menyemarakkan dunia. Karena
perasaan kesatria itu lahir setelah lelah menjadi lemah. Seharusnya keperihan
dan kesengsaran umat saat ini sudah cukup menjadi alasan mengapa umat ini perlu
bersatu kembali.
Mari bersama teguhkan diri sebagai abdi, sebagai bagian dari umat
yang sudah lelah tertiindas dan rindu ingin segera kembali. (myi)
1) http://www.theguardian.com/world/2004/jul/28/iraq.usa
2) http://news.nationalgeographic.com/news/2013/10/131015-iraq-war-deaths-survey-2013/
3) HR Abu Dawud (No. 4291), Al-Hakim (No. 8592) dan Ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul Ausath” (No. 6527).
Post A Comment
Tidak ada komentar :