PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

KONSEP ISTISHHAB DALAM USHUL FIKIH (4)

B. Pendapat kedua

       
  Istishhâb tidak menjadi hujjah secara mutlak, baik dari segi penetapan atau penafian. Ini pendapat para ulama ilmu kalam, seperti Abu Husein al-Bashri, jumhur Hanafiyah generasi akhir dan disepakati juga oleh al-Kamal bin Hamam.[1] Adapun dalil mereka, yaitu:[2]

  1. Jika zaman sebelumnya membutuhkan dalil untuk menetapkan atau menafikan hukum-hukum syar'i maka begitu juga zaman selanjutnya.

  2. Sesungguhnya hukum-hukum syari'at, baik yang bermakna halal atau haram tidak ditetapkan kecuali dengan dalil-dalil yang dinukil dari Allah Swt., untuk menyandarkan hukum-hukum fikih. Adapun Istishhâb bukanlah termasuk dalil yang dinukil dari-Nya. Pernyataan di atas disanggah, karena hal yang dilarang adalah menafikan sebuah perbuatan yang telah ditetapkan oleh syar’i, sedangkan Istishhâb adalah memberlakukan hukum di masa sekarang seperti sebelumnya  hingga ada dalil yang merubahnya.

  3. Sesungguhnya  Istishhâb akan mengantarkan kepada pertentangan hukum. Hal ini terjadi dengan mempraktekkan metode Istishhâb itu sendiri.



Metode pertama: Shalat seseorang yang bersuci dengan tayammum dianggap sah walaupun ketika pertengahan shalat dia melihat air. Hal ini berdasarkan Istishhâb dengan memberlakukan hukum sebelumnya, yaitu jika awal shalat dianggap sah sebelum melihat air maka begitu pula di pertengannya ketika melihat air.



Metode kedua: Shalat seseorang yang bersuci dengan tayammum dianggap batal jika dia menemukan air di pertengahan shalatnya. Hal ini juga berdasarkan Istishhâb dengan memberlakukan hukum sebelumnya, yaitu jika tayammum dianggap batal ketika menemukan air sebelum melakukan shalat maka hukum tersebut juga diberlakukan ketika menemukannya di waktu melakukan shalat.

Dari dua contoh di atas yang mana masing-masing menggunakan metode Istishhâb, diketahui bahwa ia akan menghasilkan pertentangan hukum dalam sebuah permasalahan. Selain itu, pertentangan hukum-hukum tersebut juga akan berdampak negatif, karena tidak ada yang dirajihkan.

Pernyataan di atas disanggah karena kedua metode di atas sebenarnya mengumpulkan tiga zaman, yaitu:

  1. Zaman pertama: melihat air sebelum melakukan shalat.

  2. Zaman kedua: tidak melihatnya ketika memulai shalat.

  3. Zaman ketiga: melihatnya ketika di pertengahan shalat.

Zaman terakhir inilah yang sedang diperselisihkan. Jadi, jika ingin menghukuminya dengan dasar  Istishhâb, maka hukum yang diberlakukan pada zaman ketiga otomatis adalah hukum pada zaman yang berada persis di belakangnya secara langsung, yaitu zaman kedua yang mana tidak ditemukan air ketika memulai shalat, sehingga shalat pada saat itu dianggap sah. Kesimpulannya, Istishhâb ini menghasilkan bahwa shalat pada zaman ketiga juga dianggap sah walaupun melihat air di pertengahan shalatnya. Proses hukum ini termasuk metode pertama yang diterima keabsahannya karena menyandarkan hukum persis pada zaman di belakangnya. Sedangkan metode kedua di atas, yaitu memberlakukan hukum pada zaman ketiga atas dasar ditetapkannya pada zaman pertama keluar dari makna Istishhâb, karena antara zaman pertama dan ketiga tidak bisa langsung  dikaitkan. Dengan demikian pertentangan hukum tidak akan terjadi, namun jika ia terjadi maka pentarjihan selayaknya dilakukan sebagai solusi.



C. Pendapat Ketiga[3]

         Istishhâb hanya menjadi hujjah dari segi penafian. Hal ini terwujud pada dua  jenis Istishhâb, yaitu:[4]

  1. Istishhâb Hukm al-Sabab al-Syar‘iy. Contoh aplikasinya adalah memberlakukan hukum hak kepemilikan seseorang yang ditetapkan oleh sebab syar'i pada zaman sekarang seperti zaman sebelumnya. Jadi, Istishhâb yang dimaksudkan bukan menetapkan sesuatu yang sebelumnya tiada, tapi ia hanya sebatas menafikan sanggahan jika terdapat dakwaan tanpa bukti konkrit mengenai hilangnya kepemilikan tersebut.

  2. Istishhâb al-Barâ'ah al-Ashliyyâh (al-‘Adam al-Ashliy). Artinya, penafian taklif atas manusia hingga ada dalil yang menetapkannya. Jadi, ia juga berfungsi menafikan hukum di zaman sekarang seperti zaman sebelumnya hingga ada dalil yang menetapkannya.



Pendapat ini disepakati oleh jumhur Hanafiyah generasi akhir, seperti al-Qadhi Abu Zaid, Fakru'l Islam al-Bazdawi, Syamsu'l A'immah al-Sarkhasi, dan Shadru'l Islam Abu al-Yasar. Adapun argumen mereka, karena hukum yang ditetapkan pada masa lalu tidak mesti ditetapkan pada masa sekarang. Tambahan pula, karena keberlangsungan sesuatu yang telah ditetapkan tidak selamanya berlaku di sepanjang zaman, tapi membutuhkan sebab.

Alasan di atas disanggah, karena jika hukum yang ditetapkan hanya berlaku pada masa lalu maka diwajibkan mengemukakan dalil di setiap waktu untuk menetapkan banyak hukum. Begitu pula, pernyataan bahwa keberlangsungan sesuatu yang telah ditetapkan tidak selamanya berlaku di sepanjang zaman tidak bisa diterima, karena akan menjadikan hukum-hukum yang telah dinukil dari Rasulullah Saw. itu tidak berlaku.[5]

D. Pendapat Keempat

Apabila menyangkut permasalahan yang berhubungan antar mujtahid dan Allah Swt., maka Istishhâb menjadi hujjah. Sebaliknya, ia tidak menjadi hujjah jika dimamfaatkan untuk melawan musuh dalam perdebatan. Ini adalah pendapat al-Syaukani sendiri dengan mengatakan bahwa Allah Swt. tidak membebani manusia kecuali dalam batas kemampuannya. Dengan demikian, jika seorang mujtahid tidak menemukan dalil dalam permasalahan hukum kecuali Istishhâb maka dibolehkan untuk menjadikannya hujjah, namun Istishhâb tidak bisa dimamfaatkan melawan musuh dalam perdebatan, karena berpegang dengannya dilarang kecuali jika tidak didapatkan dalil.[6]

Imam Fakhruddin al-Razi mengomentari bahwa dilarang berpegang dengan Istishhâb, kecuali jika telah melakukan observasi dalil-dalil yang merubah hukum sebelumnya. Tapi jika dalil-dalil tersebut tidak ditemukan maka dihalalkan menghukumi sesuatu atas dasar Istishhâb selama hal itu hanya menyangkut hubungan antar mujtahid dengan Allah Swt..[7]

E. Pendapat Kelima

Membolehkan pentarjihan hukum-hukum yang bertentangan melalui Istishhâb, namun ia tidak bisa menjadi landasan dasar untuk menetapkan atau menafikan hukum. Al-Syaukani menyebutkan bahwa ustadz Abu Ishaq menukil pendapat ini dari Imam Syafi'i dengan mengatakan: ”Inilah yang benar menurut Imam Syafii”.[8]

F. Pendapat Keenam

         Istishhâb menjadi hujjah jika hanya menafikan hukum yang sebelumnya  juga telah dinafikan. Al-Syaukani menyebutkan bahwa ustadz Abu Manshur al-Baghdadi menukil pendapat ini dari beberapa sahabat Imam Syafi'i.[9]

Setelah disimpulkan, ternyata pertentangan para ahli ushul fikuh di atas sebenarnya hanya terdiri tiga pendapat, karena pendapat keempat menjadikan Istishhâb hujjah seperti pendapat pertama. Sedangkan pendapat kelima yang membatasi Istishhâb sebagai pentarjih hukum termasuk ke dalam  pendapat kedua. Adapun pendapat keenam masuk ke dalam pendapat ketiga.[10]



V. Peran Istishhâb dalam Wacana Hukum Fikih



Jika seorang mujtahid ditanya tentang hukum sebuah akad atau perbuatan, namun tidak ditemukan nash al-Qur'an, al-Sunnah, atau dalil lain yang menghukuminya. Maka akad atau perbuatan tersebut dibolehkan atas dasar bahwa hukum asal sesuatu itu dibolehkan "al-Ashlu fi'l Asyyâ' al-Ibâhah". Begitu pula, jika dia ditanya tentang hukum binatang, benda mati, makanan, minuman, atau apapun itu dan tidak temukan dalil yang menghukuminya maka semua itu dibolehkan seperti hukum asal.[11]

         Istishhâb adalah memberlakukan hukum sebelumnya di masa sekarang berdasarkan mayoritas zhan. Dengan demikian, ia tidak bisa menjadi dalil yang kuat dalam konklusi hukum, bahkan jika ia bertentangan dengan dalill lain maka dalil lain tersebut lebih didahulukan. Al-Khawarizmi[12] mengatakan: dalam kitab "al-Kâfî" bahwa Istishhâb adalah solusi terakhir dalam fatwa. Jadi, jika seorang mufti ditanya tentang hukum kejadian yang tidak ditemukan baik dalam al-Qur'an, al-Sunnah, ijmak, atau qiyas maka kejadian tersebut dihukumi berdasarkan Istishhâb Hâl baik berupa penetapan atau penafian. Apabila ragu-ragu dihapuskan atau tidaknya hukum sebelumnya maka  hukum tersebut tetap diberlakukan di masa sekarang seperti hukum asal. Sebaliknya, jika ragu-ragu ditetapkan atau tidaknya hukum sebelumnya maka ia dinafikan seperti hukum asal.[13]

Metode Istishhâb dibangun atas dasar dalil syar'i dan akal.[14] Dikatakan bahwa ia dibangun melalui dalil syar'i karena sesuai dengan resolusi-resolusi dalam syari'at Islam yang menguatkan eksistensi  Istishhâb itu sendiri. Adapun resolusi-resolusi tersebut terlahir setelah melalui al-Istiqrâ' atau observasi induktif permasalahan-permasalahan fikih yang menghasilkan konklusi hukum universal dengan menyatakan bahwa hukum-hukum syar'i diberlakukan sepanjang zaman selama ia tidak terikat oleh waktu yang ditentukan atau selama tidak ada dalil yang merubahnya. Contohnya, syari'at menetapkan bahwa minuman memabukkan diharamkan kecuali jika sifatnya telah berubah, yaitu menjadi cuka dan tidak memabukkan.

         Istishhâb juga dibangun melalui dalil akal karena logika dan intuisi tidak bisa memungkiri perannya dalam memberlakukan hukum asal. Contohnya, tidak seorang pun dibolehkan mendakwa bahwa si fulan halal darahnya karena telah murtad, kecuali ada dalil yang menyatakan hal itu. Begitu pula, jika seorang sebelumnya hidup tidak bisa dinyatakan wafat, kecuali ada dalil yang menyatakannya. Dengan demikian, logika dan intuisi menyatakan bahwa hukum asal seperti halalnya darah dan hidupnya seseorang  senantiasa diberlakukan hingga ada dalil yang merubahnya.

Kesimpulannya, Istishhâb dari segi zatnya bukanlah dalil dan sumber hukum karena ia hanya sebuah metode pemberlakuan hukum di zaman sekarang seperti zaman sebelumnya hingga ada dalil yang merubahnya.[15] Adapun secara zahir, ia dianggap sebagai dalil hukum karena atas dasar dalil Istishhâb itulah hukum sebelumnya bisa diberlakukan di zaman sekarang.[16]



VI. Pengaruh Istishhâb al-Hâl Terhadap Permasalahan Fikih



Perselisihan ulama mengenai ke-hujjah-an Istishhâb al-Hâl pastinya melahirkan perselisihan juga terrhadap permasalahan-permasalahan fikih. Adapun salah satu contoh terapannya, yaitu:

  • Perselisihan fuqaha mengenai hukum warisan orang yang hilang (orang hilang).

Orang yang hilang artinya orang yang tidak diketahui di mana keberadaanya dari waktu ke waktu karena disebabkan berbagai macam hal, seperti bencana, pergi merantau, dll., dan juga  tidak diketahui apakah dia masih hidup atau telah wafat. Fuqaha berbeda pendapat dalam menghukumi permaslahan ini. Adapun penjelasannya yaitu:[17]

  1. Menurut Hanafiyah karena mereka tidak berpegang terhadap jenis Istishhâb yang termasuk bab "penetapan hukum" maka sesorang tersebut tidak mewarisi dan bagian warisan tersebut disimpan hingga kemunculannya atau kejelasan informasi tentangnya. Adapun di sisi lain, karena mereka berpegang terhadap bab "penafian dakwaan" maka dia tidak diwarisi dengan  memberlakukan keberlangsungan hidupnya atas dasar Istishhâb hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa dia telah wafat atau qadhi atau hakim yang akan memutuskannya.

  2. Menurut Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah, seseorang tersebut mewarisi dan tidak diwarisi atas dasar  Istishhâb al-Hâl. Adapun alasan mereka, karena sebelumnya orang yang hilang dihukumi hidup maka diwajibkan memberlakukan hukum tersebut di zaman sekarang hingga ada dalil yang merubahnya. Dengan demikian, dia mendapat hak waris dan tidak diwarisi karena dia dihukumi hidup. Hanabilah menambahkan bahwa dia diwarisi namun tidak mendapat hak waris jika hilangnya tersebut berlangsung sampai kurun waktu empat tahun.

  3. Menurut golongan yang mengatakan bahwa Istishhâb tidak menjadi hujjah secara mutlak, baik untuk penetapan hukum atau penafiannya. Dengan demikian, seseorang tersebut tidak mendapat hak waris, karena ketiadaan dalil yang menyatakan bahwa dia hidup sebagai salah satu syarat mendapat hak waris. Begitu pula, dia tidak diwarisi karena tidak terwujudnya salah satu syarat pewarisan, yaitu wafatnya orang yang diwarisi secara hakikat atau hukum. Adapun argumen mereka, karena seseorang yang hidup sebelum hilang tidak mesti dinyatakan hidup setelah hilang. Jadi, kesimpulannya dia tidak mewarisi dan tidak diwarisi.

VII. Ikhtitâm

Kesimpulannya, Istishhâb yang dibangun berdasarkan ghalbatu al-zhan (kemungkinan terbesar/mayoritas) adalah satu dalil hukum yang diperselisihkan oleh para ulama. Ia merupakan metode ijtihad terakhir yang digunakan ketika tidak ditemukan dalil-dalil lain yang menghukumi sebuah permasalahan. Dengan demikian, jika dalil Istishhâb bertentangan dengan dalil lain ketika menghukumi sebuah permasalahan maka dalil lain lebih didahulukan.

Secara garis besar, perselisihan para ulama mengenai ke-hujjah-an Istishhâb terbagi menjadi tiga pendapat, dan akhirnya menghasilkan produk hukum yang berbeda-beda ketika diterapkan dalam permasalahan-permasalahn fikih. Dalam hal ini, penulis tidak berani merajihkan salah satu pendapat di atas, tapi berharap perbedaan-perbedaan hukum yang dipaparkan fuqaha dalam suatu permasalahan akan membuat umat Islam bijak dalam menyikapi, karena sebenarnya perbedaan hukum tersebut  membuat kita lebih fleksibel dalam memilih dan mengkondisionalkan dengan keadaan selama tidak bertentangan dengan maslahat. Hal ini bukan berarti meremehkan hukum, tapi karena tuntutan kondisi yang kerap terjadi. WalLâhu a‘lâm bi al-shawab




DAFTAR PUSTAKA





  1. Abdul Aziz, Amir, Ushul al-Fiqh al-Islâmiy, Dâr al-Salâm, Kairo-Mesir, cet. I, 1997 M.

  2. Abdurrahman, Jalaluddin, Ghâyatu'l Wushûl ilâ Daqâ'iq ‘Ilmi'l Ushûl; (al-Adillah al-Mukhtalaf  fîhâ), Mathba‘ah al-Jablâwiy, Kairo-Mesir, cet I, 1992 M.

  3. Abu Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqh, Dâru'l Fikr al-‘Arabiy, Kairo-Mesir, 1997 M.

  4. Al-Amidi, Saifuddin, al-Ihkâm fiy Ushûli'l Ahkâm, Dâru'l Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon, tt..

  5. Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathu'l Bâriy bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Maktabah al-Shafâ', Kairo-Mesir, cet. I, 2003 M.

  6. Al-Nawawi, Muhyiddin, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawâwî, Maktabah al-Îmân, Kairo-Mesir, tt..

  7. Al-Syaukani, Abu Ali Badruddin, Irsyâdu'l Fuhûl  ilâ Tahqîqi'l Haq min ‘Ilmi'l Ushûl, Dâr al-Salâm, Kairo-Mesir, cet. I, 1998 M.

  8. Al-Zuhaili, Wahbah, Ushûl al-Fiqhi al-Islâmiy, Dâru'l Fikr, Damaskus-Syiria, cet. XIV, 2006 M.

  9. Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur'an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra, Semarang-Indonesia, 1995 M.

  10. Hilali, Sa'duddin Mus'ad, Al-Mahârah al-Ushûliyyah wa Atsruhâ fiy al-Nadhji wa al-Tajdîd al-Fiqhiy, Majlis al-Nasyr al-‘Ilmiy, Kuwait, cet. I, 2004 M.

  11. Ibnu Anas, Imam Malik, Al-Muwaththa', Dâr al-Salâm, Kairo-Mesir, 2005 M.

  12. Ibnu Hazm, Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm al-Zhahiri, al-Ihkâm fiy Ushûli'l Ahkâm, Dâru'l Fikr, Beirut-Libanon, cet. I, 1997 M.

  13. Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Adzîm, Dâru'l Kutub al-‘Arabiy, Beirut-Libanon, 2005 M.

  14. Ismail, Sya'ban Muhammad, Ushûl al-Fiqh Târîkhuhû wa Rijâluhû, Dâr al-Salâm, Kairo-Mesir, cet. II, 1998 M.

  15. Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh wa Khulâshah Târîkh al-Tasyrî‘ al-Islâmiy, Dâru'l Qalam, Kairo-Mesir, cet II, 1942 M.

Zaidan, Abdul Karim, al-Wajîz fiy Ushûl al-Fiqh, Mu'assasah al-Risâlah, Beirut-Libanon, cet. V, 1996 M.









[1] Al-Syaukani, op. cit., hal. 680, Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 269, dan. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 170.




[2] Ibid., hal . 166, dan Sa'duddin Mus'ad Hilali, op. cit., hal. 185.




[3] Imam al-Syaukani, op. cit., hal. 681, Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 167 dan Amir Abdulaziz, Ushûl al-Fiqh al-Islâm, vol.II, Dâr al-Salâm, Kairo, cet. I, 1997 M,  hal 457.




[4] Ibid., hal. 167, dan Sa'duddin Mus'ad Hilali, op. cit., hal. 186.




[5] Ibid., hal. 187.




[6] Al-Syaukani, op. cit., hal. 681.




[7] Amir Abdul Aziz, op. cit., hal. 457.




[8] Al-Syaukani, op. cit., hal. 681.




[9] Ibid., hal. 681




[10] Sa'duddin Mus'ad Hilali, op. cit., hal. 188.




[11] Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh wa Khulâshatu Târîkh al-Tasyrî‘ al-Islâmiy, Dâru'l Qalam, Kairo, cet II, 1942 M, hal 91.




[12] Dia adalah Manshur bin Ahmad bin Yazid atau Abu Muhammad al-Khawarizmi. Berdiam di Mekah dan wafat tahun 1373 M. Dia seorang ulama dari madzhab Hanafi. Sya'ban Muhammad Ismail, op. cit., hal. 175.




[13] Muhammad Abu Zahrah, op. cit., hal. 260.




[14] Ibid., hal 261.




[15] Ibid., hal 261.




[16] Abdul Wahab Khalaf, op. cit., hal. 93.




[17] Jalaluddin Abdurahman, op. cit., hal. 156, Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 269, dan. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 168.


Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

1 komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]