SIMBOLISME BAGIAN DARI KOMODITAS SEKULARISME
Prof. Dr. Hasan Al Syafi’i, MA.
Guru Besar Akidah-Filsafat Fakultas Darul ‘Ulum Universitas Kairo
Pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Internasional
Islamabat-Pakistan 1998-2004
Sejak lama, umat Islam sering disibukkan diskursus tertentu yang berkenaan dengan simbolisme (as-syaklâniyah). Bisakah anda jelaskan gambaran singkat serta definisi dari terminologi tersebut?
Bismi`lLâhi al-rahmân al-rahîm. Pada hakikatnya, terminologi ini merupakan antitesis dari tema lain yaitu Islam Substansif (ma’nawiyah). Awal kemunculan tema ini berawal dari upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk mendikotomikan dua hal tersebut menjadi dua hal yang kontradiktif satu sama lain, seperti dua kutub yang saling bertentangan. Saya katakan, meskipun ini bagian dari produk pemikiran kontemporer, khususnya kelompok sekuleris, tema ini merupakan bentuk antagonis dari apa yang disebut dengan Islam substansif yang tidak memberikan perhatian dalam porsi besar bagi simbol-simbol keagamaan. Saya juga katakan bahwa agama Islam memiliki cara pandang tersendiri dalam menyikapi tema ini. Islam sesungguhnya berusaha untuk mengkolaborasikan keduanya. Karena sesungguhnya tidak ada substansi tanpa simbol. Begitu juga tidak ada hakikat tanpa bentuk legal-formal. Keduanya adalah dua permasalahan yang saling terikat dan mengikat, baik itu dalam ruang sastra maupun juga dalam ruang filsafat. Berbeda dengan apa yang kita dapatkan dalam aliran filasafat. Ada satu aliran yang lebih mementingkan hal-hal yang simbolik, sementara ada juga yang lebih memperhatikan hal-hal substansif. Oleh sebab itu, keduanya adalah satu kesatuan yang integral. Demikianlah pokok prinsipil ajaran Islam. Seorang muslim diharapkan dapat membangun keseimbangan (balance) dalam dua hal tersebut. Dia dituntut untuk mampu membaca dan melaksanakan substansi Islam. Di waktu yang sama, dia juga diminta agar tidak menganggap remeh simbol agama. Klaim kontradiksi yang mengemuka tidak pernah diakui oleh Islam.
Islam memberikan perhatian terhadap permasalahan etiket (adab), karena etiket merupakan artikulasi (ta’bir) dari makna rûhiy. Jadi sekali lagi keduanya adalah satu kesatuan. Contoh lain yang proposional adalah dunia sufi. Lazimnya, sebagaimana kita ketahui, dikatakan dalam ajaran sufi bahwa aspek rûhiy lebih dipentingkan daripada aspek jasadiy. Namun ternyata pada tataran prakteknya para tokoh sufi justru terhitung sebagai orang yang paling banyak menaruh perhatian terhadap masalah etiket yang notabenenya merupakan masalah simbol. Merekalah yang lebih memperhatikan adab makan, adab bepergian, adab tidur, dsb. Jadi, di sana ada keseimbangan antara perkataan rûhiy, maqâshidiy, ma’nawiy dengan perkataan adabiy. Inilah sesungguhnya ajaran Islam yang sebenarnya. Bahwa tidak ada dikotomi antara dua hal tersebut sebagaimana tesis yang banyak diajukan oleh kelompok sekuler.
Jika anda mengatakan bahwa terminologi simbolisme merupakan komoditas kelompok sekuler, maka apakah terminologi itu juga dikenal dalam turâts fikih dan filsafat kita, dan bagaimana pendapat para ulama mengenai hal tersebut?
Baiklah, kita akan mengkaji masalah ini dari tinjauan keilmuannya (ilmiah), artinya dari tinjauan pemikiran Islam, bukan dari tinjauan sosial-politik. Pada dasarnya, fikih adalah akumulasi dari hukum-hukum yang dogmatis-formalis. Fikih adalah undang-undang. Undang-undang sendiri, yang berlaku di negara manapun, pasti bercorak simbolis dan bersifat legal-formal. Akan tetapi fikih Islam berusaha memberikan solusi agar tidak “tercebur” pada kubangan formalitas an sich. Karena fikih Islam juga memberikan perhatian kepada permasalahan substansif (jauhariy).
Kalau kita berpikir menggunakan logika fikih yang formal, maka akan mengantarkan pada kesimpulan istinbathu`l ahkâm melalui penggunaan hukum qiyas, yaitu sebuah usaha mengkomparasikan satu perkara yang tidak ada nashnya (lâ nashsha fî hi) dengan satu perkara yang ada nashnya (manshush) karena kesamaan `illah diantara keduanya. Akan tetapi jika kita berfikir dengan cara yang terlalu rigid (baca: hanya melulu qiyas), maka kita tidak akan sampai pada sebuah kebenaran yang hakiki. Hal itu bukan berarti kita menganggap remeh makna qiyas atau piranti fikih Islam lainnya, akan tetapi kita hanya berusaha untuk tidak berfikir literalis. Dalam redaksi yang lain, kita berusaha untuk tidak terjepak pada qiyas syaklâniy (formalis).
Dalam qiyas, ada yang dhâhir dan ada yang khafiy. Bisa jadi qiyas yang khafiy lebih tepat guna dalam merealisasikan mashâlihu`l ‘ibâd. Karenannya, para pakar ushul fikih dari setiap madzhab kemudian berusaha merumuskan satu kaidah dan berhasil ‘melahirkan’ mashâdiru`l tasyrî’ (sumber-sumber hukum) lainnya, seperti istihsân, ‘urf, maslahah mursalah, dan lain sebagainya. Islam berusaha untuk membuat kita tidak terjebak pada semangat formalis-simbolis.
Dalam kontoks filsafat, ada juga usaha untuk menggabungkan dua tema tersebut bertemu dalam satu titik. Yaitu usaha integralisasi wahyu agama yang berupa teks-teks suci dengan pemikiran rasional. Jadi, jika anda mengajukan pertanyaan ini kepada saya, maka saya jawab bahwa tema itu ada dalam turâtsi fikih kita. Tetapi dalam perjalanna sejarahnya, salah satu dari dua tema itu terkadang menjadi lebih unggul sehingga menjadi kecenderungan pada zamannya. Maka kemudian lahirlah gerakan-gerakan dalam ranah filsafat dan tasawuf yang berusaha untuk bersikap seimbang dan mengajak untuk mereinterpretasi pemaham kita terhadap ajaran Islam sehingga tidak timpang.
Bagaimana pendapat anda dalam masalah hijab, niqâb, jubah serta jenggot? Apakah hal-hal tersebut bisa kita golongkan ke dalam simbol agama yang tidak penting ataukah justru bagian dari syari’at Islam?
Sudah pasti itu bagian dari simbol. Akan tetapi saya ingin menyebutkan bahwsanya simbol-simbol tersebut merupakan praktek riil (tathbîqât) dari substansi ajaran Islam. Sekali lagi bahwa tidak ada ajaran agama manapun yang tidak memiliki qânûn (undang-undang) legal-formal.
Saya tegaskan kepada anda bahwa simbolisme adalah murni produk pemikiran kaum sekuler. Sedangkan orang yang pertama meletakkannya dalam dunia Islam kontemporer adalah Kemal Ataturk di Turki. Dia memiliki keyakinan bahwa manusia yang menggunakan topi torbûsy (topi gaya baru di zamannya) adalah mereka yang berpikiran cerdas. Padahal, itu bukan kemestian, karena banyak juga orang yang tidak menggunakan torbûsy tapi tetap berpikir cerdas. Atau terkadang justru yang menggunakannya adalah mereka yang pikirannya tidak benar, seperti orang-orang Eropa itu. Mereka bertopi tapi pikrannya juga menyimpang. Mereka mengira bahwa ketika berpindah dari cara menulis dan mengeja huruf yang dimulai dari kanan ala Arab dan beralih ke model Eropa secara otomatis juga akan mengubah isi otak mereka menjadi lebih baik. Sekali lagi tidak! Oleh karena itu, upaya merubah masyarakat Arab-muslim agar meniru budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadiannya adalah bid’ah yang lahir dari rahim sekuleris.
Sementara itu, umat Islam juga ‘menandingi’ paham simbolisme dari Barat tersebut dengan simbolisme lain. Barat menggunakan topi sebagai simbol, kita memakaikan hijab bagi wanita muslimah juga sebagai simbol. Kedua cara dan pola pikir seperti ini adalah tidak benar. Dalam masalah tata cara berpakaian, tidak cukup hanya dimaknai sekedar sebagai simbol. Ajaran Islam menggariskan sebuah syarat tersendiri, diantaranya harus menutup aurat, mencerminkan kehormatan dan melambangkan kewibawaan. Maka melahirkan sebuah paham baru untuk menandingi paham barat dengan hanya menjadikan pakaian sebagai simbol adalah tidak benar.
Islam itu datang untuk setiap kultur masyarakat, tidak hanya terkhususkan pada masyarakat tertentu. Islam berusaha untuk mengakomodasi semuanya. Barang siapa yang ingin berpakaian cara Nabi saw. sebagai bentuk kecintaan terhadap beliau maka silahkan saja. Begitu juga dengan jubah dan sejenisnya, bukanlah sesuatu yang urgen. Artinya, seseorang yang memakai pakaian adatnya juga berhak untuk berkata dan ‘mengklaim’ dirinya sebagai seorang muslim yang baik.
Kita tidak menyebut orang barat yang berpakaian arab sebagai mukmin. Seorang Hoffman yang pemikir besar itu misalnya, tetaplah bukan seorang muslim sekalipun telah berpakaian jubah di negeri Arab. Adapun dalam masalah hijab, ini adalah pengecualian. Karena hijab memang merupakan satu kewajiban dan termasuk dari salah satu hukum Islam yang wajib untuk diamalkan. Hijab bisa digunakan dengan banyak variasi asalkan tidak melenceng dari ketentuan syari’at. Hijab bukanlah simbol agama an sich, akan tetapi merupakan kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan setiap wanita yang beriman. Berbeda dengan niqâb (cadar) yang memang tidak wajib hukumnya sebagaimana hijab. Wa`lLâhu a’lam.
Anda menyebutkan bahwa ada hubungan tertentu antara hal-hal yang substansif dengan hal-hal simbolis dalam ajaran Islam. Maka pertanyaan selanjutnya, apakah ada batasan yang jelas diantara keduanya?
Betul. Itu hanya analisa saya, mudah-mudahan saya benar. Keduanya adalah termasuk dalam dimensi keagamaan. Jadi, siapa saja yang membincangkan ibadah maka otomatis dia juga membicarakan keduanya; simbol dan substansi. Ibadah mahdhah seorang muslim misalnya, tidak dianggap absah kecuali telah meliputi dua perkara. Pertama, kesesuaian dengan sunah dan aspek simbolistik. Dalam hadis Nabi saw. disebutkan: “shallû kamâ ra`aytumûniy ushalliy”. Setiap gerakan dalam praktek shalat harus didasarkan pada ittiba’ Nabi saw.. Ini adalah perkara simbolnya. Kedua, yang berkenaan dengan ruh (substansi) dari ibadah adalah keikhlasan seseorang. Ini menunjukan bahwa keduannya adalah sesuatu yang dituntut dalam praktek keagamaan kita. Aspek substansial (jânib rûhiy) dalam ibadah adalah keikhlasan. Akan tetapi keikhlasan itu juga harus tercermin dalam bentuk riil-simbolis. Sebagaimana saya katakan, bentuk riil-simbolis itu adalah pengikutan kepada sunah Nabi saw..
Pendeknya, setiap perbuatan atau amalan itu harus mencerminkan dua dimensi; pertama, dimensi simbol-simbol. Dimensi simbol-simbol merupakan bagian yang terpisahkan dari cara beragama yang baik. Sedangkan dimensi kedua (dimensi yang terpenting) adalah dimensi akidah dan akhlak. Karena akidah adalah parameter dari setiap perbuatan seorang hamba. Dari situlah kemudian bisa tercermin perilakunya. Itulah mengapa akidah-akhlak dianggap sebagai perkara yang paling substansial.
Beberapa hal diatas berkenaan dengan fikih dan akhlak. Bagaimana dalam per-ekonomian? Karena saat ini, di beberapa negara muslim, telah terjadi fenomena baru yaotu menjamurnya bank syari’ah non konvensional. Apakah ini juga termasuk bagian dari simbol belaka?
Ya, pada dasarnya itu cuma simbol saja. Tapi ini juga terkait dengan dimensi akhlak. Karena pengelolaan harta dengan cara yang batil adalah perbuatan yang tercela; haram dalam kacamata fikih Islam dan dalam kacamata undang-undang yang tergolong dalam perbuatan kriminal. Dalam al-Qur`an pun dijelaskan bahwa tindak kriminal yang harus paling dijauhi adalah memakan harta anak yatim.
Problem yang dijumpai dalam bank Islam terletak pada pelakunya, di mana mereka menginginkan sisrem Islam tapi tidak mengerti bagaimana sistem yang benar-benar islami. Jadi ketika mereka mendirikan bank Islam, tak ada bedanya dengan bank-bank konvensional biasa. Sistem yang diharapkan, yang benar-benat islami belum ditemukan. Gerakan yang berkembang di beberapa negara muslim agar tercipta sebuah sistem perekonomian yang islami dan sehat itu, memang cukup positif, bahkan termasuk legal dalam Islam. Tapi permasalahannya adalah hal itu belum terealisir dengan baik. Bank-bank seperti itu tidak ubahnya dengan model-model bank lain di dunia Barat.
Kebutuhan kita terhadap sistem seperti itu memang sudah jelas. Tapi tataran praktisnya yang terkadang masih kabur bahkan bercampur dengan sistem ribawiy. Saya memang bukan seorang fakih dan ekonom, tapi saya telah mengamati ketimpangan ini sejak lama. Keinginan para pegiat sistem ribawiy konvensional ini lebih besar dari pada sistem yang islami. Tapi kita tetap akan berusaha untuk menjalankan sistem perekonomian yang benar-benar islami, bukan hanya simbol belaka.
Banyak dari kelompok liberal menyeru kita agar berpindah dari sekedar simbol menuju ke maqâsidu`l syari’ah. Mereka juga mengatakan bahwa maqâsidu`l syari’ah adalah sumber hukum Islam selain al-Qur`an dan Sunah. Bagaimana komentar Anda?
Lanjutan Edisi Dua : SIMBOLISME BAGIAN DARI KOMODITAS SEKULARISME (2)
Post A Comment
Tidak ada komentar :