Turâts dan Peradaban Indonesia Kontemporer
Oleh: M. Nova Burhanuddin
(Juara 1 Lomba Esai dalam Rangkaian MUSCA6 Pci Muhammadiyah Mesir)
Sebagai umat Islam, kita patut sekali
bersyukur. Bersyukur kita memiliki suatu peninggalan yang tak dimiliki
peradaban lain, yaitu keaslian kitab suci Al-Quran dan ketersambungan sanad
Sunnah. Semua agama dan peradaban lain tak memiliki pondasi sekokoh itu. Dari
kekokohan inilah keilmuan Islam dibangun secara meyakinkan, karena apa saja
yang tak punya pondasi meyakinkan, tak akan ada hal meyakinkan yang bisa
dibangun di atasnya. Kemantapan dua pondasi ini memberi warna baru bagi
kemantapan potensi akal. Jadilah dua kemantapan. Dua jenis kemantapan bertemu,
kemantapan transmisional (naqliyyah) dengan kemantapan rasional (‘aqliyyah)
menghasilkan kemantapan peradaban. Jadilah peradaban Islam yang
gilang-gemilang. Sementara peradaban lain punya satu kemantapan rasional saja.
Krisis Kemanusiaan Kontemporer dan
Revitalisasi Turâts
Peradaban
cemerlang nan seimbang ini harus dilestarikan. Di antara yang paling penting
adalah dengan menghidupkan keilmuan-keilmuan Islam matang yang dihasilkan
darinya. Entah yang bersifat transmisional, entah yang rasional.
Sementara
itu, sangat disayangkan, ternyata peradaban cemerlang ini mengalami kemunduran.
Tidak dari sisi kekayaan warisannya, tetapi dari sisi daya hidup
manusia-manusianya. Kemunduran itu, sangat disayangkan lagi, ternyata memicu
goncangan pada neraca keseimbangan peradaban yang dicapai sebelumnya. Terjadilah
keterputusan antara yang transmisional dengan yang rasional. Antara yang
bersifat agama dengan yang bersifat dunia. Terjadilah krisis
kemanusiaan-ketuhanan yang hebat, sebagaimana mudah kita jumpai di pentas dunia
kini. Hal yang menunjukkan ketimpangan dalam neraca keseimbangan peradaban dunia
mutakhir. Maka usaha menemukan kemanusiaan sejati pun kini penuh lika-liku di
kanan kiri. Namun, harus tetap ditempuh, demi kemanusiaan sejati penuh hidayah
Nabi. Caranya, di antara yang terpenting, adalah dengan menghidupkan kembali
kejayaan keilmuan-keilmuan klasik Islam, sumber renaissance Barat modern
itu sebenarnya bermula.
Pilar-Pilar Peradaban; Indonesia sebagai
Contoh
Kerja membangun kembali peradaban itu
membutuhkan semacam uji ‘laboratorium’. Sebagai orang Indonesia, kita mulai
saja dengan Indonesia. Karena kita mengenalnya lebih baik daripada mengenal
bangsa-bangsa lain. Menguasai masalah tentu saja tidak sama dengan
setengah-setengah mengerti masalah. Mulailah dari yang paling kita pahami demi
kebaikan negeri!
Ada
begitu banyak pilar peradaban Indonesia. Semuanya merujuk pada Indonesia sebagai
identitas dan fakta sejarah. Identitas menyiratkan esensi, visi, misi, dan jiwa
keindonesiaan. Sementara fakta sejarah menyiratkan kenyataan dan realitas
Indonesia sebagai bangsa, negara, geografi, sejarah, juga peradaban. Kalau
begitu, identitas dan fakta sejarah Indonesia tidak bisa dipisah-pisahkan.
Keduanya harus senantiasa ditemukan, dimaknai, digerakkan, dihidup-hidupi,
dihayati.
Kita
harus kerucutkan lagi! Akan penulis kerucutkan dan konkretkan pilar-pilar
peradaban khas ini dalam beberapa titik. Yakni, jiwa membangun, rasionalitas
kolektif, kemanusiaan usaha, kemesraan sosial, dan paradigma kemajuan
teknologi.
Jiwa
membangun adalah cinta. Tanpa cinta tak akan ada yang terbangun sama sekali.
Cintalah yang menggerakkan pembangunan itu, pembangunan yang manusiawi dan
terarah. Cinta mampu merekatkan, mengumpulkan, menghimpun, dan menyatukan.
Cinta adalah daya bangun untuk Indonesia, baik sebagai identitas maupun sebagai
fakta sejarah. Akan kita kembangkan pembahasan ini nanti dengan pendekatan
konsep cinta dalam tasawuf.
Rasionalitas
kolektif adalah daya analisa, daya mencari pola, membangun argumentasi,
mengkritik, dlsb. Ia menyiratkan adanya suatu kearifan kolektif, juga
kesepakatan kolektif. Kharakter-kharakter besar ini menguatkan peradaban,
mengokohkannya, juga mengontrolnya dengan batas-batas kolektif yang bisa
dimengerti dan diterima secara massif. Analisis lebih lanjut akan meminjam
pendekatan kalam aswaja ketika membangun konsensus teologis ilmiahnya.
Kemanusiaan
usaha, maksudnya adalah spirit kemanusiaan dalam semua usaha masyarakat, baik
yang berkaitan dengan hukum, ekonomi, interaksi satu sama lain atau antara
kelompok, dlsb. Hal semacam itu bisa dicapai dengan memahami maksud-maksud
besar, tujuan-tujuan utama dalam semua kerangka usaha di atas; bahwasanya ada
pola-pola besar yang menyatukan semua aktivitas tersebut, pola-pola besar yang
menjadi pengertian, keharusan, juga kebutuhan masyarakat. Ke depan akan kita
ulas mengggunakan pendekatan maqashid syariah.
Kemesraan
sosial adalah penghangat suasana, pemecah kebuntuan, pencair ketegangan di
masyarakat. Suasan-suasana hangat semacam
ini selalu dibutuhkan, mengingat Indonesia multikultural, multietnis,
multi-kepercayaan, multi-agama, fanatismenya juga kental. Sehingga sedikit perselisihan saja bisa jadi konflik
horizontal yang luas. Maka dengan pendekatan sastra dan bahasa,
ulasan hal-hal semacam itu akan diperluas nanti.
Paradigma
kemajuan teknologi, menyiratkan sudut pandang strategis dalam pengembangan
potensi alam, potensi manusia, demi kebutuhan masyarakat masa depan. Paradigma
yang tepat akan memicu etos kerja yang inovatif, kreatif, juga yang beretika
dan bertanggung-jawab. Teori kasb asy’arîy akan dipakai dalam
ulasan tersebut ke depan.
Manifestasi Lapangan
Tiba saatnya kita masuk pembahasan inti. Di
sinilah pilar-pilar peradaban Indonesia di atas akan banyak diulas. Di sinilah
teori-teori besar yang ada di kitab-kitab turâts akan diwarnai dan dibuktikan
dalam bentuk nyata.
1.
Tasawuf dan Jiwa Pembangunan
Kalau kita menikmati kajian tasawuf, akan kita rasakan
spirit-spirit positif yang mendorong kehidupan. Bahkan, dalam satu inti ajaran
tasawuf, diuraikan dengan begitu romantis konsep cinta yang pro-kehidupan.
Konsep ini berangkat dari ayat mulia Al-Quran وما خلقت الجن والإنس
إلا ليعبدون . Sebagaimana
dikutipkan oleh Ismail ‘Ajluni dalam Kasyf al-Khafâ` wa Muzîl al-Ilbâs ‘ammâ
Isytahara min al-Ahâdîts ‘alâ Alsinati’n-nâs (mengutip dari Tesis Mas Yunus Masruhin, al-Wujûd
wa az-Zamân fî al-Khithâb ash-Shûfîy ‘inda Ibn ‘Arabî) bahwa ayat tersebut
diartikan dengan “supaya mereka mengenal-Ku” oleh al-Muqri dan Ibn Abbas ra.
Lebih jelas lagi dalam suatu hadits qudsi:
كنت كنزا لا أعرف فأحببت أن
أعرف فخلقت الخلق وتعرفت إليهم فعرفوني
Inilah konsep al-hubb
al-ilâhîy (cinta ilahi). Atas dasar cinta ilahi inilah, yang
termanifestasikan paling privat dalam bentuk ritual ibadah, Allah menciptakan
alam semesta.
Kini kita tahu bahwa sejak semula cinta
mengandug energi membangun. Maka tak mengherankan, cinta, juga menikmati
kehidupan, adalah dorongan paling hebat untuk maju. Dalam tataran praktis,
dorongan luar biasa inilah alasan keberlangsungan pembangunan. Walapun ia sudah
berubah dari kharakter awalnya sebagai cinta ilahi, tapi sisa-sisa energi cinta
tersebut masih luar biasa.
Indonesia yang etos kerjanya terlihat
buruk bisa jadi karena etos cintanya juga buruk. Etos cinta Indonesia pada
kewajiban kerja masih buruk. Tak ada kerelaan dari dalam diri. Tugas-tugas
pembangunan hanya berhenti sebagai tugas. Tak pernah beranjak untuk kembali
dihayati bahwa itulah kewajiban dari Allah swt. kepada manusia untuk
memakmumarkan bumi, sebagai takdir yang tak terelakkan. Maka cinta membangun
negeri merupakan sebentuk rasa syukur hamba kepada Sang Khaliknya.
2. Kalam dan Rasionalitas Kolektif
Kajian kalam yang berporos pada pembuktian
aqidah keimanan yang meyakinkan melalui dalil rasional, dan mengkritik
syubhat-syubhat yang bertentangan. Penanda pertama definisi ilmu kalam di sini
memang murni membahas al-ilâhiyyât, an-nubuwwât, al-sam’iyyât,
juga al-khilâfah (dengan tujuan tertentu). Namun, jangan dilupakan bahwa
dalam perkembangannya, wacana kalam diawali dengan pandangan secara ringkas
atas konsep-konsep yang berkaitan dengan alam semesta dan aturan-aturannya
sebagai wujud universal. Pandangan awal tersebut beroperasi seperti premis,
dalil, atau manhaj untuk masuk pada pembuktian aqidah keimanan. Karena memang
membuktikan adanya Tuhan Sang Pencipta seringkali melewati jalur-jalur rasional
dalam aturan-aturan alam semesta. Artinya, membuktikan adanya Pencipta lewat bekas
ciptaan-Nya. Ini mengharuskan untuk menemukan pola, keteraturan, dan
rasionalitas kolektif yang terjadi pada alam semesta dan kehidupan sosial.
Pola, keteraturan,
rasionalitas dalam kehidupan ini juga disebut sebagai sunnatullâh. Peradaban manusia, hukum-hukumnya,
kembang-kempisnya, megah-hancurnya, mengetahui itu semua tentu bagian dari
mengetahui sunnatullâh. Oleh Ibn Khaldun pengetahuan semacam ini disebut
sebagai ‘ilm al-‘umrân.
Indonesia yang punya
topografi kepulauan, pegunungan berapi, curah hujan tinggi, terik sinar
matahari sepanjang tahun, 2/3 wilayahnya berupa laut … variasi-variasi ini
tentu saja menumbuhkan kharakter bangsa yang bhineka. Tapi, syukurnya, dapat
disatukan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kharakter yang heterogen itu
tentu lebih membutuhkan pemahaman sunnatullâh lebih kompleks. Menekuninya
tentu saja langkah besar mengembalikan kejayaan Nusantara di dunia.
3. Maqashid Syariah dan Humanisme Hukum, Ekonomi, dan Mu’amalah
Kajian maqashid syariah dewasa
ini menjadi sangat penting mengingat kemampuannya untuk membawa pandangan
universal atas syariah. Ia seolah ringkasan atas syariah dalam pengertian
teknis. Ia juga menyediakan fleksibilitas hukum, karena melihat dari tujuan besarnya yang
ia bawa. Ia dengan begitu mampu membawa hukum syariah kepada tujuan-tujuan
hakikiya dengan proses lebih cepat. Ini
tentu saja menarik perhatian manusia modern.
Manusia modern
membutuhkan pandangan besar yang lebih bisa menjamin kepastian legal, baik
dalam bidang hukum, ekonomi, dan mu’amalah dalam interaksinya satu sama lain
juga antar kelompok. Mereka membutuhkan maqashid syariah dalam bidang-bidang
ini karena lebih bisa memberi sketsa besar yang meyakinkan, juga karena bisa
menyediakan fleksibilitas kerja yang tinggi. Seperti dapat kita rasakan dari
aturan maqashid syariah ala Asy-Syathibi dalam al-Muwâfaqât berikut:
“Bahwa maqashid dharûrîy
(primer) merupakan asal dari maqashid hâjjîy (sekunder) dan takmîlîy
(tersier); Kerusakan pada maqashid dharûrîy pasti menyebabkan kerusakan
pada maqashid hâjjîy dan takmîlîy;
Kerusakan maqashid hâjjîy dan takmîlîy belum tentu membawa
kerusakan pada maqashid dharûrîy; Kerusakan seluruh maqashid hâjjîy dan takmîlîy pasti membawa kerusakan
maqashid dharûrîy pada suatu sisi; Harus menjaga maqshid hâjjîy dan
takmîlîy untuk menjaga maqashid dharûrîy.”
Kekacauan aktivitas hukum, ekonomi,
mu’amalah, dan interaksi sosial di Indonesia bisa diminimalisir dengan
mensosialisasikan aturan maqashid syariah di atas. Ia bahkan aturan rasional
yang menembus formalitas ritual ibadah, sampai aktivitas sosial yang beragam
itu.
4. Sastra-Bahasa dan Kemesraan Sosial
Sudah tak bisa disangkal lagi bahwa sastra
dapat menghaluskan perasaan, bahwa menguasai bahasa bisa meningkatkan
kecerdasan sosial, juga ketertiban pikiran. Sastra membawa makna-makna halus
hasil dari refleksi tentang sosial dan alam, sementara bahasa menyediakan latihan keteraturan,
ketelitian dalam menyampaikan gagasan ke orang lain. Permainan sastra dan
permainan bahasa di tingkat penafsiran bahkan mampu membuka sudut-sudut pandang
yang tak terduga sebelumnya, yang mengkayakan pengalaman dan pemahaman. Di
tingkat filosofis, pendekatan bahasa bahkan menggiring untuk melukiskan
fenomena struktur-struktur kebahasaan sebagai cerminan fenomena sosial yang
terkait dengan subjek dan objek. Sehingga, sebagai sebuah cermin, ia
menyediakan jawaban atau miniatur atau kerangka dasar untuk menafsirkan
fenomena sosial. Bahasa sebagai refleksi fenomena sosial. Itulah
strukturalisme.
Aliran ini ternyata
punya titik kemiripan yang kuat dengan teori nazhm milik Abdul Qahir
al-Jurjani, penulis Dalâil al-I’jâz dan Asrâr al-Balâghah. Ia
menyatakan adanya suatu kesatuan bahasa yang merupakan inti pemahaman dan inti
keindahan. Kesatuan tersebut tidak terletak pada lafazh, sebagaimana klaim
Muktazilah. Namun berada pada kesesuaian lafazh dan makna serta ketepatan
susunan, nahwu, dengan maksud sang pembicara atau penulis. Kesatuan ini disebut
sebagai an-nazhm. Kesatuan ini sangat cair, fluktuatif, begitu mudah
disusun, dibongkar, dirakit kembali, tergantung pada pola permainan bahasa,
nahwu, lafazh, dan kesesuaian yang tengah dilakukan. Tentu saja tiap perubahan nazhm
membawa perubahan makna.
Permainan kebahasaan semacam itu tentu saja bisa menjadi referensi
menarik untuk pengembangan bahasa Indonesia yang belum mencapai kematangan
ilmiahnya. Cita rasa bahasa Indonesia, harus diakui, tak terlalu berkembang.
Sementara tuntutan perubahan sosial tak bisa dibendung lagi. Maka kemesraan
sosial sebagai efek kekayaan bahasa yang semakin meningkat bisa terus
diusahakan. Karena kesempitan kebahasaan menyebabkan kesempitan ekspresi,
mengakibatkan kesempitan kemesraan sosial.
5. Paradigma Kasb dan Kemajuan Teknologi
Teori kasb asy’arîy hingga
kini masih bisa dikembangkan lebih lanjut. Paling tidak diaplikasikan dalam
ranah-ranah yang beragam dan luas. Fleksibilitas teori ini kembali pada
posisinya yang moderat. Tidak mengklaim memiliki kuasa total dalam perbuatan (Qadariyyah),
namun juga tidak pasrah total dalam ketidak-berbuatan dengan sadar atau
terpaksa (Jabriyyah). Teori ini diekspresikan dengan ringkas dalam
kalimat: إن الإنسان مجبر في صورة الإختيار
Kalimat ringkas tersebut melukiskan
dua aspek penting. Bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan sehingga kekuasaan
dan kemampuannya pun ciptaan Allah swt. bukan ciptaan manusia secara asal.
Namun manusia diberi kemampuan untuk berbuat, yang kemudian disebut kasb.
Maka suatu perbuatan akan terjadi ketika qudrah dan irâdah
manusia berbarengan dengan dengan irâdah dan qudrah Allah swt.
atas perbuatan manusia tersebut. Kebersamaan dua entitas, yang satu lemah yang
satu Berkuasa, inilah titik paling penting ketika terjadi suatu perbuatan.
Sementara itu, di sisi yang lain,
revolusi penemuan ilmiah dan kemajuan teknologi ternyata dibuktikan oleh Thomas
Kuhn dalam The Structure of Scientific
Revolutions, berangkat dari suatu paradigma seorang ilmuwan. ia bukanlah objek total yang
berada murni di luar diri manusia sebagai subjek. Ia terpengaruh dan tergantung
juga dengan paradigma manusia yang
mengembangkannya. Atas dasar itu, paradigma ini juga hasil dari kasb manusia,
sehingga peningkatannya dan penempatan refleksinya yang tepat atasnya juga
merupakan peningkatan kualitas paradigma. Ujungnya merupakan peningkatan
kemajuan teknologi. Maka pengembangan teknologi di Indonesia harus berangkat
dari perhatian pada paradigma yang hendak dibentuk. Paradigma yang tepat tentu
saja akan meningkatkan kemajuan teknologi yang
didambakan.
Dengan uraian singkat
di atas, lengkap sudah manifesi lapangan dari pilar-pilar peradaban yang
dibahas dalam esai singkat ini. Penulis sengaja mengambilkan teori-teori klasik
Islam yang segar, sebagai hamzah washl (penghubung) masa lalu dengan
masa depan. Dengan uraian sebelumnya, ternyata kita ketahui turâts Islam masih punya elan vitalnya di dunia
kontemporer. Ia bisa direvitalisasi demi menegakkan
pilar-pilar peradaban. Dan penulis mencoba bereksperimen dengan Indonesia
sebagai semacam uji laboratorium. Jika berhasil, formula yang ditemukan akan
sangat berguna bagi kemajuan peradaban Islam dunia. Karena pada dasarnya, satu
peradaban dengan peradaban lain itu saling berinteraksi, saling memberi
sumbangsih dan pengaruh.
Semoga bermanfaat!
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :