Yuk belajar Proses Ta'aruf dengan calon istri secara Syar'i !
Ta’âruf adalah salah satu proses khithbah (melamar/meminang) dalam Islam. Ia bertujuan untuk mengetahui keadaan yang akan dilamar lebih jauh. Untuk merealisasikan hal ini, seorang khâthib (yang melamar) bisa menempuhnya dengan dua jalan[1]:
a. Tidak langsung,[2] dengan mengutus seorang wanita yang dipercaya untuk memperhatikan dan mempelajari tabiat atau sifat-sifat makhthûbah (yang dilamar) nya. Ini senada dengan Hadis yang diriwayatkan Anas bahwa Nabi mengutus Umi Salamah pada seorang wanita kemudian berkata: “Lihatlah otot tumit bagian belakang dan bauilah ‘awâridh-nya[3]”. (HR. Ahmad, Thabrani, Hakim dan Baihaqi)[4] Kelebihan cara ini adalah ketika wanita yang dipercaya memperhatikannya, penampilan makhthûbah akan jauh dari penipuan atau dibuat-buat.[5] Selain itu, ketika khâthib ternyata tidak menyukainya, maka hal ini tidak akan berdampak apa-apa bagi makhthûbah-nya.
b. Melihatnya langsung.[6] Sebelum mengajukan lamaran, khâthib disunatkan melihat makhthûbah-nya atau mengamatinya berulang kali.[7] Selain karena nikah termasuk akad kepemilikan, hal ini juga dimaksud agar tidak terjadi penyesalan setelah nikah serta sebagai jalan untuk mengetahui apa yang menarik khâthib untuk memperistrinya[8] atau sebaliknya.[9] Ini sejalan dengan Hadis Nabi Saw.. Diriwayatkan seorang laki-laki yang telah menikah dengan wanita dari golongan Anshar datang pada Rasulullah, dia bertanya:
“Apakah kamu sudah melihatnya dengan baik? Ia menjawab: tidak. Nabi berkata: pergilah dan lihat dia (istrinya) dengan seksama, karena sesungguhnya dalam pandangan mata Anshar itu ada sesuatu”. (HR. Muslim dan Nasai)[10]
Diriwayatkan juga, ketika Mughirah bin Syu’bah melamar seorang wanita, Nabi bertanya: “Apakah kamu telah melihatnya? Mugirah menjawab: ‘tidak’. Nabi berkata: lihatlah dia, karena hal itu lebih melanggengkan kasih sayang di antara kamu berdua”. (HR. Turmudzi, Nasai dan Ibnu Majah)[11]
Cara yang kedua ini bisa dilakukan baik dengan sepengetahuan makhthûbah (berhadapan langsung) dengan batasan-batasan tertentu atau dengan sembunyi-sembunyi. Diriwayatkan dari Jabir Ra., Rasul bersabda:
“Apabila salah satu dari kamu sekalian (bermaksud) melamar seorang wanita, apabila dia bisa melihatnya dengan seksama apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah. Jabir berkata: kemudian aku (bermaksud) melamar seorang gadis. Aku diam-diam melihatnya sampai aku melihat apa yang mendorongku untuk menikahinya, maka kemudian aku menikahinya”. (HR. Abu Daud)[12]
Menurut Syafi'iyah, yang terbaik dari cara ini adalah dengan sembunyi-sembunyi. Karena hal ini lebih menjaga kehormatan wanita dan keluarganya.[13] Bila setelah melihat wanita yang mau dilamarnya, ternyata khâthib tidak menyukainya, maka sejatinya dia tidak membicarakannya pada orang lain. Selain karena dapat menyakiti hati si wanita, bisa jadi apa yang tidak disukainya, ternyata disukai khâthib selainnya.[14]
Secara gamblang, batasan syariah dalam ta’âruf yang dilakukan secara langsung (bertatap muka) adalah sebagai berikut:[15]
a. Ketika melihatnya dilarang berduaan (khalwah); tanpa kehadiran mahram laki-laki makhtûbah, seperti ayah atau kakak laki-lakinya atau mahram perempuan khâthib, sekalipun makhtûbah-nya rida.[16] Hal ini karena khithbah tidak bisa merubah yang diharamkan menjadi halal.[17] Khithbah bukan akad nikah. Ia hanya sebuah janji untuk menikah. Dengan itu, makhtûbah bagi khâthib-nya masih tetap sebagai orang lain, bukan mahramnya.[18] Selain itu, karena khalwah tanpa mahram tidak bisa dijamin aman dari hal-hal yang menimbulkan penyesalan di kemudian hari bagi makhthûbah sendiri.[19] Nabi Saw. bersabda.:
“Janganlah salah satu di antara kamu berduaan dengan wanita, kecuali bersama mahramnya”. (HR. Ahmad)[20] Sabda Nabi juga: “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan wanita kecuali yang ketiganya adalah syaitan”. (HR. Ahmad)[21]
b. Melihat tanpa syahwat atau bermaksud menikmati kecantikan makhthûbah-nya.[22]
c. Tekad serta prediksi kuat bermaksud menikah.[23] Jika tidak, maka melihat di sini hukumnya haram.
d. Tidak diperbolehkan berjabat tangan atau bersentuhan kulit apapun bentuknya, seperti dengan ciuman, karena makhthûbah masih tetap sebagai orang asing, bukan mahramnya.[24] Hal ini untuk menghindari penyesalan bagi makhtubah ketika ternyata khathib-nya membatalkan lamaran.[25]
e. Lebih utama melihat wanita tersebut sebelum melamarnya. Bila melihat sesudahnya, dikhawatirkan dia membatalkan lamarannya. Hal ini tentu saja menyakiti hati makhthûbah.[26]
f. Seorang khâthib dibolehkan bertanya segala sesuatu yang ingin diketahuinya dari makhtûbah secara langsung, tentunya selama masih dalam koridor syariah. Hal ini mengingat suara wanita dalam keadaan biasa (tidak berirama), menurut pendapat paling rajih bukan termasuk bagian dari aurat.[27]
g. Tidak mesti bertemu makhthûbah berulang kali–sebagaimana yang terjadi di Mesir,[28] melebihi keperluan. Karena hal ini akan menimbulkan fitnah bagi kedua belah pihak.
h. Tidak keluar rumah tanpa mahram–sebagaimana kebiasaan kebanyakan orang, meskipun dengan alasan keduanya dipastikan akan menjadi sepasang suami istri,[29] dengan dalil Hadis riwayat Ahmad di atas. Hadis ini sekaligus membantah anggapan umum yang memandang hal ini biasa-biasa saja dan tak ada masalah. Meski 'urf (kebiasaan masayarakat) bisa menjadi pijakan dalam menerapkan hukum, tapi tentunya dengan syarat tidak bertentangan dengan teks syariah. Karena berduaan adalah haram menurut syariah, maka anggapan masyarakat terhadap hal itu biasa-biasanya saja adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan.[30] Pelarangan ini dimaksud untuk menjaga kehormatan makhthûbah. Terkadang khâthib mempercepat seseuatu yang belum halal. Pada situasi seperti ini makhthûbah terkadang tidak berdaya untuk menolak. Dengan itu, ketika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan makhthûbah-lah yang akan menanggung akibatnya. Maka tidak salah jika ada anggapan “al-khâthib khâdzib”, pelamar itu bohong.[31]
Apa batasan anggota badan yang boleh dilihat ketika khâthib memilih melihat makhthûbah-nya dengan berhadapan langsung?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Jumhur[32], khâthib hanya boleh melihat wajah dan telapak tangan saja.[33] Pertama, karena wajah dan telapak tangan tidak termasuk aurat dan biasa terbuka. Kedua, karena wajah sudah cukup menunjukkan cantik atau tidaknya fisik makhthûbah dan telapak tangan bisa menunjukkan kesuburan tubuh atau sebaliknya[34] serta kurus dan gemuknya.[35] Dengan demikian, tidak dibenarkan melihat anggota badan yang tidak biasa terbuka.[36] Wahbah Juhaili menambahkan, selain wajah dan telapak tangan, yang boleh dilihat adalah ‘postur tubuh’, karena ia menunjukkan tinggi badan atau sebaliknya.[37] Hanafiyah membolehkan melihat kedua telapak kakinya.[38] Hanabilah membolehkan melihat lebih dari wajah dan kedua telapak tangan dengan syarat tidak menimbulkan fitnah dan malu. Dengan kata lain, Hanabilah membolehkan melihat apa yang biasa terlihat ketika bekerja, yaitu enam anggota badan: wajah, pundak, tangan, telapak kaki, kepala dan betis,[39] dengan dalil keumumam Hadis Jabir di atas.
Kalau khâthib boleh melihat makhthûbah-nya, bahkan dengan seksama dan berulang kalipun tidak dilarang, apakah makhthûbah pun demikian? Para ulama sepakat, makhthûbah pun demikian; dia boleh melihat khâthib-nya,[40] tentunya dengan batasan-batasan yang disebutkan di atas. Mengenai anggota badan khâthib yang boleh dilihat, sebagian Fuqaha tidak memberikan batasan tertentu. Menurut Malikiyah yang boleh dilihat hanya wajah dan telapak tangan. Sedangkan Abdul Karim Zaidan membolehkan melihat yang biasa terlihat, yaitu wajah, kepala, pundak dan dua telapak tangan. Menurutnya, dengan melihat kepala khâthib, makhthûbah akan dengan mudah mengetahui usianya.[41]
[1] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islâmiy wa Adillatuh, vol. VI, Dâru’l Fikr, Damaskus, cet. IV, 2004, hal. 6505.
[2] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, Mughni’l Muhtâj, vol. IV, Dâru Ihyâi al-Turâtsi’l ‘Arabiy, Beirut, hal. 318. Lih. juga Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, vol. V, Dâru’l Hâdîts, Kairo, cet. IV, 2001, hal. 227.
[3] ‘Awâridh menurut Abdul Karim Zaidan adalah pinggir dan permukaan muka. Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashshal fi Ahkâmi’l Mar`ah wa Baiti’l Muslim fi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, vol. VI, Muassasah al-Risâlah, Beirut, cet. III, 2002, hal. 73. Sedang menurut Shan’ani, ‘awâridh adalah gigi-gigi yang berada di pinggir mulut, yaitu apa yang terdapat antara gigi seri dan gigi geraham. Maksud Hadis ini adalah perintah mengecek bau mulut. Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamani al-Shan’ani, Subulu al-Salâm Syarh Bulughi’l Marâm, vol. III, Dâru’l Hadîts, Kairo, cet. I, 2002, hal. 154.
[4] Yang masyhur Hadis ini termasuk Hadis mursal. Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 73.
[5] Atiyah Shaqar, Fatâwâ..wa Ahkâm li’l Mar`ah al-Muslimah, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. II, 2002, hal. 98.
[6] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6505.
[7] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 318. Tidak ada batasan syariah dalam jumlah bilangan melihatnya. Meski demikian, melihatnya tiga kali sudah cukup menghasilkan apa yang dimaksud.
[8] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, al-Mughnî wa al-Syarhu al-Kabîr ‘alâ Matan al-Muqni’ fi Fiqhi’l Imâm Ahmad bin Hanbal, vol. VII, Dâru’l Fikr, Beirut, hal. 453.
[9] Al-Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, vol. II, Dâru’l Fathi, Kairo, cet. II, 1999, hal. 314.
[10] Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, op. cit., hal. 226 dan 227. Lih. juga Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, vol. VI, Dâru’l Ma’rifah, Beirut, cet. VI, 2001, hal. 378.
[11]Muhammad Abdur Rahman Ibnu Abdur Rahim al-Mubarkafuri, Tuhfatu’l Ahwadziy, bi Syarhi Jâmi’ al-Turmudziy, vol. IV, Muassasah Qurthubah, Kairo cet. II, hal. 206. lih. juga Sunan Abi ‘AbdilLâh Muhammad Ibnu Yazîd al-Qazwîniy Ibnu Majah, vol. I, Dâr al-Bayân li al-Turâts, hal. 599.
[12] Abu Daud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats al-Sajastani Al-Azdari, Sunan Abî Dâud Syarh wa Tahqîq Duktûr al-Sayyid Muhammad Sayyid, Duktûr ‘Abdu al-Qâdir ‘Abdu al-Khair, al-Ustâdz Sayyid Ibrâhîm, vol. II, Dâru’l Hadîts, Kairo, 1999, hal. 890.
[13] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal 6607.
[14] Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 315.
[15] Abu Malik Kamal Ibnu Sayid Salim, Fiqhu’l Sunnah li’l Nisâ, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo, hal. 382.
[16] Ibid., hal. 382.
[17] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 73. lih juga. Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fatâwâ Mu’âshirah, vol I, Dâru’l Qalam, Kairo, cet. X, 2003, hal. 445.
[18] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 493. lih juga. Muhammad Mutawali al-Sya’rawiy, Fiqhu’l Mar`ah al-Muslimah, Maktabah Taufiqiyyah, Kairo, hal. 66.
[19] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nailu’l Aûthâr Syarh Muntaqâ’l Ahbâr min Ahâdits Sayyidi’l Akhyâr, vol. VI, Dâru’l Hâdits, Kairo, 2005, hal. 498. Lih. juga Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 317.
[20] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, ibid., hal. 497.
[21] Ibid., hal. 497. Lih. juga Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 72-73 dan Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 316.
[22] Abu Malik Kamal Ibnu Sayid Salim, op. cit., hal. 382.
[23] Ibid., hal. 382. Lih. juga. Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, ibid., hal. 227 dan Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 318.
[24]Abu Malik Kamal Ibnu Sayid Salim, op. cit., hal. 382. lih juga. Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, ibid., hal. 319.
[25] Atiyah Shaqar, op. cit., hal. 99.
[26] Abu Malik Kamal Ibnu Sayid Salim, op. cit., hal. 382.
[27] Ibid., hal. 382.
[28] Ibid., hal. 383.
[29] Ibid., hal. 383.
[30] Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 73.
[31] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6508.
[32] Jumhur adalah kebanyakan ulama fikih.
[33] Muwaffiqu al-Din wa Syamsyu al-Din Ibnaiy Qudamah, op. cit., hal. 454. lih juga. Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 315.
[34] Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, op. cit., hal. 227. lih juga Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 318 dan Atiyah Shaqar, op. cit., hal. 98.
[35] Prof. Dr. Wahbah al-Zu haili, op. cit., hal. 6505.
[36] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 453.
[37] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hal. 6505.
[38] Ibid., 6507.
[39] Ibid., hal. 6507. lih juga. Atiyah Shaqar, op. cit., hal. 99.
[40] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 319. lih juga Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 70, Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 315. dan Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamani al-Shan’ani, op. cit., hal. 154.
[41] Dr. Abdul Karim Zaidan, ibid., hal. 71.
Post A Comment
Tidak ada komentar :