PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Hukum Seorang Wanita Pergi Haji Tanpa Muhrim


Pertanyaan      : Saya seorang muslimah. Saya mempunyai niat ingin menunaikan ibadah Haji. Alhamdulillah, saya memiliki biaya yang cukup untuk menunaikannya. Tapi saya tidak punya muhrim yang menemani dalam perjalanan haji. Apa yang harus saya lakukan?

Jawab              : Banyak sekali Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, serta para ahli Hadis lainnya, bahwa Nabi Muhammad Saw. melarang wanita untuk berpergian tanpa muhrim. Dari Hadis-hadis itu terdapat perbedaan dalam menentukan lama waktu (mudah) dari perjalanan tersebut. Ada yang menggenalisir, ada juga yang membatasi selama satu hari satu malam, dua hari dua malam, tiga hari atau lebih.  Ada pula Hadis, yang membicarakan kriteria seorang muhrim. Apakah seorang muhrim itu adalah bapak, suami, anak laki-laki, saudara laki-laki atau muhrimnya selain mereka.. Diriwayatkan, seorang lelaki berkata bahwa istirnya ingin pergi haji, sedangkan dia sudah terdaftar untuk perang Badar, maka Rasulullah bersabda "pergi dan berhajilah bersama istrimu".

Para ulama berpendapat sesungguhnya perbedaan riwayat tersebut, sesuai dengan konteks pada waktu itu. Adapun hikmah disyaratkannya muhrim, tiada lain untuk keamanan dan kenyaman. Hal seperti ini (red: adanya seorang muhrim) sangat urgen bagi wanita. Apalagi berpergian jauh, yang diperediksi terdapat beberapa kesulitan dan bahaya. Oleh karena itu, seorang wanita muslimah tidak wajib haji, kecuali keamanan dan kenyaman dalam ibadah haji sudah terjamin.

Imam Nawawi menyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat muhrim. Abu Hanifah membolehan seorang wanita pergi haji tanpa muhrim kalau jarak Mekah dan rumahnya di bawah tiga marahil. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat, sebenarnya adanya muhrim itu bukan syarat, tapi lebih condong ke esensinya, yaitu terjaminnya rasa aman. Dan para ulama Syafi'iyah berpendapat, keamana itu akan tercipta, kalau wanita itu ditemeni suaminya, muhrim atau beberapa wanita yang terpercaya. Sebagian ulama Syafi'iyah juga berpendapat, hukum haji menjadi wajib, walaupun hanya ditemani oleh seorang wanita saja. Tapi jikalau keadan kondusif dan terjamin keamanannya, maka boleh seorang wanita muslimah pergi haji tanpa muhrim, dan masuk menjadi anggota kelompok (kloter). Dan yang masyhur adalah pendapat pertama mazhab Syafii .

Sedangkan untuk haji yang tidak bersifat wajib. Hujjatul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat, boleh pergi dengan syarat bersama para wanita yang terpercaya. Adapun menurut Jumhur Ulama, seorang wanita muslimah tidak boleh pergi haji kecuali dengan muhrim. Imam Baji berpendapat, bahwa wanita lanjut usia yang sudah tidak memiliki syahwat boleh berpergian tanpa muhrim. Tapi, pendapat ini dibantah oleh Qadhi 'Iyadh, karena walaupun sudah lanjut usia, wanita tetap memiliki syahwat.

Inti dari perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini sebenarnya lebih ditekankan pada keamana wanita sendiri. Kalau keamanan itu sudah terjamin, dengan cara apapun, maka ia boleh pergi. Seperti adanya biro-biro perjalanan haji yang menyediakan berbagai macam fasilitas. Pada zaman Umar Ra. beliau mengizinkan isitri-istri Nabi untuk pergi haji, di bawah pengawalan Usman bin Affan Ra. dan Abdurrahman bin Auf Ra. Seandainya, wanita pergi tanpa muhrim, hukum hajinya tetap jatuh, walaupun dia berdosa.

Wa’lLâhu a’lamu bi’s shawâb

(Diterjemahkan dari buku Fatâwâ wa Ahkâm li'l Marati'l Muslimah, karangan Syaikh 'Athiyah Shaqar, Maktabah Wahbah, cet 2006)

 

Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]