PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Membaca Perkembangan Dunia Sastra; Dari Polemik Sastra Hingga Arus Baru Sastra Islam.

Aisyah baru saja menyelesaikan sekolahnya pada sebuah Madrasah Aliyah Negeri. Segera ia ditanya orang tuanya, "mau melanjutkan kuliah di mana nak? Dengan penuh semangat Aisyah menjawab akan melanjutkan kuliah di Mesir. Pertanyaannya, mengapa Aisyah tiba-tiba ingin melanjutkan studinya ke Mesir? Beberapa kemungkinan yang ada, pertama, mungkin ia mengetahui bagaimana peran para alumni Timur-Tengah lebih terkhusus Mesir dalam masyarakat atau kemungkinan lain kedua, ia membaca dan mendadak berubah alur hidupnya setelah mengkhatamkan novel best seller, Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el-Saerozi yang di dalamnya memuat pernak-pernik kehidupan negeri para Nabi tersebut.

Dari sana kita mengetahui, bahwa sastra adalah semacam alat komunikasi aktif manusia dalam kehidupannya. Dalam artian, seorang sastrawan akan mengeluarkan analisa dan rekaan khayalannya untuk disalurkan kepada pembaca. Maka suatu karya sastra tak bisa dilepaskan dari latar belakang sosio-politik, bahkan worldview (cara pandang terhadap dunia) sang pengarang. Ketika ia diusung demi sesuatu, ia pun akan berbicara sesuai maksud siapa yang mengusungnya. Sebab imajinasi berperan penting terhadap kebebasan dalam berkarya. Apakah ia akan menyampaikan suatu pesan positif atau bisa jadi malah pesan yang mengajak manusia menuju liberalisasi kehidupan. Bisa ditangkap sebagai contoh, karya-karya  sastra, baik itu novel, cerpen, sajak, ataupun naskah dramatikal yang cenderung mengarah pada pembahasan seputar seks saja malah akan menyempitkan arti luas dari ranah kesusteraan itu sendiri. Pengabaian rambu moralitas dan cenderung ke arah sekuler-liberal dalam karya sastra dewasa ini terutama yang tersebar di Indonesia, baik karya-karya terjemahan maupun produk sastrawan dalam negeri tanpa sadar akan merusak generasi muda sebuah  bangsa. Tidak sampai di situ saja, mereka (gerakan neo-liberalisme) juga mengelak dengan berbagai alasan apabila hal tersebut digolongkan sebagai sastra yang akan merusak moralitas anak bangsa, bahkan mereka mengatakan mengapa kita menghimpit jalan anak bangsa dalam berekspresi. Apa tidak ada tema sastra lain yang contohlah, bisa menggugah semangat perlawanan terhadap ketidakadilan seperti tetralogi "Bumi Manusia" milik Pramoedya A. Toer.

Sejatinya Sastra


Sastra adalah manifestasi imajinasi seseorang dari suatu ruang kebudayaan ke dalam bentuk sebuah karya agar mudah untuk di baca dan dicerna. Maka sejatinya lewat kesempatan berkreasi tersebut, seseorang sastrawan dituntut mampu menempatkan produk imajinasinya pada sesuatu yang bersifat pendewasaan pemahaman manusia akan tugasnya membangun peradaban di bumi, dalam konteks Islam sebagai khalifah-Nya. Ada dua dimensi, dunia-akhirat di sana yang harus selalu dihubungkan. Sebagaimana Helvy Tiana Rosa mengatakan: “Pada hakikatnya, agama maupun sastra, bermuara pada rasa atau jiwa. Agama, misalnya, meskipun juga membahas dan menyodorkan pusparagam hukum-hukum formal, juga mengetengahkan kajian-kajian kritis tentang jiwa. Bagaimana seyogyanya manusia melakukan pembersihan terhadap hati atau jiwa pemeluknya, merupakan salah satu kajian inti agama. Sama halnya dengan karya sastra, Setiap karya sastra bisa dikatakan sebagai gelora batin penulisnya (baca: sastrawan). Jiwa para sastrawan terpanggil untuk memberikan alternasi. Jadi, agama dan sastra sama-sama mengacu pada jiwa” (Helvy: 2007). Memahami ini berarti sebuah karya sastra harus bernilai positif tapi tetap kritis, dalam artian membawa arus perubahan bagi kehidupan manusia. Entah itu kesadaran bersejarah yang baik, beragama yang baik, hingga bagaimana kita mampu berinteraksi dengan baik terhadap alam. Bukan hanya bersifat non-sens, yang disempitkan pada eksplorasi seksualitas semata dengan dalih kebebasan berkarya.

Analisa Perkembangan Sastra Dunia


Melihat perkembangannya, sastra menunjukkan kredibilitas yang tinggi pada berbagai ruang kehidupan manusia. Mukhlis Rahmanto, Lc. dalam kata pengantarnya untuk antologi cerpen "Ibuku Perawan" Lingkar Satra Papyrus PCIM Kairo menulis: “Gerak-nafas manusia tak bisa lepas dari adanya gerakan kesusteraan dan kesenian. Dan betul, tanpa sadar dan melintas geografis, dunia sastra telah hadir  mengisi hari-hari manusia. "Masnawi"-nya Rumi dan "Gulistan"-nya Hafidz, yang menjadi ciri khas timur, kini bisa dinikmati oleh seorang penumpang sebuah kereta Metro bawah tanah di London, Berlin, atau New York. Bahkan penafsir terhebat Rumi sendiri adalah Annemarie Schimmel, seorang Jerman yang notebene bukan orang timur. Naskah teatrikal Romeo-Juliet-nya Shakshepeare pun telah dipentaskan oleh hampir seluruh panggung teater di muka bumi ini. Kita di Indonesia pun dengan mudah membaca Umberto Eco, Albert  Camus (The Plague), Goethe, TS. Elliot, Paulo Coelhoe (The Alchemist), Nietsche, Gabriel Garcia Marques, Milan Kundera, Anton Chekov, Doystosky, Charles Dickens (Tale of  Two Cities), Thaha Husein, Najib Mahfouz (Nobel  Sastra 1989), Kahlil Gibran, Orhan Pamuk, Taufik Hakim (Muhammad), Abdurrahman Syarqawi, Najib Kaelani dengan "Perawan Jakarta", Nawal Sadawi dengan "Woman at Point Zero", M. Iqbal (Pesan dari Timur), Agatha Christie, Ernest Hermingway hingga karya "menggegerkan teologi kristiani" terbaru, "The Da Vinci Code" milik Dan Brown ". Jadi, lewat perantara sastra yang tersebar dan banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa itu memungkinkan adanya pertukaran kebudayaan dan pesan perdamaian dunia pun bisa disebar dan  diwujudkan.

Tak ketinggalan juga dunia (baca: Akademi Nobel Swedia) sejak tahun 1930 memberikan nobel sastra pada sastrawan dunia tiap tahunnya hingga kini. Sebuah apresiasi untuk mereka para sastrawan yang karya-karyanya banyak didedikasikan untuk kemanusiaan. Dari sini, sejarah dan perkembangan sastra dunia (baca: lima benua) bisa dilacak dengan mengamati kegiatan award for literacy ini. Isu perdamaian, konflik sosial-politik, agama, imperialisme, feminisme, dan realitas sejarah menjadi tema-tema analitik karya-karya sastra sepanjang sejarahnya. Coba lihat ketika nobel sastra 1989 jatuh pada sastrawan Mesir Najib Mahfouz. Akademi Swedia memilihnya untuk ketajaman nuansa realistik, kadang ambigu, yang dibentuk dalam seni kisahan Arab yang diaplikasikan bagi semesta kemanusiaan. Atau nobel sastra 2006 yang jatuh pada sastrawan Turki, Orhan Pamuk dengan novelnya, My Name is Red-Namaku Merah Kirmizi yang berusaha mengangkat tema persinggungan antara Barat dan Timur dan upaya rekonsialiasi keduanya lewat kisah yang dilatarbelakangi sejarah masa kejayaan Dinasti Islam Usmaniyyah. Dan Nobel sastra terakhir (2007)  diberikan pada Dorothea Lessing (Inggris) yang ia banyak mengecam George W. Bush sebagai biang keladi dunia yang tidak kunjung damai  akibat perang berkepanjangan. Baginya, sastra harus membawa pesan perdamaian dan menjauhi kekerasan, apalagi perang. Maka kehidupan manusia senantiasa tak bisa dilepaskan dari naluri kesusatraan.



Analisa Perkembangan Sastra Indonesia


Dunia sastra  Indonesia sebagai bagian dari sastra dunia yang jika ditilik muncul pada masa kerajaan Hindu-Budha, berlanjut pada Kerajaan Islam, kemudian era keemasan Balai Pustaka atau era sebelum kemerdekaan, pasca kemerdekaan (kasus Lekra PKI dengan Manikebu), era orde baru, hingga  sastra pasca reformasi merupakan sebuah cerita panjang yang menandakan adanya perkembangan kesusastraan dan kesenian di Nusantara ini dan tentu  mengalami perubahan dari masa ke masa dengan berbagai macam bentuk dan ciri khas masing-masing di setiap masanya. Sederetan nama besar beserta karyanya dalam kancah kesusastraan Indonesia antara lain: Pujangga Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Chairil Anwar, Amir Hamzah, Pramoedya Ananta Toer (Tetralogi Bumi Manusia, yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa. Karya ini juga menjadi kandidat Nobel Sastra), SH. Mintardja, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bahri, Sapardi Djoko Damono, Akhadiyat Kartadiharja (Atheis), AA Navis (Robohnya Surau Kami), HAMKA (Tenggelamnya Kapal Vanderwijk), Danarto (Abracadabra), WS. Rendra, Emha Ainun Nadjib, Putu Wijaya, A. Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), Kuntowijoyo (Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dan Mantra Penjinak Ular), Mbak  Helvy (Ketika Mas Gagah Pergi), Ayu Lestari (Saman dan Larung), Dewi Lestari (Supernova), dan karya terbaru yang memang novel "pembangun jiwa" milik Habiburrahman el-Saerozi (Ayat-Ayat Cinta). Hingga anak-anak muda pun setelah populernya film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) mulai memburu, mana sih "Aku-nya Chairil Anwar" milik Sumandjaya yang hingga penggal bait sajaknya dihafal oleh sang tokoh "Rangga" dan "Cinta" itu? Maka sastra adalah sebuah gelombang.

Sejarah telah mencatat dan menjelaskan pada kita tentang perkembangan sastra  Indonesia dengan berbagai pola perubahannya sekaligus menunjukkan gaya yang dipakai oleh sastrawan masa itu. Ketika era perang kemerdekaan, sastra pun identik dengan semangat perjuangan. Seperti sajak Karawang-Bekasi-nya Chairil Anwar.  Tentang wacana sastra pra dan pasca kemerdekaan, Udo Yamin, Lc. sastrawan yang juga pengarang buku Qur'anic Emotional ini  mengatakan: “Sastra era Balai Pustaka atau pasca kemerdekaan banyak diwarnai oleh bahasa melayu dan lebih menggunakan simbol-simbol (bentuk dan ciri khas suatu tempat yang diceritakan), berlanjut pada sastra zaman Lekra (lembaga Kebudayaan, red) PKI  yang di pegang oleh PKI yang lebih condong berbau pada kekuasaan dengan teater-teater yang dipentaskan yang mau tak mau akan dan harus seiring dengan ideologi mereka”. Begitupun ketika masa-masa rezim orde baru tumbang, sastra juga identik dengan perlawanan terhadap ketidakadilan. Maka munculah sajak "Presiden Takut pada Mahasiswa" milik Taufik Ismail.

Kesusastraan Indonesia juga mencatat akan berbagai polemik kesustraan yang muncul antar sastrawan yang juga sebagai bagian dari kritik sastra, seperti saat para sastrawan yang anti PKI menandatangai Manikebu (Manifestasi Kebudayaan) tahun 1966. Tentang polemik sastra yang berkembang dewasa ini di Indonesia, Usep Romli HM (2007) menjelaskan: “Di satu pihak, ada yang mencoba mempertahankan nilai-nilai norma etika dalam berestetika. Di pihak lain, memforsir segala daya upaya untuk merobohkan norma-norma etika itu. Kelompok terakhir yang memang sangat dominan karena didukung publikasi media massa dan penerbitan yang kuat, menganggap estetika adalah estetika saja. Tanpa perlu etika. Karena kebebasan berekspresi yang masih menganut etika, dianggap tidak bebas lagi. Bukan ekspresi murni lagi. Melainkan ekspresi semu hasil “penjajahan” norma-norma etika yang selalu kuno, primitif, beku, jumud, terbelakang, dsb”.

Polemik tersebut kini berlanjut antara dua orang sastrawan yang cukup terkenal antara Penyair Taufik Ismail (angkatan 66) dan Hudan Hidayat seputar tema Sastra Mazhab Selangkangan (SMS) yang menurut penuturan Taufik Ismail dalam pidato kebudayaannya di Akademi Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 20/10/2006 lalu yang berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka”, menyebut kelompok sastrawan pemuja kebebasan berekspresi itu sebagai “Gerakan Syahwat Merdeka”. Menurut Taufik, karya mereka dikategorikan sebagai “Sastra Mazhab Selangkangan” (SMS), atau “Fiksi Alat Kelamin” (FAK), yang mengandung faham neo-liberalisme. Bahaya karya-karya mereka, sejajar dengan bahaya narkoba, VCD porno, TV mesum, foto-foto cabul di internet, dan semacamnya. Fenomena ini juga menandai kemunculan arus neo-liberalisme yang salah satunya dinilai bersumber dari TUK (Teater Utan Kayu). Hudan Hidayat pun berbalik mengkritik dengan mengatakan: “Dalam upayanya meredam filsafat dan ideologi penciptaan yang saya ajukan, yakni keyakinan saya bahwa penceritaan ketelanjangan  dibolehkan oleh kitab suci, dan kitab suci pun telah  mendemonstrasikannya melalui kisah Adam dan Hawa, Taufik Ismail melancarkan serangan balik dengan menggesernya ke dalam sebuah upaya stigma akan tendensi sastra: sastra SMS (sastra mazhab selangkangan) atau sastra FAK --fiksi alat kelamin-- (Jawa Pos, 17 Juni 2007). Inilah upaya yang mengingatkan saya akan cara-cara Lekra menggempur lawan-lawannya dulu, dengan menyebut mereka "Manikebu".  Menurut Udo Yamin, Lc.: “Adanya SMS atau FAK ini, merupakan ekses dari  reformasi dengan kebebasannya yang tanpa batas, yang tidak dipahami maknanya bagi mereka yang tidak mau memahaminya. Sehingga bermunculnya sastra-sastra yang tanpa batas atau bisa kita sebut dengan sastra liberal yang akan berujung pada kehancuran peradaban anak bangsa dan budaya bangsa sendiri, walaupun sebelum zaman pasca reformasi sendiri sudah ada sastra yang berbau liberal atau kebebasan”.

Sekarang timbul pertanyaan di kepala kita, adakah sastra Islami itu? Meski penggunaan istilah sastra Islami itu sampai saat sekarang ini masih menuai diskursus antar sastrawan, atau ada yang tidak menerima dengan menggunakan label dan istilah sastra Islami ini. Namun yang jelas Jaringan Islam Liberal (JIL) yang merupakan bagian dari Komunitas Utan Kayu (KUK) mengatakan bahwasanya Islam itu sendiri tidak memiliki sastra, akan tetapi hanya terpengaruh pada sastra-sastra Arab sebelum Islam datang. “Sebenarnya sastra yang mengandung pendidikan, peradaban  dan kemajuan itu adalah sastra Islam” ujar Udo Yamin, Lc. menegaskan. Karena itulah yang diajarkan dan dituntut oleh Islam sendiri.  Bahkan dalam Qur’an disebutkan tepatnya pada surat Asy-syuara' ayat 224-227, yang di dalamnya dapat kita pahami bahwasanya sastra itu juga terbagi pada dua kelompok, ada yang baik dan ada yang buruk.

Sastra Islam sama halnya dengan sastra-sastra yang lain, juga mengalami perubahan dan perkembangan. Bentuk sastra Islam pada awalnya yang berbentuk kaku dan menggurui sehingga cepat membosankan menjadi agak inklusif dengan munculnya Forum Lingkar Pena  (FLP) tahun 1997 yang di pelopori oleh majalah Annida, Lingkar Sastra Papyrus PCIM Kairo, dan masih banyak lagi lembaga-lembaga kesusastraan yang bernuansakan keislaman lainnya yang memberi pilihan alur sastra lain bagi generasi muda yang tengah diserbu arus gelombang sastra semacam SMS, sebagaimana kasus  di atas. Di saat-saat sastra berhaluan liberal sebagai bagian dari neo-liberalisme yang merambah kesusastraan Indonesia, maka untuk menyelamatkan anak bangsa dan peradaban bangsa dari kehancuran, setidaknya lembaga-lembaga ini  akan membawa arus alternatif dan gelombang penyadaran bagi masyarakat akan sumbangsih  besar dunia sastra bagi sebuah peradaban yang dicitakan.

Di sisi lain, saat ini dunia sastra Indonesia banyak dihipotesakan terjadi krisis dan kemunduran sastra, terutama sekali berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Coba anda bandingkan materi kesusatraan SMU zaman kolonialisme Belanda yang mewajibkan murid-murid ketika itu membaca sekitar 4-5 karya sastra (novel, puisi, dll ) dengan materi sastra SMU zaman sekarang di mana tidak didapati satu karyapun yang wajib untuk dibaca. Udo Yamin, Lc. menyebutkan beberapa penyebab dari adanya fenomena miris tersebut di antaranya:

Faktor guru yang kurang bisa menyampaikan dan menjelaskan materi tentang sastra

1.     Faktor kurangnya minat baca baik dari murid sendiri ataupun guru

2.     Kurangnya bacaan sastra, bahkan tidak terdapatnya bacaan sastra terutama di daerah-daerah yang bahkan pustaka sekolah pun tidak memilikinya

3.     Kurangnya faktor dan fasilitas yang mendukung

4.     Paradigma bahwasanya bahasa dan sastra Indonesia tidak perlu dipelajari.

Lalu karya sastra yang baik itu yang bagaimana?

Sebuah pertanyaan yang bisa mendatangkan beratus-ratus jawaban. Akan tapi minimal ada sebuah jawaban yang bisa menjadi penjelasan dan pegangan awal. Menjelaskan bagaimana karakteristik sebuah karya sastra yang dinilai baik, maka menurut Mukhlis Rahmanto, Lc.: “Karya sastra yang baik akan terlihat dari  bisa tidaknya sastra tersebut membangun, mengarahkan, menyemangati, mencerahkan, serta membawa pengaruh dan perubahan pembacanya ke arah yang positif. Sebab baik adalah positif itu sendiri.  Sebuah karya sastra pasti akan dibaca dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Dari sinilah nilai-nilai ataupun realitas yang berserakan di seluruh penjuru bagian bumi akan di-review oleh mereka para sastrawan kemudian  diakulturasikan sehingga toleransi yang berujung pada perdamaian dunia bisa diwujudkan".   Juga menjadi catatan, di sini sastra berperan penting untuk merubah pola pikir manusia atau malah sebuah peradaban dan itu tergantung pada para sastrawan dengan karya-karya mereka, bernilai positif atau negatifkah? Maka Ketika muncul gerakan restorasi Meiji di Jepang, pemerintah Jepang meminta para sastrawannya untuk menghasilkan bermacam karya sastra yang mengarah kepada pengobaran semangat rakyat Jepang untuk mencapai kemajuan. Dan mereka berhasil. Maka betul kata Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa.

Walhasil, hendaknya karya sastra bersifat membangun, menyemangati serta menimbulkan daya tarik kepada seseorang untuk melakukan sesuatu hal yang positif termasuk di dalamnya  perubahan selepas membaca karya itu. Bukan karya yang hanya mengusung materi dan hawa nafsu belaka dengan tidak melihat efek buruk yang ditimbulkannya.

Wa’lLâhu a’lam bi al-shawâb.

Laporan utama

Tim Laput: Darul Kutni, Syukri al Fauzi, Nurul Fathonah.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]