Istisyârah, Bolehnya mengetahui kebaikan dan keburukan calon istri/suami
Langkah selanjutnya adalah istisyarâh (meminta nasihat atau konsultasi) dari pihak pelamar atau pihak yang dilamar pada pihak ketiga. Dalam kondisi seperti ini, pihak ketiga (mustasyâr[1]) wajib memberitahukan kekurangan dan kelebihan kedua calon mempelai; tidak boleh ada yang disembunyikan. Pembicaraan dalam rangka istisyârah dengan tema mewujudkan rumah tangga ini tidak termasuk menggunjing yang diharamkan, bahkan ia merupakan nasihat yang diwajibkan,[2] sebagaimana Hadis Fatimah binti Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jaham, dia berkonsultasi pada Rasul, Rasul berkata:
“Adapun Abu Jaham ia tidak menyimpan tongkatnya dari pundaknya (ringan tangan). Sedang Mu’awiyah dia orang yang sangat miskin, tidak punya apa-apa. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid”. (HR. Abu Daud dan Nasai)[3] Ini adalah isytisyârah perempuan tentang laki-laki. Sedang istisyârah laki-laki tentang perempuan sebagaimana Hadis laki-laki yang menikahi wanita Anshar di atas tadi.[4]
a. Istikhârah (Meminta Petunjuk Allah Swt.)
Sebelum mengajukan lamaran (bagi khâthib) atau sebelum menerima lamaran (bagi makhtûbah) disunatkan salat istikhârah.[5] Jika dalam memutuskan hal yang biasa saja baik itu sudah jelas kebaikannya ataupun tidak disunatkan salat istikharah,[6] maka salat untuk memutuskan hal yang sangat urgen seperti nikah lebih disunatkan. Hadis Jabir, dia berkata:
`“Nabi mengajarkan kami istikhârah dalam (memutuskan) segala sesuatu seperti mengajarkan (kami) surat al-Qur’an. Rasul bersabda: Apabila salah satu kamu sekalian bermaksud (memutuskan) satu perkara maka ruku’lah (salatlah) dua rakaat selain (salat) fardlu, kemudian membaca:
“Ya, Allah! Dengan ilmu-Mu aku meminta petunjuk. Dengan kekuasaan-Mu aku meminta kekuatan. Aku meminta karunia-Mu yang agung, karena Engkau berkuasa sedang aku tak mampu. Engkau tahu sedang aku tak tahu. Engkau Maha mengetahui segala yang gaib. Ya, Allah! kalau Engkau pandang hal ini lebih baik bagiku; bagi agama, kehidupan dan akibat urusanku (akhiratku) –atau membaca: bagi urusan dunia dan akhiratku, maka jadikan itu ketentuanku, mudahkanlah serta berkatilah hal itu bagiku. Jika Engkau pandang hal ini buruk bagiku; bagi agama, kehidupan dan akibat urusanku –atau membaca: bagi perkara dunia dan akhiratku, maka jauhkanlah hal itu dariku dan jauhkan aku darinya serta berikanlah ketentuan yang baik bagiku apapun adanya dan ridlailah aku dengan hal itu. Dia berkata: kemudian menyebutkan apa keperluannya”. (HR. Jamaah kecuali Muslim)[7]
Hadis Anas tentang Zainab binti Jahsyin, dia berkata: “Ketika idah Zainab habis, Nabi berkata pada Zaid: katakan padanya atasku (khitbah dia untukku). Kemudian Zaid pergi menemui Zainab… kemudian aku (Zaid) berkata: wahai Zainab Rasul mengutus(ku) menyebutmu (melamarmu). Zainab berkata: aku tidak bisa berbuat apa-apa sehingga aku meminta pentunjuk Tuhanku. Kemudian Zainab pergi ke mesjidnya (tempat salatnya). Kemudian turun (ayat) al-Qur’an. Selanjutnya Rasul masuk (rumah) Zainab tanpa izin (karena Allah telah menikahkannya dengan ayat tadi)”. (HR. Muslim)[8]
Dianjurkan mengulang-ngulang doa di atas, baik itu sesudah salat sunat seperti tahiyat masjid, sunat sebelum subuh dan yang lainnya.[9] Yang perlu diperhatikan dalam istikhârah adalah keikhlasan hati, hanya karena-Nya.[10] Selain itu, mimpi, kelapangan dan yang lainnya bukan sebuah kemestian dalam istikhârah. Yang lebih penting adalah usaha yang dilakukan untuk selalu mengingat Allah demi ketenangan hati. Jika setelah itu terjadi sesuatu di luar dugaan, baik yang diharapkan maupun tidak. Semuanya adalah kehendak Allah. Insya Allah itu adalah yang terbaik bagi hamba-Nya, karena tugas manusia hanya rida dengan ketentuan-Nya.[11]
---------------
[1]Mustasyâr adalah seseorang yang dimintai keterangan tentang pelamar atau yang dilamar. Dalam hal ini, tentu saja ia mengetahui dengan pasti keadaan keduanya. Biasanya bukan keluarga pihak laki-laki ataupun pihak perempuan.
[2] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 334. lih juga Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 59.
[3]Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 385.
[4] Ibid., hal. 385.
[5] Ibid., hal. 383. Lih. juga, Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 61.
[6] Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 248.
[7] Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 388-389.
[8] Ibid., hal. 388. Lih. juga, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, op. cit., hal. 243-244. Ini lafal Bukhari.
[9]Abu Malik Kamal Ibnu Sayid Salim, op. cit., hal. 383.
[10] Ibid., hal 384.
[11] Ibid., hal. 384.
“Adapun Abu Jaham ia tidak menyimpan tongkatnya dari pundaknya (ringan tangan). Sedang Mu’awiyah dia orang yang sangat miskin, tidak punya apa-apa. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid”. (HR. Abu Daud dan Nasai)[3] Ini adalah isytisyârah perempuan tentang laki-laki. Sedang istisyârah laki-laki tentang perempuan sebagaimana Hadis laki-laki yang menikahi wanita Anshar di atas tadi.[4]
a. Istikhârah (Meminta Petunjuk Allah Swt.)
Sebelum mengajukan lamaran (bagi khâthib) atau sebelum menerima lamaran (bagi makhtûbah) disunatkan salat istikhârah.[5] Jika dalam memutuskan hal yang biasa saja baik itu sudah jelas kebaikannya ataupun tidak disunatkan salat istikharah,[6] maka salat untuk memutuskan hal yang sangat urgen seperti nikah lebih disunatkan. Hadis Jabir, dia berkata:
`“Nabi mengajarkan kami istikhârah dalam (memutuskan) segala sesuatu seperti mengajarkan (kami) surat al-Qur’an. Rasul bersabda: Apabila salah satu kamu sekalian bermaksud (memutuskan) satu perkara maka ruku’lah (salatlah) dua rakaat selain (salat) fardlu, kemudian membaca:
“Ya, Allah! Dengan ilmu-Mu aku meminta petunjuk. Dengan kekuasaan-Mu aku meminta kekuatan. Aku meminta karunia-Mu yang agung, karena Engkau berkuasa sedang aku tak mampu. Engkau tahu sedang aku tak tahu. Engkau Maha mengetahui segala yang gaib. Ya, Allah! kalau Engkau pandang hal ini lebih baik bagiku; bagi agama, kehidupan dan akibat urusanku (akhiratku) –atau membaca: bagi urusan dunia dan akhiratku, maka jadikan itu ketentuanku, mudahkanlah serta berkatilah hal itu bagiku. Jika Engkau pandang hal ini buruk bagiku; bagi agama, kehidupan dan akibat urusanku –atau membaca: bagi perkara dunia dan akhiratku, maka jauhkanlah hal itu dariku dan jauhkan aku darinya serta berikanlah ketentuan yang baik bagiku apapun adanya dan ridlailah aku dengan hal itu. Dia berkata: kemudian menyebutkan apa keperluannya”. (HR. Jamaah kecuali Muslim)[7]
Hadis Anas tentang Zainab binti Jahsyin, dia berkata: “Ketika idah Zainab habis, Nabi berkata pada Zaid: katakan padanya atasku (khitbah dia untukku). Kemudian Zaid pergi menemui Zainab… kemudian aku (Zaid) berkata: wahai Zainab Rasul mengutus(ku) menyebutmu (melamarmu). Zainab berkata: aku tidak bisa berbuat apa-apa sehingga aku meminta pentunjuk Tuhanku. Kemudian Zainab pergi ke mesjidnya (tempat salatnya). Kemudian turun (ayat) al-Qur’an. Selanjutnya Rasul masuk (rumah) Zainab tanpa izin (karena Allah telah menikahkannya dengan ayat tadi)”. (HR. Muslim)[8]
Dianjurkan mengulang-ngulang doa di atas, baik itu sesudah salat sunat seperti tahiyat masjid, sunat sebelum subuh dan yang lainnya.[9] Yang perlu diperhatikan dalam istikhârah adalah keikhlasan hati, hanya karena-Nya.[10] Selain itu, mimpi, kelapangan dan yang lainnya bukan sebuah kemestian dalam istikhârah. Yang lebih penting adalah usaha yang dilakukan untuk selalu mengingat Allah demi ketenangan hati. Jika setelah itu terjadi sesuatu di luar dugaan, baik yang diharapkan maupun tidak. Semuanya adalah kehendak Allah. Insya Allah itu adalah yang terbaik bagi hamba-Nya, karena tugas manusia hanya rida dengan ketentuan-Nya.[11]
---------------
[1]Mustasyâr adalah seseorang yang dimintai keterangan tentang pelamar atau yang dilamar. Dalam hal ini, tentu saja ia mengetahui dengan pasti keadaan keduanya. Biasanya bukan keluarga pihak laki-laki ataupun pihak perempuan.
[2] Muhammad bin Muhammad al-Syarbini, op. cit., hal. 334. lih juga Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 59.
[3]Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 385.
[4] Ibid., hal. 385.
[5] Ibid., hal. 383. Lih. juga, Dr. Abdul Karim Zaidan, op. cit., hal. 61.
[6] Sahih Muslim bi Syarhi al-Nawawiy, op. cit., hal. 248.
[7] Sunanu al-Nasâiy bi Syarhi’l Hâfizh Jalâluddin al-Suyûthiy wa Hâsyiyatu’l Imâm al-Sindiy, op. cit., hal. 388-389.
[8] Ibid., hal. 388. Lih. juga, Sahih Muslim bi Syarhi al- Nawawiy, op. cit., hal. 243-244. Ini lafal Bukhari.
[9]Abu Malik Kamal Ibnu Sayid Salim, op. cit., hal. 383.
[10] Ibid., hal 384.
[11] Ibid., hal. 384.
Post A Comment
Tidak ada komentar :