Penentuan Awal Bulan Kamariah (Seri III)
Bersatu dalam Perbedaan
Sebentar lagi kita akan memasuki bulan ramadan, bulan yang dinanti seluruh umat Islam, karena keberkahan dan kesakralannya. Umat Islam di setiap negara sering kali mempunyai ciri khas tersendiri dalam menyambutnya, tak terkecuali dengan umat Islam Indonesia. Ada satu hal unik menjelang ramadan dari negara berpenduduk muslim terbesar didunia ini, yang sayangnya berkonotasi negatif, yaitu perbedaan awal ramadan.
Entah siapa yang memulai, hampir setiap tahun kita akan berbusa-busa adu dalil dan argumentasi untuk menguatkan pendapat yang kita yakini dalam hal ini. Khususnya di era sosial media seperti sekarang ini. Memang tahun ini tidak begitu terdengar, karena kalah laku dengan hajatan pilpres dan piala dunia. Hanya para pakar dan pemerhati ilmu falak-astronomi saja yang masih memperhatikan permasalahan ini.
Tiga Level Pembahasan
Menurut hemat penulis, ada tiga level pembahasan yang harus ditempuh oleh setiap orang yang ingin meneliti masalah ini; pertama tentang kesyariahan rukyat,kedua tentang kesyariahan dan validitas hisab, dan ketiga tentang taat kepada ulil amri.
Seluruh ulama berijmak tentang hal pertama, kesyariahan rukyat. Bagaimana tidak, nas hadis Nabi dengan amat sangat jelas menyebutnya. Kita sebagai awam, tentu akan mengikutikata ulama bukan?
Adapun tentang hal kedua, yaitu posisi hisab dalam fikih, mayoritas ulama melarangnya untuk digunakan sebagai tolok ukur penentuan awal bulan kamariah. Sebagian lagi membolehkannya, seperti Ibnu Subki dari kalangan ulama syafiiyah, yaitu jika memang tidak dapat ditempuh dengan rukyat. Hal itu bisa kembali kepada kukuhnya ulama kita memegang zahir nas yang ada, atau karena belum validnya keputusan hisab, atau kembali kepada masih tercampurnya ilmu astronomi dan astrologi (perdukunan) di zaman itu. Setelah keputusan semakin valid dan dapat dipertanggungjawabkan, banyak ulama yang mendukung dan melegalkannya untuk menentukan awal bulan kamariah, khususnya ulama kontemporer. Sebut saja syekh Ahmad Syakir, syekh Mustofa Zarqa’, hingga syekh Yusuf Qaradawi.
Menurut hemat penulis, jalan tengah dari perdebatan dalam penggunaan hisab dan rukyat dalam penentuan awal bulan kamariah adalah seperti yang ditempuh dan dijalani oleh Dar el-Ifta’ el-Mishriyyah (MUI nya Mesir) terkait hal ini. Yaitu bahwa hisab dapat menafikan (memustahilkan) rukyat (dan hasilnya), tapi tidak dapat menentukan masuknya bulan baru. Maksudnya adalah bahwa hisab dapat menjadi tolok ukur untuk menolak semua hasil rukyat yang ada, jika perhitungan ilmu falak menunjukkan bahwa hilal masih di bawah ufuk. Dan sebaliknya, jika perhitungan hisab menunjukkan bahwa hilal sudah di atas ufuk dan mungkin untuk dilihat, maka hisab tak dapat menjadi satu-satunya tolok ukur masuknya bulan baru. Ia masih tetap membutuhkan rukyat untuk melegalkan keputusan masuknya awal bulan.
Taat Ulil Amri
Level pembahasan terakhir adalah taat kepada ulil amri. Idealnya, semua kelompok Islam harus ikhlas mengikuti apa yang ditetapkan oleh pemerintah dalam penentuan awal ramadan. Karena diakui atau tidak, ada hal yang lebih penting dari benar-tidaknya argumen kedua kubu yang berseteru, yaitu persatuan. Ada satu kaidah fikih yang sangat relevan dengan hal ini; hukmul hakim yarfa’ul khilaf (penetapan hukum oleh seorang hakim akan menghilangkan perbedaan).
Maka jika pemerintah sudah memutuskan untuk mengambil satu ketetapan terkait hal ini, sudah seharusnya semua kelompok Islam dapat mengikutinya. Yang paling disayangkan adalah perdebatan ini dipelopori oleh dua ormas Islam terbesar negeri ini. Memang ada beberapa kelompok kecil yang mempunyai kriteria tersendiri, tetapi massa mereka tak banyak, bukan mayoritas. Walaupun penting juga untuk diingatkan untuk menertibkan diri, dan mengikuti keputusan pemerintah.
Satu dalam Beda
Sering sekali muncul apologi saat kita tidak bisa memulai awal ramadan bersama bahwa kita tetap bisa saling menghargai dalam perbedaan. Pertanyaanya, apakah sampai segitu saja level kita? Kapan kita mau naik tingkat untuk bisa bersatu dalam hal ini? Untuk kita ketahui, Indonesia adalah satu-satunya negara muslim yang ‘bisa’ berbeda dalam penentuan ramadandan dua hari raya. Unik sekaligus ironis. Padahal negara muslim lainnya tidak kalah banyak kelompoknya, toh mereka bisa bersatu dalam hal ini. Sama-sama menghormati otoritas pemerintah dalam menentukan awal ramadan.
Sudah waktunya kita sikapi perbedaan pendapat dengan mengedepankan hal yang lebih penting, first thing first. Tidak malah nesu-nesunan, tapi juga tidak boleh gagah-gagahan. Gagah-gagahan jika salah satu dari kelompoknya sedang ‘memimpin’ otoritas, sehingga mengebiri pihak lain yang berbeda pendapat. Tapi juga tidak lantas nesu dan ngambek saat merasa dikucilkan, dengan tidak mau mengikuti keputusan pemerintah. Jangan-jangan banyak ulama Indonesia dalam permasalahan ini sedang melakukan ‘ijtihad gensi’, bukan ‘ijtihad murni’. Walhasil, umatnya jadi korban. Bingung sendiri. Karena para panutannya sedang memikirkan diri sendiri, ingin menang sendiri.
Pada akhirnya, kuncinya adalah bersepakat dalam kriteria. Tentu hal itu dapat didiskusikan lebih lanjut oleh para pakar dan cendekia yang punya ilmu tentang falak dan astronomi. Diskusi tersebut hendaknya secepatnya mengkongkritkan hasil yang dituju, tidak berlarut-larut, selalu tenggelam dalam gengsi, gengsi kelompok maupun pribadi. Diskusi juga seyogyanya tidak menjadi penghalang untuk bersatu dalam mengikuti keputusan pemerintah, agar syiar persatuan umat lebih terasa gaungnya.
Mari kita lekas move on dari hanya sekedar “menghormati dalam perbedaan”, untuk menuju kepada “bersatu dalam perbedaan”. Walaupun masih berbeda pendapat, kita harus tetap bersatu dan bersama dalam momentum sakral ini.
Wallahu A'lam bi al-Shawwab
Cairo 23/6/2014.
Labels
AFDA Astronomi
Post A Comment
Tidak ada komentar :