PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Perkembangan Pemikiran dan Aliran Politik dalam Islam

Rasulullah Saw. bersabda: "Sungguh, akan terlepas aturan dan syiar Islam ('ura al-Islâm) sehelai demi sehelai. Ketika terlepas suatu aturan, manusia akan bergantung pada aturan berikutnya. Awal dari ’ura al-Islam tersebut adalah hukum/pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat". (HR Ahmad)     
Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Pengalaman sejarah yang dialaminya jauh lebih banyak dibandingkan dengan agama yang lain. Pasalnya, Islam telah bersentuhan dengan dunia politik semenjak pendirinya Nabi Muhammad Saw. masih hidup, sedangkan Kristen baru bersentuhan dengannya ketika Konstantin (kaisar Romawi) ingin mengadopsi agama tersebut sebagai agama resmi negara. Ketika Revolusi Prancis terjadi, agama Kristen relatif telah selesai membahas hubungan antara lembaga keagamaan (gereja) dengan lembaga pemerintahan (negara). Keputusan final yang diambil adalah bahwa gereja harus terpisah dari negara. Sedangkan umat Islam, sampai hari ini masih sibuk bergumul pada sebuah diskursus mengenai relasi antara Islam dan negara. Sehingga yang terjadi umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan dalam menyikapi permasalahan ini.
Kalau kita menengok sejarah, pada zamannya, Nabi membentuk sebuah masyarakat yang diyakini bukan hanya komunitas agama an sich, tapi beliau juga membentuk komunitas politik. Nabi berhasil menyatukan berbagai komunitas kesukuan dalam Islam. Di Madinah, tempat hijrah Nabi, beliau berhasil menyatukan komunitas sosial antara kaum Anshâr dan kaum Muhâjirîn. Lebih dari itu, di Madinah, Nabi juga berhasil mengatur kehidupan kaum muslim, Nasrani, serta Yahudi dalam komunitas “Negara Madinah” atau “masyarakat Madinah”.
Komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah inilah yang belakangan acap kali dirujuk oleh para pemikir muslim -baik yang beraliran liberal maupun yang fundamental- sebagai masyarakat Islam ideal. Pemikir liberal lebih suka menyebut komunitas yang dibentuk Nabi di Madinah sebagai “masyarakat madani”, sedangkan mereka yang fundamentalis lebih nyaman menyebut “Negara Madinah”.

Awal Perpecahan.
            Bermula ketika terbunuhnya Khalifah 'Utsman ibn 'Affan. Seluruh negeri Muslim dilanda perpecahan. Di Madinah kubu 'Ali ibn Abi Thalib terkonsentrasi, di Syam kubu Mu'wiyah ibn Abi Sufyan hendak menuntut balas kemangkatan 'Utsman, dan Di Makkah Thalhah, Zubair dan 'Aisyah Radiyallahu 'Anhuma juga hendak menuntut balas. Pertikaian tersebut akhirnya melahirkan beberapa aliran politik "turats".  
Sedikitnya Aliran politik Islam ketika itu terbagi menjadi tiga golongan: Pertama: Ahlu Sunnah adalah mereka yang tidak terjun dalam kancah pertikaian dan berkeyakinan tentang eksistensi khilafah walaupun pengangkatanya dilakukan dengan sistem kerajaan. Bagi mereka, bai'ah merupakan suatu sistem dasar dalam kepemimpinan umat. Kedua: Syi'ah, golongan yang mencintai Ahlu’l Bait (Ali dan keturunanya). Walaupun pada hakekatnya pemahaman (intrepretasi) tersebut keliru, karena Ahlu’l Bait sebenarnya tidak hanya terbatas pada 'Ali serta keturunannya saja. Namun mereka berkeyakinan bahwa yang disebut ahlul bait adalah Sayidina Ali dan ketrunan-ketruannya. Dari sinilah mereka akhirnya “mendeklarasikan” diri, bahwa hanya ahlu’l bait sajalah yang berhak menjadi khalîfah. Golongan politik yang ketiga adalah: Khawarij, sempalan pendukung 'Ali yang kecewa dengan keputusan "Tahkim". Mereka berpegang pada dalil al-Quran "Lâ hukma illa lilLâh”. Mereka adalah golongan yang meyakini terbentuknya khilafah bukanlah suatu keharusan, yang penting adalah berlakunya hukum syari'at di tengah masyarakat.

Aliran Pemikiran Politik Islam Pasca Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah.
Keragaman khazanah pemikiran politik Islam, saat ini bisa dikatakan masih bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Beberapa kalangan menyebut pemikiran para pemikir muslim yang menginginkan pemisahan Islam dan politik sebagai “dekonstruksidan pemikir yang menghendaki penyatuan Islam dan politik mengusung paham “integralisme”, sedangkan para pemikir yang meyakini bahwa ajaran Islam mencerminkan kaidah-kaidah dasar pemerintahan tetapi tidak menawarkan konsep bernegara yang baku seperti khilafah berada sebagai pemikir “moderat”.
Sebenarnya tiga kubu pemikiran di atas merupakan sebuah refleksi umat Islam di saat Barat mencapai kejayaanya sedangkan Islam di saat yang sama sedang mengalami titik nadir kekacauanya dengan terhapusnya kekhalifahan di Turki dari peta dunia. Aliran dekonstruksi beranggapan bahwa Agama dan Negara harus terpisah, juga Islam hanyalah agama murni, apabila menariknya dalam pemerintahan dianggap telah menodai kemurniannya. Diantara tokoh- tokohnya ialah Ali Abd Raziq yang mengarang buku Islâm Wa Ushûlu’l Hukm, Dr. Thaha Husain (pemikir liberal Arab) serta Muhammad Abduh.
Di dalam buku Islâm Wa Ushûlu’l Hukm yang terbit tahun 1925, persis setahun setelah hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki, dengan jelas Raziq menunjukkan tidak ada dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya mendirikan khilafah di dalam Islam. Raziq menggunakan ayat-ayat tertentu untuk membuktikan bahwa Rasulullah tidak mempunyai kewajiban selain mengemban risalah. (Islâm Wa Ushulu’l Hukm, hal. 72). Dengan perkataan lain, tugas Rasul itu tidak berkaitan dengan misi politik atau kekuasaan.
Dalil al-Quran
Banyak juga ayat al-Quran yang intinya menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. diutus bukan sebagai hâfidz (pengawal/penjaga), (QS an-Nisâ [4]: 80), wâkil (pengurus), (QS al-An’aam [6]: 66), jabbâr (kekuasaan yang sanggup memaksakan), (QS. Qâf [50]: 45), dan musaitir (penguasa), (QS. al-Ghasyiah [88]: 23). Kewajiban Rasul hanyalah sebagi balâgh (penyampai risalah) (QS Ali ‘Imran [3]: 20), mubâsyir dan nâdzir (pemberi kabar gembira dan ancaman) (QS al-Isra` [17]: 105), mudzakkir (yang mengingatkan), (QS al-Ghasyiah [88]: 21), tetapi tetap bukan musaytir (penguasa mutlak).
Dalil dari Hadis
Mereka juga mendasarkan argumennya dengan dalil as-Sunah bahwa Nabi bersabda, “Hawwin 'alaika fa inni lastu bi-malikin wa innama anâ ibnu imra`atin min quraisyin ta’kulu al-qadid” yang artinya (Tenangkan dirimu. Aku ini bukan raja. Aku adalah anak seorang wanita dari Quraisy yang makan dendeng). (HR. Bukhari) Rasulullah Saw. juga pernah bersabda: “Antum a’lamu bi-syu`ûni dun-yâkum” artinya: (Engkau lebih mengetahui urusan duniamu” (HR. Muslim) (Lih. Islam wa Ushûlu’l Hukm, hal.76 dan 78). Bagi Raziq, hadis ini berarti bahwa kekuasaan termasuk urusan duniawi yang tidak diatur oleh agama, sehingga manusia sendirilah yang berhak mengatur sistem politik atau pemerintahan. 
Dalil Sejarah
Dalil untuk membuktikan bahwa Islam tidak mengatur urusan negara/pemerintahan, dan yang kedua dalil untuk membuktikan bahwa ijma’ tidak layak dijadikan dasar wajibnya Khilafah. Mengenai dalil pertama, Raziq berkata, ”Apabila benar bahwa tugas Nabi itu mendirikan negara, tentu beliau akan menentukan pengganti setelah beliau wafat. Sebaliknya, Nabi justru membiarkan urusan negara itu tidak jelas (mubhâm) bagi kaum Muslimin. Karena itu, setelah Nabi wafat, kaum Muslimin mengalami kebingungan, yang akibatnya saling hantam satu sama lain. kedua, menolak dalil Ijma’ sebagai landasan hukum syara', baik ijma’ sahabat, ijma’ sahabat bersama tabi'in, maupun ijma’ seluruh kaum muslimin. Hal ini dibuktikannya dengan argumen historis berupa peristiwa pembai’atan Yazid sebagai khalifah yang berlangsung di bawah ancaman pedang. Menurut Raziq, bagaimana ada ijma’ yang sebenarnya jika saat itu ada intimidasi. “Siapa yang menolak bai’at, inilah bagiannya,” kata protokol upacara sambil menunjuk pedangnya (Lih. Islam wa Ushûlu’l Hukm, hal. 28, 31dan 78).

Bantahan Atas Raziq.
            Ada dua kesalahan besar yang dilakukan Raziq dalam penggunaan nash-nash al-Qur'an dalam memperkuat argumentasinya, pertama, ayat-ayat yang ia kemukakan adalah makiyyah. Padahal, pendirian negara Islam bukan pada periode Mekah, melainkan pada periode Madinah. Kedua, Raziq telah menafsirkan ayat-ayat tersebut di luar konteksnya. Tanpa melihat sebab turunnya ayat- ayat tersebut.
Hadist pertama yang ditunjukkan Raziq tidak menafikan otoritas politik atau kekuasaan Nabi, melainkan menafikan sifat kejam dan zalim dari Nabi sebagaimana umumnya sifat seorang raja. karena telah datang seseorang badui kepada Rasulullah Saw. dengan keadaan tubuh yang gemetar ketakutan sehingga Rasulullah Saw. bersabda demikian. Hadist kedua juga merupakan interpretasi keliru yang digunakan Raziq karena sebab turun (asbâbu’l wurud) hadis itu mengenai persilangan pohon kurma melalui eksperimen. Karena itu, tidak tepat jika ia digunakan sebagai dalil bahwa Rasul tidak mempunyai kekuasaan dalam pemerintahan. Hadis ini konteksnya adalah memberikan hak kepada manusia mengatur urusan teknis pada masalah-masalah yang tidak ada nash (teks) al-Qur`an dan as-Sunnah padanya. Misalnya urusan sains dan teknologi, administrasi, manajemen, dan yang semisalnya.
Argumen historis pertama yang menyatakan bhawa Nabi membiarkan urusan pemerintahan menjadi mubhâm sepeninggal beliau adalah tidak benar. Sebab, meski Nabi tidak menunjuk orang tertentu sebagai pengganti beliau, namun Nabi telah menjelaskan mekanisme suksesi yang jelas sepeninggal beliau, yaitu bai’at. Kedua, Ijma’ Sahabat menurut pemahaman ulama, adalah ijma’ dalam hal kewajiban untuk menegakkan khilafah, bukan dalam hal kewajiban memilih orang tertentu (khalîfah), si A atau si B. Raziq memberikan kita sebuah ilusi palsu, bahwa ijma’ itu artinya terdapat kesepakatan memilih orang tertentu, katakanlah Yazid, sebagai khalîfah. Padahal yang benar, ijma’ sahabat itu hanya mengenai wajibnya Khilafah, bukan wajibnya membaiat si A atau si B sebagai khalîfah.

Integralisme Islam
            Selanjutnya, Aliran kedua diwakili oleh Abu 'Ala Al-Maududi dan Hassan Al-Banna. Mereka meyakini Islam sebagai sebuah agama yang mempunyai konsep dalam segala lini kehidupan, termasuk tata cara bernegara. Berbeda dengan Kristen yang terpisah dengan politik di masa awal pembentukannya, sehingga pendirinya tidak memberikan inspirasi apapun bagi para pemeluknya untuk mendirikan sebuah sistem tatanan negara, sedangkan Islam sudah bersentuhan semenjak Muhammad Saw. memasuki era nubuwwah.
Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis. Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio “masyarakat Islam” mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua bangunan “masyarakat Islam” itu berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara detail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan mulai mengaplikasikan serta melaksanakan prinsip-prinsip tersebut. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Tinjauan historis menunjukkan Masyarakat Madinah merupakan sebuah komunitas politik yang tidak dapat dipungkiri, dengan terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen, yang membedakannya dengan masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu serta menuju kepada tujuan-tujuan yang sama. Di antara individu-individu masyarakat yang baru tersebut terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas persaudaraan secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan “masyarakat politik”. Juga peristiwa Bai'atu’l ‘Aqabah tidak ubahnya dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Begitu pula Piagam Madinah yang memuat 47 pasal, dinilai oleh para pemikir muslim sekuler maupun orientalis sebagai hasil kejeniusan Nabi Muhammad Saw. dalam membangun Negara Madinah.

Pemikir Moderat Politik-Islam.
Aliran ketiga ini banyak dianut oleh para pemikir muslim, terutama bagi mereka yang hidup di naungan negara-negara yang mengambil demokrasi sebagai asas negara. Disamping tetap meyakini Islam sebagai tuntunan hidup, namun mereka tidak melihat akan urgent-nya Negara Islam untuk didirikan. Mereka lebih nyaman untuk mengikuti prosedur bernegara yang ditawarkan pemerintah dan cenderung mengkampanyekan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi yang di dengungkan Barat karena ajaran-ajaranya terefleksikan di dalam sistem demokrsi (Dr. Yusuf Qardlawi, dalam Fiqhu’d Dawlah fi’l Islam M, 2002: xiv). Menurut Dr. Yusuf Qardlawi, substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal Misalnya:
1. Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya. 
2. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalîfah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalîfah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah Khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
           
Kontra Demokrasi-Islam.
            Sebenarnya istilah demokrasi Islam merupakan istilah yang mengalami contadictio in terminist, karena sebab, Demokrasi-Islam terdiri dari dua istilah yang mewakili dua konsep yang asing antara satu dengan yang lain. Singkatnya, Islam adalah ideologi tersendiri, sedangkan demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang lahir dari ideologi lain, yaitu liberalisme-sekuler sama anehnya apabila seseorang mengatakan “nasyid-gereja”.
            Hal itu disebabkan karena demokrsi merupakan istilah yang mapan, Maka demokrasi harus kita maknai sesuai dengan makna yang digunakan oleh disiplin ilmu politik, Karena itulah, C.B. Macpherson, seorang ilmuwan politik ternama, berbicara tentang model-model demokrasi dalam kerangka “Demokrasi Liberal” (Macpherson. The Life and Times of Liberal Democracy. Oxford: Oxford University Press, 1977). Di luar demokrasi liberal, menurut Macpherson, adalah bukan demokrasi, tapi model-model lain yang pada dasarnya justru ingin membunuh demokrasi. Secara sederhana, demokrasi liberal bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem politik yang dibangun berdasarkan perwakilan, aturan hukum, dan konstitusi, serta perlindungan terhadap kebebasan individu, dan hak-hak minoritas. Demokrasi liberal tidak hanya menekankan pada pemilu dan jumlah mayoritas, tapi juga pada kebebasan individu dan hak-hak minoritas.
Kaum ideologis (yang banyak datang dari kalangan Komunis dan Agama), kerap menyangka bahwa demokrasi hanyalah pemilu dan mayoritas. Demokrasi semacam ini lebih layak disebut sebagai “demorasi elektoral” atau “demokrasi prosedural” yang hanya menekankan mekanisme pertarungan politik saja, dan kurang peduli pada inti yang menjadi target demokrasi  yaitu terealisasinya kebebasan individu dan hak-hak sipil.
Dalam kacamata Islam, menurut Abdul Qodim Zallum, ada beberapa sisi yang membuat demokrasi bermasalah. Antara lain, demokrasi bukan konsep Islam, tapi produk sekuler; Konsep kedaulatan rakyat bertentangan dengan konsep kedaulatan syariah; kepemimpinan kolektif demokrasi bertentangan dengan konsep kepemimpinan tunggal dalam islam; Lembaga pemerintahan dalam demokrasi tidak tunggal; Rakyat wajib dimintai persetujuan oleh pemerintah dalam menetapkan kebijakan; Keputusan dalam lembaga pemerintah, khususnya legeslatif, terikat dengan suara mayoritas; Kebebasan dalam demokrasi bertentangan dengan konsep keterikatan manusia dengan hukum syariat. Dengan demikian sebutan demokrasi-Islam tertolak dengan sendirinya.

Sebagai contoh bahwa memang demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi liberal, dan bukan demokrasi Islam, selalu saja partai Islam dijegal dan kemenangannya dianulir ketika berhasil bersaing dalam kancah politik di negara- negara yang menerapkan demokrasi. Di Al- Jazair partai FIS berhasil memenangi 80 % suara, tetapi karena dikhawatirkan dapat menguasai parlemen dan merubah hukum dengan syariat Islam, partai itu dibubarkan dan dicap sebagai partai terlarang. Partai Masyumi di Indonesia mengalami hal yang serupa. Di Mesir kemenangan partai REFAH dianulir pemerintah. Malahan di Palestina HAMAS yang menguasai mayoritas suara rakyat pemerintahannya tidak didukung oleh negara-negara Eropa sehingga bantuan dana internasional bagi Palestina dibekukan. WalLâhu a’lamu bi’s showâb

Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]