PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Mashâlih dan Mafâsid menurut Ibnu ‘Asyur

Ibnu ‘Asyur mendefinisikan mashlahah sebagai perbuatan yang bersifat mendatangkan kebaikan maupun manfaat baik secara berkelanjutan dalam setiap waktu maupun pada sebagian besarnya saja, baik dirasakan oleh orang banyak maupun beberapa orang saja dari mereka. Adapun mafsadah adalah lawan mashlahah yaitu perbuatan yang bersifat mendatangkan kerusakan dan bahaya baik secara berkelanjutan dalam setiap waktu mau pun pada sebagian besarnya saja, baik dirasakan oleh orang banyak maupun beberapa orang saja. Berdasarkan definisi diatas, mashâlih dapat dibedakan menjadi dua: pertama, kemaslahatan umum (al-mashâlih al-'âmmah) yang mencakup kepentingan orang banyak, seperti penjagaan terhadap fasilitas-fasilitas umum dari kebakaran dan perusakan. Mayoritas kemaslahatan dari jenis ini banyak terdapat dalam al-Qur’an dan dihukumi fardhu kifâyah, seperti kewajiban menuntut ilmu dan pergi berjihad; kedua, kemaslahatan khusus (al-mashâlih al-khâshshah) yang berasal dari sebagian orang sebagaimana nilai manfaatnya hanya bisa dirasakan oleh orang-orang tertentu saja. Pun demikian, kemaslahatan mereka akan berpengaruh terhadap kemaslahatan masyarakat dimana mereka tinggal. Contohnya adalah penjagaan terhadap harta seseorang yang tiba-tiba hilang akalnya, baik untuk dikembalikan lagi kepadanya manakala ia telah sadar maupun diberikan kepada ahli warisnya ketika kesembuhannya tidak bisa diharapkan lagi. Jenis kemaslahatan ini banyak kita dapatkan dalam hadits-hadits Nabi.
Bebicara tentang jenis maslahat yang diinginkan oleh tasyrî‘, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa maqâshid al-syarî‘ah memang harus berupa maslahat, meski pun tidak berarti semua maslahat harus termasuk di dalamnya. Hal itu karena Syâri‘ mempunyai hak prerogatif untuk menentukan jenis-jenis maslahat, batasan dan tujuannya hingga menjadi sebuah pedoman untuk diikuti. Berangkat dari titik ini, beliau membedakan maslahat menjadi tiga bagian utama:
1.     Berdasarkan pengaruhnya terhadap urusan umat, maslahat terbagi tiga tingkatan hierarkis:
a.    Dharûriyyât yaitu kemaslahatan yang sifatnya harus dipenuhi dan apabila tidak terpenuhi, akan berakibat kepada rusaknya tatanan kehidupan manusia dimana keadaan umat tidak jauh berbeda dengan keadaan hewan. Al-kulliyyât al-khams merupakan contoh dari tingkatan ini. Ibnu ‘Asyur juga setuju kalau al-‘Irdh tidak termasuk didalamnya.
b.   Hâjiyyât yaitu kebutuhan umat untuk memenuhi kemaslahatannya dan menjaga tatanan hidupnya, hanya saja manakala tidak terpenuhi tidak sampai mengakibatkan rusaknya tatanan yang ada. Sebagian besar dari bab mubâh dalam mu‘amalah termasuk dalam tingkatan ini.
c.    Tahsîniyyât yaitu maslahat pelengkap bagi tatanan kehidupan umat agar hidup aman dan tentram. Contohnya adalah kebiasaan-kebiasaan baik yang bersifat umum maupun khusus. Selain itu, terdapat pula al-mashâlih al-mursalah yaitu jenis maslahat yang tidak dihukumi secara jelas oleh syariat. Bagi Ibnu ‘Asyur, maslahat ini tidak perlu diragukan lagi hujjiyah-nya, karena cara penetapannya mempunyai kesamaan dengan penetapan qiyas.

2.     Berdasarkan hubungannya dengan keumuman umat baik secara kolektif maupun personal, maslahat terbagi menjadi dua; kulliyyah yaitu kemaslahatan yang berpulang kepada semua manusia atau sebagian besar dari mereka dan juz’iyyah adalah kebalikan dari itu.

3.     Adapun berdasarkan adanya kebutuhan manusia untuk meraihnya, maslahat terbagi menjadi tiga: qath‘iyyah, zhanniyyah dan wahmiyyah. Qath‘iyyah yaitu maslahat yang ditunjukkan oleh nash-nash yang jelas dan tidak membutuhkan takwil, zhanniyyah adalah kemaslahatan yang dihasilkan oleh penilaian akal, sedangkan wahmiyyah adalah kemaslahatan yang menurut perkiraan tampak bermanfaat namun setelah diteliti lebih jauh mengandung kemudharatan.[1]
       
Berkenaan dengan dhawâbith untuk mengenali apakah sesuatu itu maslahat atau mafsadat, beliau memberikan beberapa kategori sebagai berikut:
1.    Sesuatu dimana nilai manfaat atau bahayanya benar-benar ada dan bersifat terus-menerus, seperti mengambil manfaat udara dan sinar matahari atau membakar sebuah kebun dengan tujuan hanya untuk merusaknya.
 
2.    Sesuatu dimana keberadaan manfaat atau pun bahayanya terlihat jelas pada sebagian besar keadaan dan dapat diketahui dengan akal sehat, seperti menyelamatkan orang yang tenggelam di laut.

3.    Sesuatu dimana tidak ada kemungkinan untuk tergantikannya sifat manfaat ataupun bahaya yang terdapat di dalamnya. Contohnya di dalam khamr terdapat manfaat yaitu membangkitkan keberanian dan mudharat yaitu merusak akal, hanya saja sisi mudharatnya tetap tidak bisa digantikan dengan sisi kemaslahatannya.

4.    Sesuatu dimana nilai manfaat dan bahayanya tampak sama besarnya, namun salah satunya dapat dimenangkan dengan bantuan murajjih seperti kewajiban memberikan ganti rugi atas perusakan harta seseorang dengan sengaja.


5.    Sesuatu dimana nilai manfaatnya ada dan tetap sedangkan nilai bahayanya berubah-ubah ataupun sebaliknya, seperti bahaya yang dihasilkan dari peminangan seseorang terhadap wanita yang berada dalam pinangan orang lain.

Ketika dihadapkan kepada beberapa maslahat yang bertentangan, seseorang bisa menyikapinya dengan dua penyikapan: pertama, ketika maslahat-maslahat itu berbeda tingkatannya, maka tingkatan dharûriyyât didahulukan atas hâjiyyât, sebagaimana hâjiyyât didahulukan atas tahsîniyyât; kedua, ketika maslahat itu berada dalam satu tingkatan, para ulama biasanya memilih salah satu yang dianggap paling kuat (takhyîr). Namun menurut ‘Izzuddin bin Abdi Salam dalam Qowâid-nya, cara pemilihan ini digunakan setelah dilakukan upaya-upaya serius dan sungguh-sungguh dalam mentarjih maslahat-maslahat tersebut. Untuk mengetahui perbedaan dalam maslahat tersebut, para ulama mengukur kualitas kemaslahatan yang ada. Sebut saja sebagai contoh,  mendahulukan maslahat dalam masalah keimanan atas masalah amal perbuatan, serta mendahulukan kemaslahatan jiwa atas kemaslahatan harta.
Dalam tataran praktis, mentarjih sebuah maslahat, dapat dilakukan dengan cara memperhatikan hukum asalnya (murâ’ah hukmi’l ashli). Sebagai contoh, ajaran Islam membolehkan seseorang untuk menjual barang dagangan yang sejenis dengan barang dagangan yang dijual orang lain disekitarnya, meskipun hal tersebut akan menimbulkan persaingan atau bahkan bisa jadi meyebabkan permusuhan. Hal itu karena hukum asalnya adalah dibolehkan bagi siapa saja untuk bekerja mencari rezeki, apa pun jenis pekerjannya,  selama masih berada dalam kawasan yang tidak dilarang oleh ajaran agama. Sehingga, meskipun seseorang berniat jahat, misalnya ingin merusak mata pencaharian orang lain sekali pun, hal itu tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk melarangnya, hanya saja dia tetap mendapat dosa atas niat jahatnya tersebut.[2]



[1]Muhammad al-Thahir Ibnu ‘Asyur, Maqâshid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, op.cit, hal. 230.
[2]Ibid., hal. 217
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]