Sayid Qutub; Seorang Sastrawan dan Aktifis Pergerakan Islam
Sahabat,
Andainya kematian kau tangisi
Pusara kau siram dengan air matamu
Maka di atas tulang belulangku yang sudah luluh
Nyalakanlah obor untuk umat ini
Dan …
Lanjutkanlah gerak merebut kemenangan
Sahabat,
Kematianku hanyalah suatu perjalanan
Memenuhi panggilan kekasih yang merindu
Taman-taman indah di syurga Allah
Terhampar menanti
Burung burungnya berpesta menyambutku
Dan berbahagilah hidupku disana
Sahabat,
Pekat kegelapan pasti kan lebur
Fajar kan menyingsing
Dan alam ini kan disinari cahaya lagi
Relakanlah rohku terbang menjelang rindunya
Jangan gentar berkelana ke alam abadi
Disana … cahaya fajar memancar
Sayid Qutub (Al-Maghfurulahy Al-’Arif Billah)
Senin 13 Jumadil Awal 1386 H
Sepenggal puisi di atas ditulis oleh Sayid Qutub menjelang eksekusi hukumannya dilaksanakan. Beliau adalah seorang sastrawan sekaligus figur penggerak gerakan Ikhwanul Muslimin pasca Imam Hasan Al-Banna. Lewat puisi di atas, Sayid Qutub sebagai seorang sastrawan ingin mengungkapkan kepada masyarakat bahwa meskipun beliau akan menghadapi maut, namun nafas perjuangan beliau tidak akan pernah mati selama kita terus menerus berjuang menantang segala rintangan yang dapat menghadang cita-cita perjuangan, hingga sang fajar memberikan cahaya terangnya kepada kita semua. Gugurnya seorang Sayid Qutub di tiang gantungan pada tanggal 29 Agustus 1966 ternyata tidak menghentikan langkah umat Islam Mesir dalam meneruskan cita-citanya .
Sayid Qutub memang memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perjuangan masyarakat Mesir dalam rangka menegakkan cita-cita umat Islam di bumi Kinanah. Seluruh jiwa dan raganya rela untuk diserahkan hanya untuk Islam. Permintaan dari utusan pemerintah yang kala itu dipimpin oleh Gamal Abdul Nasir untuk menuliskan permintaan maaf kepada penguasa ditolak dengan tegas, tanpa sedikit pun ada keraguan di hatinya seraya bibirnya mengucap lantang: “ telunjuk yang bersyahadat setiap kali dalam salat menegaskan bahwa tiada Tuhan yang disembah dengan sesungguhnya melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulullah Saw.. Aku takkan menulis satu perkataan yang hina. Jika aku dipenjara karena kebenaran aku akan ridha. Namun jika aku dipenjara secara batil, aku tidak akan menuntut rahmat dari pada kebatilan”.
Sasatrawan kelahiran 9 Oktober 1906 telah menggoreskan karya sastra yang dapat menggugah hati seorang yang enggan berjuang agar selalu bangkit dan bergelut guna memberikan berkas yang indah di kemudian hari. Berbeda dengan sastrawan-sastrawan yang hanya mengandalkan nafsu dan keegoisan semata, Sayid Qutub selalu berusaha mengungkapkan perjuangannya lewat tarian pena yang indah dengan bahasa yang memang ia tulis dari lubuk hati. Hingga para pembaca karya-karya beliau merasa dihadapkan dengan sebuah karya yang dapat menumbuhkan benih-benih perjuangan sekaligus menguatkan akar-akar kebangkitan yang telah lama tidak disentuh dan dijamah.
Goresan pena Sayid Qutub telah menghasilkan puluhan buah karya yang monumental. Beliau selalu berusaha menuliskan setiap ide dan pemikirannya. Karya sastra pun tak luput dari goresan penanya sebelum tahun 1940-an. Beliau banyak menelurkan buku-buku kritik sastra yang cukup menggigit seperti "Muhimmatu’sy Syi'ir fî’l Hayâh". Buku tersebut adalah muhadharah kritik yang beliau sampaikan di kuliah Darul Ulum pada tahun 1932. Menyusul kemudian buku lainnya yang masih mengulas tentang kritik sastra adalah "Fî’n Naqdi’l Adabiy: Mustaqbalu’ts Tsaqâfah Fî Misr" pada tahun 1939. Buku itu memberikan kritik tajam terhadap buah karya Taha Husein. Kritiknya tersebut dipacu oleh tulisan Taha Husein yang mengharuskan Mesir menjadi bagian dari dunia Barat. Masih banyak karya-karyanya yang bersentuhan dengan tema-tema kritik sastra seperti "Kutub wa Syakhshiyyât", yaitu sebuah antologi kumpulan makalah-makalah yang berisi kritik kepada Abbas al-Aqad, Taha Husain dan Taufik Hakim. Buku kritik sastranya yang terakhir berjudul "Al-Naqdu’l Adabiy; Ushûluh wa Manâhijuh" yang terbit pada tahun 1948.
Awal tahun 1940-an, Sayyid Qutub berusaha memberikan siraman agama di dalam karya-karyanya. “At-Taswiru’l Fanni fi’l Quran” (1945) dan “Masyâhidu’l Qiyâmah Fi’l Qur’ân” (1947) merupakan karya yang dihasilkan dari ilmu Agama yang ia dapatkan semasa hidupnya. Kepekaan sosialpun diekspresikannya dalam sebuah karya yang ia beri judul “Al-Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fi’l Islâm” (Sistem Keadilan Kemasyarakatan dalam Islam), “Ma’rakatu’l Islam wa’r Ra’su’l Mâliyyah” (Pertempuran antara Islam dan Materialisme).
Di tahun 1954 hingga 1966 jeruji besi pemerintah berusaha memasung kreatifitas beliau dalam mengobarkan api perjuangan Ikhwanul Muslimin. Namun dalam keadan yang serba terkekang ternyata penanya tak pernah surut dalam memberikan sumbangsih ide dan pemikirannya untuk kemajuan umat Islam di masa mendatang lewat sebuah tafsir “Fîy Dhilâli’l Qur’ân” (Dibawah Naungan Al-Quran) dan “Dirasatu’l Islâmiyah” (Pengajaran Islam). Sayid Qutub berusaha merefleksikan dirinya sebagai hamba Allah yang dirasa memiliki tanggung jawab yang besar dalam membina masyarakat. Dalam bukunya “Fîy Dhilâli’l Qur’ân”, Sayid Qutub berbicara lewat bingkai tafsir yang penuh dengan bahasa sastra yang timbul dari gugatan-gugatan hati yang selalu resah dengan keadaan umat di saat itu. Sehingga tatkala buku itu dibaca maka, tutur bahasa dan kalimat-kalimatnya akan terasa sangat menyentuh serta memiliki arti yang mendalam. Selain itu, ada pula beberapa buku lain yang dihasilkannya ketika beliau mendekam di dalam penjara, diantaranya adalah “Hâdzâ ad-Dîn”, “Al-Mustaqbal li Hâdzâ’d Dîn”, dan “Khashâisu’t Tasawwur al-Islâmiy wa Muqâwwamatuh”
“Ma’alim fi’t Tarîq” merupakan salah satu karya monumental beliau dalam kritik sosial pada perkembangan sosial masyarakat Mesir yang saat itu mulai mengarah kepada pandangan hidup materialistik Barat yang pragmatis dan penuh dengan tipu daya. Sehingga Barat saat itu seakan-akan menjadi kiblat umat Islam dalam segala hal dan menjadikan Islam sebagai nomor dua setelah peradaban Barat. Namun pemerintah yang dikala itu mulai berhubungan mesra dengan Barat memandang Sayid Qutub telah membuat makar dan merancang sebuah revolusi besar dalam mengguncang stabilitas sosial masyarakat Mesir. Sayid Qutub dalam menanggapi hal itu bereaksi keras. Dan pada akhirnya beliau pun harus di jatuhi hukuman mati sebagai konsekuensi seorang pejuang yang memiliki lidah tajam dan pena analisis yang berani untuk mengkritik kebijakan pemerintah.
Lulusan Dar al-Ulum tahun 1933 ini menggunakan titelnya bukan hanya sekedar hiasan saja, lulus dari Fakultas Sastra Arab beliau sempat kontradiksi dengan sastrawan mesir Abbas Mahmud al-Aqad. Pada awalnya beliau sedikit terpengaruh dengan pandangan dan pemikiran Abbas Mahmud al-Aqad yang notabenenya berhaluan sosialis kiri, namun seiring perjalanan waktu Sayid Qutub menentukan jalannya sendiri dengan menyibukkan dirinya dengan sastra-sastra Islam yang penuh dengan nilai moral dan ilmu pengetahuan yang luhur sehingga tercemin dari karya-karyanya yang penuh dengan nuansa agama yang menyejukkan lagi menggerakan umat bukan sastra yang melenakan dan merusak umat.
Sastra Islam memang selalu saja indah untuk dibahas, karena sumber utama dari sastra Islam adalah al-Qur`an yang luhur dan indah di setiap uslubnya. Oleh karena itu ketika sastra disandingkan dengan al-Qur`an maka dengan sendirinya kita menjadikan karya Rabbu’l `âlamîn sebagai landasan dalam berkarya dan berekspresi. Begitu juga dengan Sayid Qutub sendiri, sebagai seorang sastrawan muslim beliau berusaha melakukan kritik terhadap budaya Barat yang kosong dari nilai-nilai spritual. Beliau senantiasa berusaha menyadarkan kaum muslimin dari kebutaanya dalam mengikuti budaya Barat yang belum tentu pantas untuk ditiru menuju kepada rasa bangga terhadap ajaran Islam yang luhur.
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang pribadi Sayid Qutub, karya-karyanya, serta perjuangannya menegakkan agama Islam. Dengan membaca berbagai karya yang telah dihasilkannya, maka kita akan lebih mengetahui peta pemikirannya. Dan dengan mengetahui peta pemikiran Sayid Qutub maka disana kita akan mendapatkan sebuah semangat baru untuk menegakkan kembali agama Allah ini.
Selamat jalan Sayid Qutub. Jasad mu memang telah lama terbujur kaku di liang lahat, namun karyamu itu tidak akan pernah luntur dan dilupakan oleh para pencinta kebenaran. lalu bagaimana dengan Anda wahai sastrawan muda?. Islam masih membutuhkanmu, bukan sastra yang hanya mengandalkan imajinasi kosong belaka melainkan sastra yang bisa membawa pembaca kepada nilai-nilai luhur Islam lewat bahasa yang lembut lagi menyentuh.
Wa’lLâhu a’lam Bi’s Shawâb
Andainya kematian kau tangisi
Pusara kau siram dengan air matamu
Maka di atas tulang belulangku yang sudah luluh
Nyalakanlah obor untuk umat ini
Dan …
Lanjutkanlah gerak merebut kemenangan
Sahabat,
Kematianku hanyalah suatu perjalanan
Memenuhi panggilan kekasih yang merindu
Taman-taman indah di syurga Allah
Terhampar menanti
Burung burungnya berpesta menyambutku
Dan berbahagilah hidupku disana
Sahabat,
Pekat kegelapan pasti kan lebur
Fajar kan menyingsing
Dan alam ini kan disinari cahaya lagi
Relakanlah rohku terbang menjelang rindunya
Jangan gentar berkelana ke alam abadi
Disana … cahaya fajar memancar
Sayid Qutub (Al-Maghfurulahy Al-’Arif Billah)
Senin 13 Jumadil Awal 1386 H
Sepenggal puisi di atas ditulis oleh Sayid Qutub menjelang eksekusi hukumannya dilaksanakan. Beliau adalah seorang sastrawan sekaligus figur penggerak gerakan Ikhwanul Muslimin pasca Imam Hasan Al-Banna. Lewat puisi di atas, Sayid Qutub sebagai seorang sastrawan ingin mengungkapkan kepada masyarakat bahwa meskipun beliau akan menghadapi maut, namun nafas perjuangan beliau tidak akan pernah mati selama kita terus menerus berjuang menantang segala rintangan yang dapat menghadang cita-cita perjuangan, hingga sang fajar memberikan cahaya terangnya kepada kita semua. Gugurnya seorang Sayid Qutub di tiang gantungan pada tanggal 29 Agustus 1966 ternyata tidak menghentikan langkah umat Islam Mesir dalam meneruskan cita-citanya .
Sayid Qutub memang memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perjuangan masyarakat Mesir dalam rangka menegakkan cita-cita umat Islam di bumi Kinanah. Seluruh jiwa dan raganya rela untuk diserahkan hanya untuk Islam. Permintaan dari utusan pemerintah yang kala itu dipimpin oleh Gamal Abdul Nasir untuk menuliskan permintaan maaf kepada penguasa ditolak dengan tegas, tanpa sedikit pun ada keraguan di hatinya seraya bibirnya mengucap lantang: “ telunjuk yang bersyahadat setiap kali dalam salat menegaskan bahwa tiada Tuhan yang disembah dengan sesungguhnya melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulullah Saw.. Aku takkan menulis satu perkataan yang hina. Jika aku dipenjara karena kebenaran aku akan ridha. Namun jika aku dipenjara secara batil, aku tidak akan menuntut rahmat dari pada kebatilan”.
Sasatrawan kelahiran 9 Oktober 1906 telah menggoreskan karya sastra yang dapat menggugah hati seorang yang enggan berjuang agar selalu bangkit dan bergelut guna memberikan berkas yang indah di kemudian hari. Berbeda dengan sastrawan-sastrawan yang hanya mengandalkan nafsu dan keegoisan semata, Sayid Qutub selalu berusaha mengungkapkan perjuangannya lewat tarian pena yang indah dengan bahasa yang memang ia tulis dari lubuk hati. Hingga para pembaca karya-karya beliau merasa dihadapkan dengan sebuah karya yang dapat menumbuhkan benih-benih perjuangan sekaligus menguatkan akar-akar kebangkitan yang telah lama tidak disentuh dan dijamah.
Goresan pena Sayid Qutub telah menghasilkan puluhan buah karya yang monumental. Beliau selalu berusaha menuliskan setiap ide dan pemikirannya. Karya sastra pun tak luput dari goresan penanya sebelum tahun 1940-an. Beliau banyak menelurkan buku-buku kritik sastra yang cukup menggigit seperti "Muhimmatu’sy Syi'ir fî’l Hayâh". Buku tersebut adalah muhadharah kritik yang beliau sampaikan di kuliah Darul Ulum pada tahun 1932. Menyusul kemudian buku lainnya yang masih mengulas tentang kritik sastra adalah "Fî’n Naqdi’l Adabiy: Mustaqbalu’ts Tsaqâfah Fî Misr" pada tahun 1939. Buku itu memberikan kritik tajam terhadap buah karya Taha Husein. Kritiknya tersebut dipacu oleh tulisan Taha Husein yang mengharuskan Mesir menjadi bagian dari dunia Barat. Masih banyak karya-karyanya yang bersentuhan dengan tema-tema kritik sastra seperti "Kutub wa Syakhshiyyât", yaitu sebuah antologi kumpulan makalah-makalah yang berisi kritik kepada Abbas al-Aqad, Taha Husain dan Taufik Hakim. Buku kritik sastranya yang terakhir berjudul "Al-Naqdu’l Adabiy; Ushûluh wa Manâhijuh" yang terbit pada tahun 1948.
Awal tahun 1940-an, Sayyid Qutub berusaha memberikan siraman agama di dalam karya-karyanya. “At-Taswiru’l Fanni fi’l Quran” (1945) dan “Masyâhidu’l Qiyâmah Fi’l Qur’ân” (1947) merupakan karya yang dihasilkan dari ilmu Agama yang ia dapatkan semasa hidupnya. Kepekaan sosialpun diekspresikannya dalam sebuah karya yang ia beri judul “Al-Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fi’l Islâm” (Sistem Keadilan Kemasyarakatan dalam Islam), “Ma’rakatu’l Islam wa’r Ra’su’l Mâliyyah” (Pertempuran antara Islam dan Materialisme).
Di tahun 1954 hingga 1966 jeruji besi pemerintah berusaha memasung kreatifitas beliau dalam mengobarkan api perjuangan Ikhwanul Muslimin. Namun dalam keadan yang serba terkekang ternyata penanya tak pernah surut dalam memberikan sumbangsih ide dan pemikirannya untuk kemajuan umat Islam di masa mendatang lewat sebuah tafsir “Fîy Dhilâli’l Qur’ân” (Dibawah Naungan Al-Quran) dan “Dirasatu’l Islâmiyah” (Pengajaran Islam). Sayid Qutub berusaha merefleksikan dirinya sebagai hamba Allah yang dirasa memiliki tanggung jawab yang besar dalam membina masyarakat. Dalam bukunya “Fîy Dhilâli’l Qur’ân”, Sayid Qutub berbicara lewat bingkai tafsir yang penuh dengan bahasa sastra yang timbul dari gugatan-gugatan hati yang selalu resah dengan keadaan umat di saat itu. Sehingga tatkala buku itu dibaca maka, tutur bahasa dan kalimat-kalimatnya akan terasa sangat menyentuh serta memiliki arti yang mendalam. Selain itu, ada pula beberapa buku lain yang dihasilkannya ketika beliau mendekam di dalam penjara, diantaranya adalah “Hâdzâ ad-Dîn”, “Al-Mustaqbal li Hâdzâ’d Dîn”, dan “Khashâisu’t Tasawwur al-Islâmiy wa Muqâwwamatuh”
“Ma’alim fi’t Tarîq” merupakan salah satu karya monumental beliau dalam kritik sosial pada perkembangan sosial masyarakat Mesir yang saat itu mulai mengarah kepada pandangan hidup materialistik Barat yang pragmatis dan penuh dengan tipu daya. Sehingga Barat saat itu seakan-akan menjadi kiblat umat Islam dalam segala hal dan menjadikan Islam sebagai nomor dua setelah peradaban Barat. Namun pemerintah yang dikala itu mulai berhubungan mesra dengan Barat memandang Sayid Qutub telah membuat makar dan merancang sebuah revolusi besar dalam mengguncang stabilitas sosial masyarakat Mesir. Sayid Qutub dalam menanggapi hal itu bereaksi keras. Dan pada akhirnya beliau pun harus di jatuhi hukuman mati sebagai konsekuensi seorang pejuang yang memiliki lidah tajam dan pena analisis yang berani untuk mengkritik kebijakan pemerintah.
Lulusan Dar al-Ulum tahun 1933 ini menggunakan titelnya bukan hanya sekedar hiasan saja, lulus dari Fakultas Sastra Arab beliau sempat kontradiksi dengan sastrawan mesir Abbas Mahmud al-Aqad. Pada awalnya beliau sedikit terpengaruh dengan pandangan dan pemikiran Abbas Mahmud al-Aqad yang notabenenya berhaluan sosialis kiri, namun seiring perjalanan waktu Sayid Qutub menentukan jalannya sendiri dengan menyibukkan dirinya dengan sastra-sastra Islam yang penuh dengan nilai moral dan ilmu pengetahuan yang luhur sehingga tercemin dari karya-karyanya yang penuh dengan nuansa agama yang menyejukkan lagi menggerakan umat bukan sastra yang melenakan dan merusak umat.
Sastra Islam memang selalu saja indah untuk dibahas, karena sumber utama dari sastra Islam adalah al-Qur`an yang luhur dan indah di setiap uslubnya. Oleh karena itu ketika sastra disandingkan dengan al-Qur`an maka dengan sendirinya kita menjadikan karya Rabbu’l `âlamîn sebagai landasan dalam berkarya dan berekspresi. Begitu juga dengan Sayid Qutub sendiri, sebagai seorang sastrawan muslim beliau berusaha melakukan kritik terhadap budaya Barat yang kosong dari nilai-nilai spritual. Beliau senantiasa berusaha menyadarkan kaum muslimin dari kebutaanya dalam mengikuti budaya Barat yang belum tentu pantas untuk ditiru menuju kepada rasa bangga terhadap ajaran Islam yang luhur.
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang pribadi Sayid Qutub, karya-karyanya, serta perjuangannya menegakkan agama Islam. Dengan membaca berbagai karya yang telah dihasilkannya, maka kita akan lebih mengetahui peta pemikirannya. Dan dengan mengetahui peta pemikiran Sayid Qutub maka disana kita akan mendapatkan sebuah semangat baru untuk menegakkan kembali agama Allah ini.
Selamat jalan Sayid Qutub. Jasad mu memang telah lama terbujur kaku di liang lahat, namun karyamu itu tidak akan pernah luntur dan dilupakan oleh para pencinta kebenaran. lalu bagaimana dengan Anda wahai sastrawan muda?. Islam masih membutuhkanmu, bukan sastra yang hanya mengandalkan imajinasi kosong belaka melainkan sastra yang bisa membawa pembaca kepada nilai-nilai luhur Islam lewat bahasa yang lembut lagi menyentuh.
Wa’lLâhu a’lam Bi’s Shawâb
Post A Comment
Tidak ada komentar :