Mencari Jati Diri Peradaban Islam
Berbicara tentang Islam dan peradaban, kita akan
menuai diskusi panjang yang tak akan ada habis-habisnya, selalu berputar tanpa
kenal di mana mahattah akhirnya.
Dinamika Islam selalu bergejolak, tumpang tindih, merengek perhatian penuh.
Begitu juga dengan peradaban, semakin hari semakin berubah. Keduanya merupakan
hal yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Dunia Barat telah lama menjajah dunia Islam.
Sejak pelaut portugis bernama Vasco Da Gama menemukan “Dunia Baru”, tak ada
sejengkal pun dunia Islam yang tak terjajah atau terintervensi oleh Barat.
Sisa-sisa kegemilangan peradaban Islam sejak zaman al-Makmun benar-benar tak
berbekas, dunia Islam luluh lantak. Tapi ternyata umat Islam tak pernah
kehilangan mimpi. Ya, mimpi untuk kembali ke zaman keemasannya. Pada awal abad
ke-19 tiba-tiba datang sosok yang ditunggu-tunggu, dialah sang pioner
Jamaluddin Al-Afghani. Ditengah arus kolonialisasi mengancam kehidupan umat
Islam, beliau justru menyerukan pada umat Islam untuk bersatu. Bahkan mengajak
umat Islam, menghimpun kekuatan untuk membasmi segala bentuk penjajahan yang
dilakukan oleh Barat, serta berupaya sekuat tenaga agar Islam kembali bangkit
dari keterpurukan. Oleh karena itu, Bagi Al-Afghani kekuatan politik sangat
penting untuk memajukan peradaban Islam. Dari sini kemudian muncul sebuah
konsep yang disebut “Pan Islamisme”.
Tak hanya kaum Sunni, kaum syiah pun tak
ketinggalan untuk menyerukan kebangkitan politik Islam. Maka kalau kita
komparasikan buku yang berjudul al-Hukûmah
al-Islâmiyah milik Imam Khumaeni, Mafâhim Islâmiyah Khaula al-Dîn wa al-Dawlah milik Al-Mawdudi, dan
buku Ma’âlim Fi al-Thâriq milik Sayyid
Qutub, maka kita akan melihat bahwa semuanya memiliki orientasi yang
sama walaupun dengan persepsi yang berbeda. Persamaannya adalah urgensi
pengembangan politik Islam untuk memajukan peradaban dan pemerintahan Islam.
Bagi Al-Afghani kebangkitan poltitk Islam dimulai dari persatuan umat Islam
dengan menjadikan Islam sebagai ikatan persaudaraan (al-‘Urwah al-Wutsqa).
Namun nampaknya menyatukan Islam bukan sesuatu
yang mudah. Sejak dinasti Utsmaniyah runtuh sampai sekarang, usaha untuk membangun
“Pan Islamisme” apalagi
khilafah Islamiyah bagaikan pungguk merindukan bulan. Ini adalah impian yang
sangat sulit direalisasikan. Terlebih kekuatan Barat belum bisa dikalahkan.
Jujur, kita harus mengakui bahwa Barat sekarang menjadi super power dan kita, sebagai
umat muslim, masih diposisikan menjadi Negara Ketiga.
Pertempuran politik dan militer hanya akan
mengakibatkan umat Islam mati konyol. Terlebih umat Islam akan terkuras tenaga
untuk menyerang dan bertahan. Hal itulah yang membuat Syaikh Muhammad Abduh
lebih memilih konsep yang berbeda dengan pendahulunya Al-Afgani dalam
mengembangkan peradaban Islam. Ia lebih cenderung memilih konsep perbaikan
internal dengan cara reformasi pendidikan dan ilmu penetahuan.
Karena jika suatu saat
umat Islam memenangkan pertarungan politik, namun secara keilmuan belum
mumpuni, maka kemenangan politik itu tak akan menghasilkan apa-apa kecuali
kekacauan. Kemenangan itu hanya menjadi ajang penyerahan kekuasaan penjajah dari
luar kepada penjajah-penjajah dari dalam. Seperti yang dialami oleh beberapa negara
muslim yang dikuasai oleh pemerintahan militer di abad modern ini. Jadi yang lebih
inti adalah membangun manusia yang beradab terlebih dahulu sedangkan peradaban Islam
dibangun di lubuk hati setiap umat Islam.
Abduh pun yakin reformasi itu harus dimulai dari
reformasi pemahaman keagamaan umat Islam. Itu yang menyebabkan Abduh mengkritisi
pola akidah umat Islam yang mensakralkan ilmu kalam. Dalam buku Risâlah Fi at-Tauhîd, Abduh menganggap
bahwa kalam itu hanyalah ijtihad ulama klasik sesuai dengan kebutuhan zamannya.
Maka disaat kebutuhan zaman berubah maka ilmu kalam juga harus berubah. Di sisi
lain Abduh mensinyalir kemunduran umat Islam disebabkan taklid buta terhadap
pendapat ulama. Maka dari itu, Abduh menyerukan umat Islam menggunakan akal
untuk melakukan ijtihad dan inovasi. Karena hanya dengan rasionalitas saja,
keilmuan bisa dikembangkan. Hal ini menggiring pada sebuah pembentukan Islam
yang berporos pada sains.
Peradaban Islam yang
dipegang Ar-Rasyid dan ِِAl-Makmun benar-benar merupakan abad keemasan,
mencatat perkembangan sains dan intelektual. Perpustakaan dimana-mana. Pada
saat itu Islam diakui oleh dunia manapun sebagai super power dengan peradaban
dan keilmuan yang paling maju. Para filosof Islam pun mengakui urgensi keilmuan
ini. Dalam kitab at-Tanbih Fi Sabîli’s Sa’âdah,
secara filosofis, al-Farabi menguraikan bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan
manusia hanya bisa didapat dengan pengetahuan. Pun pengembangan peradaban tak
bisa diperoleh kecuali dengan mengembangkan ilmu pengetahuan di segala dimensi.
Tapi pradigma para filosof
berbeda dengan paradigma para fuqahâ. Ilmu humaniora dan metafisika yang
sering digeluti oleh mereka, justru tidak menggiringnya untuk merancang metode
penelitian ilmu natural. Akan tetapi para ahli fikih mempunyai cara tersendiri
untuk mengembangkan pengetahuan di bidangnya. Mereka masih percaya atas
kebenaran teks-teks keagamaan, mereka juga memberikan ruang lebih luas kepada
siapa saja untuk beroperasi di dalam keilmuan yang dianggap duniawi. Asalkan
bisa menjadi maslahat umat, maka sebuah pengembangan keilmuan selalu bisa
dipertimbangkan, walau hasil elaborasi dari peradaban non Islam. Itulah yang
sering dilakukan oleh ahli fikih seperti Al-Mawardi dan Al-Fara’ ketika mengelaborasi keilmuan dan sistem politik
Persia dalam teori politik Islam demi menjaga maslahat umat dan agama. WalLâhu ‘alamu bi’s showâb
Aini el-Azyzy (Richa)
Labels
Analisis
Post A Comment
Tidak ada komentar :