PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

MUNCULNYA KELOMPOK DAN PERGESERAN AQIDAH

MAKANA AQIDAH YANG HAQIQI

Aqidah itu adalah pengesaan tuhan (tauhid). Istilah tauhid memang telah menjadi istilah yang sangat populer di tengah masyarakat muslim. Namun tak sedikit yang memahaminya dengan pemahaman yang salah. Makna tauhid yang sebenarnya adalah mengesakan Allah pada sesuatu yang menjadi kekhususan-Nya baik Rububiyah, Uluhiyah atau Asma serta Sifat-sifat-Nya.

Rububiyah artinya penciptaan alam, kepemilikan serta pengaturannya, Uluhiyah artinya ibadah, sementara Asma dan Sifat artinya nama-nama Allah serta sifat-sifat-Nya yang sangat baik dan agung, sebagaimana yang Allah tetapkan dalam kitab-Nya atau yang Rasul-Nya tetapkan dalam haditsnya (lihat Al Qaulul Mufid 1/hal 9,14,16 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).  Inilah tauhid hakiki yang di bawa oleh para rasul Allah SWT.

Agama kita Islam adalah satu satunya agama tauhid di atas permungkaan bumi  ini, adapun pengertian dari tauhid itu snediri menurut ulama ilmu tauhid adalah :
Ilmu yang membahas di dalam nya tentang zatAllh dan tentang rasulnNya, dari segi apa yang wajib , yang mustahil dan yang jaiz bagi Allah dan RasulNya, juga tentang hal-hal yang berhubungan dengan sam'iyah.
a. Ilmu yang menetapkan aqidah-aqidah diniyyah dengan memberikan hujjah- hujjah yang jelas dan menolak syubhat-syubhat.

Jadi  dapat kita simpulkan bahwa dalam ilmu tauhid itu ada  tiga  bahasan pokok utama  :
a.  Ilahiyat   : Berhubungna dengan wujud Allah SWT, sifatNya dan asma'Nya.
b. Nubuwat : berhubungan dengan sifat rasul, mu'jizat mereka, dan kemulian para wali
    Allah dan yang berhubungan dengan itu.
c. Sam'iyat  : berhubungna dengan sesuatu yang tidak bisa akal mengungkapkannya.,
    dan hanya dapat di ketahui dari penjelasan yang d sampaikan oleh  rasulullah SAW.

Dan  dalam agama Islam itu sendiri ada tiga pokok utama :

a.      Aqidah : Berhubungan dengan hal-hal yang wajib diimani oleh seorang  
      muslim.dengan hatinya ( dipelajari dalam ilmu tauhid)
b.     Syari'ah : Adalah amal2 yang dituntut oleh syari'at dari seorang muslim dari   
      ibadah, mu'amalah (di pelajari dalam ilmu fiqh
c.   Akhlaq : Perbuatan yang mulia yang mesti bagi seorang muslim uantuk
      melakukannya. ( dipelajri dalam ilmu akhlaq )

Ilmu tauhid itu sendiri memiliki beberapa nama, diantaranya,:

a.  Ilmu tauhid , karena pembahasan yang paling urgen itu adalah Tauhid Allah
             SWT.
         b. Ilmu ushuluddin, karena pembahasan ilmu tauhid adalah landasan bagi yang
                   lainnya dari bebbagai macam hukum syariyah yang lainnya.
      c. Ilmu fiqh al-akbar,
      d. Ilmu aqidah, karena dia membahas masalah aqidah yang wajib diimani     
          dengan nya dan meyakini kebenarannya.
         e. Ilmu kalam, karena ulama mengungkapkan tentang sesuatau  permasalahan   
             yang di kemukakan kepada mereka derngan " alkalam dalam permaslahan  
             seperti ini begini, dan karena pembahasan kalam Allah adalah yang paling   
             urgensi dalam sifat Allah.

Pada masa rasulullah SAW aqidah kaum muslim berjalan dalam tuntunan Al_quran dan sunnah nabi Muhammad SAW. Dan juga pada periode khilafatur rasyidin.. Pada awal kedatangan cahaya islam di tengah-tengan gelap gulitanya kehidupan manusia Al_qur'an datang menjelaskan permasalahan-permasalah Aqidah, Alquran datang dengan pembinaan aqidah yang benar dalam hati setiap insan yang medengarkannya dengan pemaparan yang mudah lagi lugas yang dapat diterima oleh akal dan sesuai dengan fitrah manusia, lalu menjelaskan apa yang wajib diyakini oleh seorang muslim, dan menghancurkan aqidah-aqidah yang bathil yang tersebar di antara golongan musyrikin dan ahlul kitab.

Rasulullah SAW sendiri menyampaikan kepada para sahabat apa yang telah diwahyukan kepadanya, baik dari segi aqidah, dan menjelaskan apa yang masih bersifat mujmal, dan menjawab segala permasalahan yang di kemukakan kepada beliau, baik dari kaum muslim dan musyrikin.

Setelah Rasulullah SAW kembali menghadap rab semesta alam ALLAh SWT, kaum muslimin berkumpul di di tempat bani sa'idah sebelum rasulullah SAW di kuburkan, untuk menunjuk pengganti nabi Muhammad SAW sebagai khalifah muslimin, orang-orang anshor mencalonkan sa'ad bin ubadah sebagai pengganti nabi Muhammad SAW sebagai khalifah, akan tetapi mereka kembali teringat akan keutamaan abu bakar assiddiq, dan kelayakannya untuk mengemban amanat ini, dan juga  teringat ketika Rasul SAW meminta abu bakar untuk menggantikannya sebagai imam dalam sholat, ini semua menunjukkan bahwasanya dalam diri sahabat itu tidak ada keinginan kecuali untuk kemaslahatan umat muslim , dan merupakan pendaat yang salah jikalau ada yang beranggapan kalau sahabat itu saling memperebutkan kedudukan.

Setelah wafatnya Rasululla SAW, maka bermunculanlah orang yang murtad dan mani'I zakat., maka pada kekhilafahan ini abu bakar melalakukan  perlawanan terhadap kelompok- kelompok tersebut, juga melalakukan pengumpulan suhaifah-suhaifah Alqur'an yang masih berserakan, dan mengumpulkannya pada satu tempat,  setelah dua tahun tiga bulan Abu Bakar ra mememimpin khilafah islamiyah beliau kembali menghadap rab semesta alam, Allah SWT, yang bertepatan dengan jumadil II tahun 13 H , dan pada masa ini aqidah kaum muslimin masih berpegang ke pada al_quran dan sunnah. Dan belum terjadi penyimpangan.

Setelah kepepmimpina Abu Baker ra, maka Umar bin Khatab ra pun di bai’at sebagai khalifah Islamiyah yang ke dua, pada masa ini Umar ra melakukan perluasan Islam ke seluruh penjuru alam, sampai beberapa Negara  besar seperti Persi, Syam, Palestina, Mesir dan Barqah, dan mendirikan kantor kantor pemerintahan dan menetapakan undang-undang, dan tidak terjadi pada masa ini permasalahan dan perdebatan dalam aqidah.

Akan tetapai kebencian orang- orang yang tidak senag dengan kebenaran dan cahaya yang di bawa oleh Islam berusaha untuk membunuh khalifah umar bin khatab ra, maka pada suatau subuh  fairuz ataw yang di kenal dengan abu lu' alu' sholat fajar bersama kaum muslimin, maka pada saaat itu dia mendapatkan kesempatan untuk membunuh khalifah Umar bin Khatab ra, setelah peristiwa itu maka mulailah timbul fitnah

Dan setelah wafatnya Umar bin Khatab maka ke khalifahan pun di pegang oleh Usman bin Affan ra, dan beliu pun kembali melanjutkan penyebaran islam, serta menunjuk diantara kerabatnya yang dirasa mampu untuk mengemban amanat untuk  menjadi amir di daerah Islam yang baru saja di taklukkan, akan tetpai para musuh islam mengambil kesempatan dalam keadaan seperti ini, dengan menyebarkan makar bahwasanya Khalifah Usman ra telah melalkukan nepotisme  untuk mencela khalifah usman ra, adapun kepala dari semua ini adalah ibnu sauda' (Abdullah bin saba'), ia adalah  seorang yahudi yang yng telah mengutus para pengikutnya ke penjuru daerah Islam untuk melakukan perlawanan terhadap khalifah Usman ra, sehingga mereka dapat mempengaruhi sebagian dari orang- orang Basrah, Kufah dan mesir. Setelah Usman ra menarik kembali para amirnya , maka para musuh Islam kembali memanfaatkan kesempata ini, maka mereka mengerahkan kelompoknya menuju madinah untuk bertemu khalifah Usman ra, lalu khalifah memberikan penjelasana tentang ke khalifahan nya,, akan tetapi para musuh allah tidak menginginkan kecuali hanya untuk memecahkan kaum muslimin dan menghidupkan api perpecahan diantara kaum muslimin, maka merekapun membunuh khalifah Usman ra, dan dia sedang membaca Alquran yang bertepatan pada tahun tiga puluh lima hijriyah.

AWAL MUNCUL NYA KELOMPOK DALAM ISLAM

Dan akhirnya kekhilafahanpun di penganng oleh Ali bin Abi Thalib ra, sebagai pengganti usman bin affan ra, dan pada awal kekhalifahan beliau, terjadilah tuntutan terhadap Ali ra untuk mengusut masalah pembunuhan Usman bin Affan, dan memberika hukuman yang setimpal terhadap pelaku pembunuhan, akan tetapi ali ra , belum memberikan respon yang begitu memuaskan terhadap tuntutan yang di hadapkan kepadanya, karena pada awal pemerintahannya ali lebih mendahulukan untuk melakukan penataan terhadap system pemerintahan yang mana sebelumnya mengalami kekacauan, maka mu'awiyah bin abi sufyan pun mengambil langkah dengan mengumpulkan segenap kaum muslimin dan dia membawa pakaian Usman bin Affan yang masih belumur dengan darah, lalu meletakkannya di atas mimbar dimasqa, dan akhirnya beliaupun berorasi, sehingga kaum muslimin yang berada pada saat itu menagis.

Akhirnya Khalifah Alipun dan rombongannya berisiap-siap untuk ypergi menuju menuju syam untuk bertemu dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan untuk menyelesaikan permasalahan agar tidak tumbuh fitnah, akan tetapi pada ssaat itu Ali ra pun mengetahui bahwasanya rombongan Aisyah keluar dari makkah menuju menuju basrah, dan dalam rombongan tersebut ada Thalha bin Ubaidillah ra, Zubair bin Awam ra, dan juga para sahabat yang lain yang menuntut pengusutan terhadap pembunuhan Usman ra,.akhirnya ali pun mengudur kepergiannya ke Syam untuk menemui Mu'awiyah bin abi suffyan, dan berangkat menuju rombongan Aisyah ra, ke Basrah,untuk menjaga agar tidak terjadinya fitnah, akan tepapi taqdir Allah berkata lain, maka terjadilah perang jamal pada tahun 36 H., tetapi yang perlu kita ketahui bahwasanya peperangan ini terjadi disebabkan oleh musuh-musuh Islam yang ingin menghidupkan api perpercahan diantara kaum muslinmin, dan para sahabat waktu itu akhirnya melakukan perlawanan untuk membela diri,. Dan bukan lah tujuan utama dari Ali ra, untuk menghalangi rombongan Aisyah atau hal yang lainnya, melainkan agar tidak terjadinya fitnah diantara kaum muslimin.

Dan setelah itu  juga terjadi perang sifin antara kelompok Ali ra dan mu'awiyah bin abi Sufyan ra, maka muncullah tahkim (ebitrase) untuk menghentikan peperangan antara kaum muslimin, maka di utuslah Abu musa al_Asy’ary dari kelompok Ali ra, dan Amru bin Ash dari kelompok Mu'awiyah ra, akan tetapi para sejarawan menyelewengkan realita yang terjadi pada permasalahan ini, mereka mengatakan bahwasanya Amru bin Ash ra mengkhianati Abu Musa al_Asy’ary dengan  mengangapnya keluar dari Ali dan  Mu'awiyah, dan kemudian dia masuk ke golongan Mu'awiyah dan keluar dari Ali ra, dan mengakui Mu'awiyah sebagai khalafah, sebagaimna yang berkembang di tengah – tengah masyarakat, ini semua adalah bathil, dan tidak ada nash yang benar terhadap berita bohong tersebut.. imam Ibnu  Kastir  dan Qodhy Abu Bakar bin Araby menjelaskan bahwa riwayat ini tidak ada nash nya.

Dan sesuatu yang tidak mungkin terjadi terhadap para sahabat yang telah di tarbiyah oleh seorang rasul pilihan Muhammad SAW, akan melakukan perpecahan dan peperangan, sedangkan arsulullah Saw sendiri telah reda terhadap mereka.

 Seiring dengan terjadi nya  ebitrase  (tahkim) maka pengikut Ali pun terpecah menjadi dua kelompok, karena ada di antara mereka yang menerima tahkim dan tetap setia terhadap Ali ra, dan ada yang menolak tahkim dan keluar dari kelompok Ali ra, dan orang- orang yang masih besama dengan Ali ra di sebut dengan syi'ah, dan yang keluara dari kelompok Ali ra di sebut khawarij. Kelompok kahwarij juga di sebut dengan al_hururiyah, karena mereka berkumpul di satu daerah yang bernama haura'.

Sehingga dari kalangan sahabat yang lain tidak menginginkan ada perpecahan antara dua kelompok yang saling bersengketa, yaitu antara syi'ah dan khawarij tentang permasalahan tahkim maka mereka mengembalikan (irja') semua permasalah itu kepada Allah SWT. Yang di kenal dengan murji'ah. Diantara mereka adalah Abdullah bin Umar ra, Sa'ad bin Abi Waqash ra, Zaid bin Tsabit ra, Usamah bin Zaid ra,.akan tetapi setelah generasi ini bermunculanlah pendapat-pendapat yang melenceng dari aqidah yang sebenarnaya.

Dari sini jelaslah di tengah tengah umat Islam telah timbul tiga golongan yaitu syiah, khawarij, dan murji'ah. Dan yang jadi perbedaan di antara mereka adalah dalam masalah khilafah dan hukum, dan belum timbul lagi perdebatan tentang permasalah aqidah. Akan tetapi seiring berjalannya waktu  maka mulai muncul pemikiran – pemikiran tentang masalah aqidah, dan setelah munculnya tiga kelompok ini, maka bermunculanlah kelompok-kelompok lain, seperti Qadariyah, Jabariah, Musybbihah, Mu'tazilah dan lain sebagainya, yang mana pada akhirnya timbulnya penyelewengan dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW sehingga terjadinya penyimpangan terhadap Aqidah dan Tauhid.

PENYIMPANAGAN MAKNA TAUHID

Banyaknya praktek kesyirikan yang terjadi di tengah umat menandakan ada yang salah dalam pemahaman umat akan makna tauhid. Terlebih cara memaknanya dilatari sudut pandang kelompoknya masing-masing. Maka yang terjadi tauhid dipahami secara beragam sesuai “selera” masing-masing.
Menurut Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam risalahnya, Tsalatsah Al-Ushul, dinyatakan bahwa seagung-agung perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peribadahan. Dan seagung-agung larangan adalah syirik, yaitu menyeru kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersamaan dengan menyeru (beribadah) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini berdasarkan dalil surat An-Nisa` ayat 36, yang artinya: semmbahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan–Nya dengan sesuatupun.

Dalam memahami makna tauhid, yaitu makna Laa ilaha illallah, hendaknya perlu dicermati bahwa di tengah kehidupan masyarakat ada penyempitan pemahaman tentang makna Laa ilaha illallah ini:

1. Pemahamandikalangan Wihdatul wujudPara pengikut aliran wihdatul wujud yang dianut oleh Ibnu ‘Arabi dan para pengikutnya, menyatakan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah Laa ma’buda illallah (tidak ada yang disembah kecuali Allah) atau Laa ilaha maujudun illallah (tidak ada Ilah yang ada kecuali Allah).

Bila diartikan semacam itu, maka segala sesuatu yang disembah semuanya adalah Allah. Karena menurut pemahaman mereka bahwa Al-Wujud tidak terpilah antara Khaliq (pencipta) dengan makhluk. Semuanya (Khaliq dan makhluk) adalah Allah. Pemahaman semacam ini, di kalangan penganut wihdatul wujud, menjadikan al-wujud (menyatu) dan tidak dibedakan (antara makhluk dan Khaliq).

Maka seseorang yang menyembah manusia karena sesuatu, senyatanya dia menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seseorang yang menyembah sapi, berhala, batu, malaikat, semuanya diartikan menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena Allah adalah sesuatu yang wujud atau ada (al-wujud) secara mutlak (maka setiap yang wujud, seperti sapi, berhala, batu, malaikat, semuanya adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala..

Bagi mereka, seseorang yang memahami bahwa al-wujud itu terbagi dua bagian: Khaliq dan makhluk, maka orang tersebut dinyatakan sebagai musyrik. Seseorang tidak dikategorikan sebagai muwahhid (bertauhid) menurut mereka, kecuali dia mengatakan, “Sesungguhnya al-wujud (keberadaan) sesuatu itu satu, yaitu Allah.” Inilah kebatilan pemahaman wihdatul wujud, bahwa semua benda yang ada adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

2. Pemahaman Sebagian Ulama Ilmu KalamPara ulama al-kalam menyatakan bahwa Laa ilaha illallah maknanya adalah tidak ada yang berkuasa atas penciptaan, pengaturan, mengadakan (sesuatu) kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pemahaman semacam ini tidaklah benar. Pemahaman seperti ini setali tiga uang dengan pemahaman agama orang-orang musyrik. Dinyatakan oleh orang-orang musyrik: “Tidak ada yang mampu berkuasa atas penciptaan kecuali Allah.” “Tidak ada yang menghidupkan kecuali Allah.” “Tidak ada yang mematikan kecuali Allah.” “Tidak ada yang memberi rizki kecuali Allah.” Maka hal-hal tersebut hanya sebatas menyentuh aspek-aspek tauhid Rububiyah semata. Tidak termuat unsur-unsur tauhid Uluhiyah.

3. Pemahaman Al-Mu’tazilahBarangsiapa yang berjalan berdasar manhaj mereka, dia akan menafikan (menolak, meniadakan) nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena menurut pemahaman mereka, seseorang yang menetapkan Al-Asma wa Shifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seorang musyrik. Sedangkan yang dikategorikan sebagai orang yang bertauhid menurut mereka adalah orang yang menafikan Al-Asma wa Shifat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

4. pemahaman kalangan hizbiyyun Di kalangan pergerakan, mereka memiliki pemahaman tentang Laa ilaha illallah dengan makna La hukma illa lillah (Tidak hukum kecuali milik Allah). (Buah dari kekeliruan ini mengakibatkan mereka - walaupun meyakini Tauhid Uluhiyyah dan Rububiyyah - lebih memfokuskan masalah hakimiyyah ini yang terkadang mereka sebut dengan Al-Mulkiyyah. Hal itu sangat nyata bila kita melihat gerakan dakwah mereka.. Pemahaman ini disampaikan oleh Sayyid Quthb, dan ada seorang yang mengadopsi pemikiran Abul A’la Al-Maududi (seorang pendiri gerakan Jamaah Al-Islami di Pakistan).Kata Al-Maududi, Al-Ilah adalah Al-Hakim (yang berkuasa). Pemikiran Al-Maududi ini lahir karena dipengaruhi oleh pemikiran Hegel, seorang filosof Jerman. (Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi dalam Adhwa` Islamiyyah hal. 59. Beliau menukil dari Shalahudin Maqbul dalam bukunya Da’wah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wa Atsaruha fi Al-Harakat Al-Islamiyyah)

Menurut Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Al-Hakimiyyah sesuai namanya merupakan bagian dari makna Laa ilaha illallah. Karena makna kalimat tauhid secara sempurna adalah meliputi setiap bentuk peribadahan. Kalau makna Laa ilaha illallah hanya dibatasi dengan makna Al-Hakim, maka bagaimana dengan bentuk-bentuk peribadahan lainnya seperti ruku’, sujud, menyembelih, nadzar, mahabbah (cinta), khauf (takut), isti’anah (meminta pertolongan) dan lain-lain? Dan mana pula bentuk penafian terhadap berbagai bentuk kesyirikan?
Asy-Syaikah Fauzan berkata: “Menafsirkan kalimat Laa ilaha illallah dengan Al-Hakimiyyah merupakan tafsir yang pendek. Tidak memberikan makna Laa ilaha illallah (secara sempurna).”

Adapun menafsirkan Laa ilaha illallah dengan Laa khaliqa illallah (tiada pencipta selain Allah) adalah penafsiran yang batil, tidak semata penafsiran yang pendek. Karena kalimat Laa ilaha illallah tidaklah semata untuk menetapkan bahwa sesungguhnya tidak ada pencipta selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penetapan semacam ini sudah dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy dulu. Jadi, bila penetapan semacam ini benar maka menjadikan kaum musyrikin sebagai muwahhidin (orang-orang yang bertauhid). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’, niscaya mereka menjawab: ‘Allah’, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Az-Zukhruf: 87)Bila pemahaman Laa ilaha illallah adalah semacam itu, maka Abu Jahl dan Abu Lahab termasuk orang yang bertauhid. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 118)

         Pemahaman di sebagian Kalangan Sufi, Di kalangan Sufi, kalimat Laa ilaha illallah tidak diucapkan sempurna. Mereka meyakini bahwa mereka adalah orang-orang yang teramat khusus, istimewa (khawash al-khawash), sehingga mereka tak perlu mengucapkan kalimat tauhid secara sempurna tapi mencukupkan diri mengucapkan Allahu, Allahu. Begitulah dzikir mereka. Mereka berdzikir dengan mengucapkan secara berulang kalimat Allahu, Allahu, Allahu.

        Kalimat yang diucapkan itu merupakan isim mujarrad (sekedar menyebut nama), yang tidak memberi faedah tauhid sedikitpun. Mestinya kalimat tersebut harus dalam bentuk jumlah mufidah (kalimat yang sempurna) sehingga memberi arti atau faedah.

        Bahkan sebagian mereka tidak lagi mengucapkan lafzhul jalalah (Allahu), tetapi hanya mengucapkan huwa, huwa, huwa, yang merupakan kata ganti tunggal orang ketiga (dhamir ghaib). Tentu saja, inipun tidak memberikan manfaat sedikitpun. Ini merupakan tindakan mempermainkan kalimat tauhid. Lebih parah lagi, sebagian mereka tidak melafadzkan Allahu atau huwa, namun hanya menyatakan dengan hatinya. (Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam Tafsir Kalimat At-Tauhid hal. 132)

Bagaimana dengan pemahaman Ahlus Sunnah wa Jamaah? Inilah pemahaman yang benar dalam memahami kalimat tauhid. Makna Laa ilaha illallah telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat-ayat-Nya dan telah diterangkan pula oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya : dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An-Nisa`: 36)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)

Padahal eka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah: 5)

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Dzat Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku’.” (Az-Zukhruf: 26-27)Makna Laa ilaha illallah pun bisa dipahami dari ayat:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam َ-

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaha illallah.” Dalam riwayat lain: “Sampai mereka mengesakan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 1335, 2886 dan At-Tirmidzi no. 2606)

 Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh peribadahan. Makna Laa ilaha illallah adalah tidak ada yang disembah secara haq kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Yaitu dengan mengikhlaskan atau memurnikan peribadahan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, termasuk di dalam tahkim asy-syari’ah (berhukum dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala). (Al-Ajwibah Al-Mufidah hal. 118) Dengan ini dipahami bahwa kalimat tersebut mengandung pengertian menafikan (menolak, menghilangkan) segala bentuk Ilah (sesembahan), menafikan segala bentuk kesyirikan, dan menetapkan bahwa peribadahan itu hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab

.Khawarij

Laa hukma illa lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah  Kata-kata ini haq adanya, karena merupakan kandungan ayat yang mulia. Namun jika kemudian ditafsirkan menyimpang dari pemahaman salafush shalih, kebatilanlah yang kemudian muncul. Bertamengkan kata-kata inilah, Khawarij, kelompok sempalan pertama dalam Islam, dengan mudahnya mengkafirkan bahkan menumpahkan darah kaum muslimin.

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Mereka adalah orang-orang yang memberontak terhadap pemerintah di akhir masa kepemimpinan ‘Utsman bin ‘Affan yang mengakibatkan terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian di masa kepemimpinan ‘Ali bin Abu Thalib, keadaan mereka semakin buruk. Mereka keluar dari ketaatan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib, mengkafirkannya, dan mengkafirkan para shahabat. Ini disebabkan para shahabat tidak menyetujui madzhab mereka. Dan mereka menghukumi siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka dengan hukuman kafir. Akhirnya mereka pun mengkafirkan makhluk-makhluk pilihan yaitu para shahabat .” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31), Cikal bakal mereka . Diriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id, telah ada sejak jaman Rasulullah   dan beliau Al-Khudri, ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah  sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim, kepada Rasulullah SAW. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah  bersabda: “Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.”

            Maka ‘Umar bin Al-Khaththab berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal  berkata: “Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai lehernya!” Rasulullah  pengikut yang salah seorang dari kalian merasa bahwa shalat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat dan puasa mereka, mereka selalu membaca Al Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah, dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat rishaf-nya (tempat masuknya nashl pada anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat nadhiy-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada pada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah (hewan buruan itu). Ciri-cirinya, (di tengah-tengah mereka) ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payudara wanita atau seperti potongan daging yang bergoyang-goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”

Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “ aku bersaksi bahwa aku mendengarnya dari Rasulullah  ‘Ali bin Abu Thalib yang memerangi mereka dan aku bersamanya. MakaAli, memerintahkan untuk mencari seorang laki-laki (yang disifati oleh Rasulullah  di antara mayat-mayat mereka) dan ditemukanlah ia lalu dibawa (ke hadapan ‘Ali), dan aku benar-benar melihatnya sesuai dengan ciri-ciri yang disifati oleh .” (Shahih, HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabuz Zakat, bab Rasulullah  Dzikrul Khawarij wa Shifaatihim, 2/744)

Asy-Syihristani t berkata: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan Khariji (seorang Khawarij), baik keluarnya di masa shahabat terhadap Al-Khulafa Ar-Rasyidin atau terhadap pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.” (Al-Milal wan Nihal, hal. 114)

Al-Imam An-Nawawi berkata: “Dinamakan Khawarij dikarenakan keluarnya mereka dari jamaah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) :jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah “Akan keluar dari diri orang ini…” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145).Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Dinamakan dengan itu (Khawarij) dikarenakan keluarnya mereka dari din (agama) dan keluarnya mereka dari ketaatan terhadap orang-orang terbaik dari kaum muslimin.” (Fathul Bari Bisyarhi Shahihil Bukhari, 12/296).Mereka juga biasa disebut dengan Al-Haruriyyah karena mereka (dahulu) tinggal di Harura yaitu sebuah daerah di Iraq dekat kota Kufah, dan menjadikannya sebagai markas dalam memerangi Ahlul ). (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Adl (para shahabat Rasulullah  Al-Hajjaj, 7/145) Disebut pula dengan Al-Maariqah (yang keluar), karena banyaknya hadits-hadits yang menjelaskan tentang muruq-nya (keluarnya) mereka dari din (agama). Disebut pula dengan Al-Muhakkimah, karena mereka selalu ), mengulang kata-kata Laa Hukma Illa Lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah  suatu kalimat yang haq namun dimaukan dengannya kebatilan. Disebut pula dengan An-Nawashib, dikarenakan berlebihannya mereka dalam menyatakan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib. (Firaq Mu’ashirah, 1/68-69, Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji, secara ringkas)

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, madzhab mereka adalah tidak berpegang dengan As Sunnah wal Jamaah, tidak mentaati pemimpin (pemerintah kaum muslimin), berkeyakinan bahwa memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin merupakan bagian dari agama. Hal ini agar senantiasa mentaati menyelisihi apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah  pemerintah (dalam hal yang ma’ruf/ yang tidak bertentangan dengan syariat), dan  dalam menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah  firman-Nya:

“Taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kalian.” (An-Nisa 59)

 menjadikan dan Nabi-NyaIAllah  ketaatan kepada pemimpin sebagai bagian dari agama… Mereka (Khawarij) menyatakan bahwa pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) telah kafir, tidak diampuni dosa-dosanya, kekal di neraka. Dan ini bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Al Qur’an). (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31-33)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Mereka berkeyakinan atas kafirnya ‘Utsman bin ‘Affan dan orang-orang yang bersamanya. Mereka juga berkeyakinan sahnya kepemimpinan ‘Ali (sebelum kemudian dikafirkan oleh mereka) dan kafirnya  dari Ahlul Jamal.”4 (Fathul Bari, orang-orang yang memerangi ‘Ali  12/296)

Al-Hafidz t juga berkata: “Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka, maka ia kafir, halal darah, harta dan keluarganya.” (Fathul Bari, 12/297)

Peperangan antara Khawarij dan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib, Setelah Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan terbunuh, maka orang-orang Khawarij ini bergabung dengan pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib. Dalam setiap pertempuran pun mereka selalu bersamanya. Ketika terjadi pertempuran Shiffin (tahun 38 H) antara pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib dengan pasukan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dari penduduk Syam yang terjadi selama berbulan-bulan -dikarenakan ijtihad mereka masing-masing-, ditempuhlah proses tahkim (pengiriman seorang utusan dari kedua pihak guna membicarakan solusi terbaik bagi masalah yang sedang mereka alami).

Orang-orang Khawarij tidak menyetujuinya, dengan alasan bahwa hukum itu hanya milik Allah dan tidak boleh berhukum kepada manusia. Demikian pula tatkala dalam naskah ajakan tahkim dari ‘Ali bin Abu Thalib termaktub: “Inilah yang diputuskan oleh Amirul Mukminin ‘Ali atas Mu’awiyah…” lalu penduduk Syam tidak setuju dengan mengatakan, “Tulislah namanya dan nama ayahnya,” (tanpa ada penyebutan Amirul Mukminin). ‘Ali pun menyetujuinya, namun orang-orang Khawarij pun mengingkari persetujuan itu.

Setelah disepakati utusan masing-masing pihak yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak ‘Ali dan ‘Amr bin Al-‘Ash dari pihak Mu’awiyah, dan disepakati pula waktu dan tempatnya (Dumatul Jandal), maka berpisahlah dua pasukan tersebut. Mu’awiyah kembali ke Syam dan ‘Ali kembali ke Kufah, sedangkan kelompok Khawarij dengan jumlah 8.000 orang atau lebih dari 10.000 orang, atau 6.000 orang, memisahkan diri dari ‘Ali dan bermarkas di daerah Harura yang tidak jauh dari Kufah.

Pimpinan mereka saat itu adalah  mengutus Abdullah bin Kawwa’ Al-Yasykuri dan Syabats At-Tamimi. Maka ‘Ali  shahabat Abdullah bin ‘Abbas untuk berdialog dengan mereka dan banyak dari keluar menemui mereka, maka mereka pun akhirnya mereka yang rujuk. Lalu ‘Ali  , dan ikut bersamanya ke Kufah, bersama dua orang pimpinan mereka.menaati ‘Ali  telah bertaubat dari masalah tahkim, Kemudian mereka membuat isu bahwa ‘Ali  , lalutkarena itulah mereka kembali bersamanya. Sampailah isu ini kepada ‘Ali  ia berkhutbah dan mengingkarinya. Maka mereka pun saling berteriak dari bagian pun  sampi masjid (dengan mengatakan): “Tiada hukum kecuali untuk Allah.” ‘Ali  menjawab: “Kalimat yang haq (benar) namun yang dimaukan dengannya adalah kebatilan!”berkata kepada mereka: “Hak kalian yang harus Kemudian ‘Ali  kami penuhi ada tiga: Kami tidak akan melarang kalian masuk masjid, tidak akan melarang kalian dari rizki fai’, dan tidak akan pula memulai penyerangan selama kalian tidak berbuat kerusakan.”Secara berangsur-angsur pengikut Khawarij  senantiasatakhirnya keluar dari Kufah dan berkumpul di daerah Al Madain. ‘Ali  mengirim utusan agar mereka rujuk. Namun mereka tetap bersikeras menolaknya mau bersaksi atas kekafiran dirinya dikarenakan masalah tahkim hingga ‘Ali  mengirim utusan lagi (untuk mengingatkan mereka) tatau bertaubat. Lalu ‘Ali  namun justru utusan tersebut hendak mereka bunuh dan mereka bersepakat bahwa yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka maka dia kafir, halal darah dan keluarganya. Aksi mereka kemudian berlanjut dalam bentuk fisik, yaitu menghadang dan membunuh siapa saja dari kaum muslimin yang melewati daerah mereka. Ketika Abdullah bin Khabbab bin Al-Art -yang saat itu menjabat sebagai - berjalan melewati daerah kekuasaantsalah seorang gubernur ‘Ali bin Abu Thalib  Khawarij bersama budak wanitanya yang tengah hamil, maka mereka membunuhnya dan merobek perut budak wanitanya untuk mengeluarkan anak dari perutnya.
, maka ia pun keluar untuk memerangitSampailah berita ini kepada ‘Ali  mereka bersama pasukan yang sebelumnya dipersiapkan ke Syam. Dan akhirnya mereka berhasil ditumpas di daerah Nahrawan beserta para gembong mereka seperti Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi, Zaid bin Hishn At-Tha’i, dan Harqush bin Zuhair As-Sa’di. Tidak selamat dari mereka kecuali kurang dari 10 orang dan tidaklah terbunuh dari pasukan ‘Ali kecuali sekitar 10 orang.
Sisa-sisa Khawarij ini akhirnya bergabung dengan simpatisan madzhab mereka dan sembunyi-sembunyi semasa , hingga salah seorang dari mereka yang bernama Abdurrahman kepemimpinan ‘Ali  yang saat itu sedang melakukan shalat bin Muljim berhasil membunuh ‘Ali  Shubuh. (diringkas dari Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t, 12/296-298, dengan beberapa tambahan dari Al-Bidayah wan Nihayah, karya Al-Hafidz Ibnu Katsir, 7/281)

Kafirkah Khawarij?

Kafirnya Khawarij masih diperselisihkan di kalangan ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar t berkata: “Sebagian besar ahli ushul dari Ahlus Sunnah berpendapat bahwasanya Khawarij adalah orang-orang fasiq, dan hukum Islam berlaku bagi mereka. Hal ini dikarenakan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan selalu melaksanakan rukun-rukun Islam. Mereka dihukumi fasiq, karena pengkafiran mereka terhadap kaum muslimin berdasarkan takwil (penafsiran) yang salah, yang akhirnya menjerumuskan mereka kepada keyakinan akan halalnya darah, dan harta orang-orang yang bertentangan dengan mereka, serta persaksian atas mereka dengan kekufuran dan kesyirikan.” (Fathul Bari, 12/314)Al-Imam Al-Khaththabi berkata: “Ulama kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya Khawarij dengan segala kesesatannya tergolong firqah dari firqah-firqah muslimin, boleh menikahi mereka, dan memakan sembelihan mereka, dan mereka tidak dikafirkan selama masih berpegang dengan pokok keislaman.” (Fathul Bari, 12/314)Al-Imam Ibnu Baththal t berkata: “Jumhur ulama berpendapat bahwasanya Khawarij tidak keluar dari kumpulan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 12/314)

adapun yang menyebabkan mereka kepada kesesatan, Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Yang demikian itu disebabkan kebodohan mereka tentang agama Islam, bersamaan dengan wara’, ibadah dan kesungguhan mereka. Namun tatkala semua itu (wara’, ibadah, dan kesungguhan) tidak berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya menjadi bencana bagi mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 35)

Demikan pula, mereka enggan untuk mengambil pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) dalam memahami masalah-masalah din ini, sehingga terjerumuslah mereka ke dalam kesesatan.Anjuran Memerangi Mereka

bersabdaRasulullah “Maka jika kalian mendapati mereka (Khawarij), perangilah mereka! Karena sesunggguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/747, dari shahabat ‘Ali bin Abu Thalib z).

“Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum ‘Aad.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)

Dalam lafadz  bersabda: yang lain beliau “Jika aku mendapati mereka, benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum Tsamud.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri)

Al-Imam Ibnu Hubairah berkata: “Memerangi Khawarij lebih utama dari memerangi orang-orang musyrikin. Hikmahnya, memerangi mereka merupakan penjagaan terhadap ‘modal’ Islam (kemurnian Islam), sedangkan memerangi orang-orang musyrikin merupakan ‘pencarian laba’, dan penjagaan modal tentu lebih utama.” (Fathul Bari, 12/315)

Madzhab Khawarij ini sesungguhnya terus berkembang (di dalam merusak aqidah umat) seiring dengan bergulirnya waktu. Oleh karena itu Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menasehatkan: “Wajib bagi kaum muslimin di setiap masa, jika terbukti telah mendapati madzhab yang jahat ini untuk mengatasinya dengan dakwah dan penjelasan kepada umat tentangnya. Jika mereka (Khawarij) tidak mengindahkannya, hendaknya kaum muslimin memerangi mereka dalam rangka membentengi umat dari kesesatan mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 37) Wallahu a’lam bish shawab.

KELOMPOK MURJI’AH

Munculnya kelompok-kelompok sesat dan para penghasungnya, merupakan petaka bagi kehidupan beragama umat manusia. Keberadaannya di tengah-tengah umat, ibarat duri dalam daging yang semakin lama semakin merusak dan membahayakan. Syubhat-syubhat yang digulirkan pun, kian hari kian mendangkalkan tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari mereka. Tak pelak, dengan kemunculannya terburailah ikatan persatuan umat yang telah dirajut sebaik-baiknya oleh baginda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Di antara kelompok sesat yang telah menyimpang dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah kelompok Murji`ah. Ia merupakan kelompok sempalan yang berorientasi pada pendangkalan keimanan. Syubhat-syubhatnya amat berbahaya bagi tonggak-tonggak keimanan yang telah terhunjam dalam sanubari umat. Dasar pijakannya adalah akal dan pengetahuan bahasa Arab yang dipahami sesuai dengan hawa nafsu mereka, layaknya kelompok-kelompok bid’ah lainnya. Mereka berpaling dari keterangan-keterangan yang ada dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, serta perkataan para sahabat dan tabi’in. (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/118)

Murji`ah, nisbat kepada irja` (إِرْجَاء) yang artinya mengakhirkan. Kelompok ini disebut dengan Murji`ah, dikarenakan dua hal:
Karena mereka mengakhirkan (tidak memasukkan,) amalan ke dalam definisi keimanan. (Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 113), Karena keyakinan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhirkan (membebaskan,) adzab atas (pelaku,) kemaksiatan. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, karya Al-Imam Ibnul Atsir, 2/206)

Di antara sekian nama yang diidentifikasi sebagai pelopor utamanya adalah:
a.  Ghailan Ad-Dimasyqi, seorang gembong kelompok sesat Qadariyyah yang dibunuh  
     pada tahun 105 H. (Lihat Al-Milal Wan Nihal, karya Asy-Syahrastani hal. 139).
b.  Hammad bin Abu Sulaiman Al-Kufi. (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/297 dan 311).
c. Salim Al-Afthas. (Lihat Kitabul Iman, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal.179)
    Murji`ah tergolong kelompok sesat yang tua umurnya. Ia muncul di akhir-akhir abad  
    pertama Hijriyyah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi dari Syu’bah dari Zubaid, ia berkata: ‘Ketika muncul kelompok Murji`ah, maka aku mendatangi Abu Wa`il dan aku tanyakan kepada beliau perihal mereka.’ Maka tampaklah dari sini bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dengan aqidah mereka (Murji`ah), dan disampaikan (kepada Abu Wa`il) di masa kemunculannya. Sementara Abu Wa`il sendiri wafat pada tahun 99 H dan ada yang mengatakan pada tahun 82 H. Dari sini terbukti, bahwa bid’ah irja` tersebut sudah lama adanya.” (Fathul Bari 1/137)

Kemudian kelompok sesat Murji`ah ini tampil secara lebih demonstratif di negeri Kufah (Irak,). Sehingga jadilah mereka sebagai rival (tandingan) bagi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah, dengan pahamnya bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.” (Lihat Majmu’ Fatawa 13/38)

Murji`ah sendiri terpecah menjadi beberapa sekte, masing-masing memiliki bentuk kesesatan tersendiri. Di antara mereka, ada yang murni Murji`ah dan ada pula yang tidak. Adapun yang murni Murji`ah antara lain; Yunusiyyah (pengikut Yunus bin ‘Aun An-Numairi), ‘Ubaidiyyah (pengikut ‘Ubaid Al-Mukta`ib), Ghassaniyyah (pengikut Ghassan Al-Kufi), Tsaubaniyyah (pengikut Abu Tsauban Al-Murji’), Tumaniyyah (pengikut Abu Mu’adz At-Tumani), dan Shalihiyyah (pengikut Shalih bin Umar Ash-Shalihi). Sedangkan yang tidak murni Murji`ah, antara lain; Murji`ah Fuqaha (Murji`ah dari kalangan -sebagian- ahli fiqih Kufah, pengikut Hammad bin Abu Sulaiman), Murji`ah Qadariyyah (Murji`ah dari kalangan kelompok anti taqdir, pengikut Ghailan Ad-Dimasyqi), Murji`ah Jabriyyah (Murji`ah yang juga beraqidah Jabriyyah, pengikut Jahm bin Shafwan, gembong kelompok sesat Jahmiyyah), Murji`ah Khawarij (Mereka adalah sempalan kelompok Khawarij yang tampil beda dengan induk semangnya, yaitu dengan tidak memberikan sikap sedikitpun alias ber-tawaqquf terhadap pelaku dosa besar), Murji`ah Karramiyyah (Murji`ah dari pengikut Muhammad bin Karram, salah seorang gembong Musyabbihah1). (Majmu’ Fatawa 7/543-550, Al-Milal Wan Nihal, hal. 140-145 dan Firaq Mu’ashirah, 2/761)

Secara garis besar, kesesatan Murji`ah dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Mereka semua sepakat bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.
       Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hakikat keimanan, dengan tiga versi:
       - Iman: keyakinan dalam hati dan perkataan dengan lisan (versi Murji`ah Fuqaha).
       - Iman  pengetahuan/ pembenaran dalam hati saja (versi Jahm bin Shafwan dan    
 mayoritas Murji`ah).
 - Iman:  perkataan dengan lisan saja (versi Muhammad bin Karram).

 pendapat ini dapat kita tolak berdasar kan dalil naqli dan aqli :

Pertama: Kesepakatan mereka bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan, sungguh bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama salaf dan yang mengikuti jejak mereka.

Dalam Al-Qur`an, seringkali Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut amalan shalih dengan sebutan iman. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya) berkata: “Seringkali Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut amalan shalih dengan sebutan iman. Sebagaimana dalam firman-Nya:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (Al-Anfal: 2-4)

Adakalanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa amalan shalih dalam Al-Qur`an sebagai ciri/tanda bagi orang-orang beriman, yang sekaligus sebagai isyarat bahwa predikat mukmin tak bisa diraih hanya dengan keyakinan di hati dan ucapan di lisan saja, akan tetapi harus dengan pembuktian amalan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman itu. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (Al-Mu`minun: 1-9)

Dalam As-Sunnah, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun seringkali menyebutkan bahwa amalan adalah bagian dari iman. Di antaranya sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Iman itu mempunyai 60 sekian cabang. Cabangnya yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’ dan cabangnya yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu (juga) cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 58, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Dalam hadits ini diterangkan, bahwa iman mempunyai cabang yang banyak jumlahnya. Ada yang berupa ucapan (amalan) lisan seperti ucapan ‘Laa ilaaha illallah’. Ada yang berupa amalan tubuh seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Ada pula yang berupa amalan hati seperti sifat malu.

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu dengan lisannya maka dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, no. 78, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu) Dalam hadits ini diterangkan bahwa amalan mengingkari kemungkaran merupakan bagian dari iman.

Adapun ijma’ adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Merupakan ijma’ (kesepakatan) para shahabat, tabi’in, dan yang kami jumpai dari para ulama (dunia), bahwa iman meliputi perkataan, amalan, dan niat (keyakinan hati). Tidaklah mencukupi salah satu darinya tanpa sebagian yang lain.” (Majmu’ Fatawa 7/308)

Kedua: Adapun tiga versi tentang hakikat keimanan yang ada pada kaum Murji`ah, maka semuanya bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’, bahkan bertentangan dengan fitrah yang suci. Hal ini bisa dibuktikan dengan memerhatikan poin-poin berikut:
 Pernyataa mereka bahwa iman hanya dengan keyakinan dalam hati dan perkataan lisan, tanpa beramal.

Apakah Al-Jannah itu diraih dengan santai-santai tanpa amalan dan kesungguhan?! Kalau begitu, untuk apa kita diperintah untuk shalat, zakat, shaum Ramadhan, haji, dan amalan shalih lainnya?

 Pernyataan mereka bahwa iman sebatas pembenaran/ pengetahuan dalam hati saja.
Lalu apa bedanya iman kita dengan ‘iman’ sebagian orang-orang kafir?

 Pernyataan mereka bahwa iman hanya dengan perkataan lisan saja.Kalau begitu, apa bedanya dengan iman kaum munafik yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Di antara prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah bahwa iman meliputi perkataan, amalan, dan keyakinan hati. Ia bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa pula berkurang dengan sebab kemaksiatan. Iman bukan sekadar perkataan dan amalan, tanpa adanya keyakinan di hati, karena yang demikian merupakan imannya kaum munafiqin. Bukan pula sebatas ma’rifah (wacana) tanpa ada perkataan dan amalan. Karena yang demikian itu merupakan ‘iman’ orang-orang kafir durjana… Bukan pula iman hanya keyakinan hati belaka, atau perkataan dan keyakinan hati tanpa amalan. Karena yang demikian itu merupakan imannya Murji`ah.” (Min Ushuli Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hal. 19)

Bahwa iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang, akan tetapi ia merupakan satu kesatuan yang utuh. Sehingga suatu dosa besar (kemaksiatan) tidaklah dapat mengurangi/merusak keimanan sedikit pun, sebagaimana pula suatu ketaatan tak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasiq, bahkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

pertama: Pernyataan mereka bahwa iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang, sungguh bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.Dalam Al-Qur`an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bahwa iman dapat bertambah disebabkan ketaatan dan dapat berkurang disebabkan kemaksiatan. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang dikatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya manusia (orang-orang kafir Quraisy, pen.) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kalian kepada mereka,’ maka perkataan itu justru menambah keimanan mereka dan menjawab: ‘Cukuplah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Penolong kami dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173) yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami karuniakan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (Al-Anfal: 2-4)

“Dan supaya orang-orang yang beriman itu, semakin bertambah keimanannya.” (Al-  
   Muddatstsir: 31)

Di dalam As-Sunnah, banyak juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa iman bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Di antaranya adalah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu dengan lisannya maka dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, no. 78, dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu)

Tidaklah iman itu dikatakan lemah/berkurang, kecuali karena dia bisa kuat/bertambah.

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masingnya ada kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Adanya mukmin yang kuat dan mukmin yang lemah, menunjukkan bahwa iman masing-masing orang berbeda-beda, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas (bertambah atau berkurang).

Adapun ijma’ ulama, maka sebagaimana yang dikatakan Musa bin Harun Al-Hammal: “Telah mendiktekan (imla`) kepada kami Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullahu: ‘Tanpa ada keraguan sedikit pun, bahwa iman meliputi perkataan dan amalan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Hal itu berdasarkan riwayat-riwayat dan atsar yang shahih lagi pasti, serta pernyataan-pernyataan individu dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in, dan generasi setelah tabi’in dari kalangan ahli ilmu. Mereka semua sepakat dan tak berselisih dalam hal ini. Demikian pula di masa Al-Auza’i di Syam, Sufyan Ats-Tsauri di Irak, Malik bin Anas di Hijaz, dan Ma’mar bin Rasyid di Yaman. (Pernyataan) mereka semua sama dengan kami, yaitu iman meliputi perkataan dan amalan, bisa bertambah dan bisa berkurang’.”8 (Majmu’ Fatawa 7/308)

-Kedua: Adapun perkataan mereka (Murji`ah) bahwa ‘dosa besar (kemaksiatan) tidak dapat mengurangi/merusak keimanan sedikitpun, sebagaimana pula suatu ketaatan tak akan bermanfaat bersama kekafiran. Atas dasar itu, pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasiq, bahkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala’, merupakan perkataan batil dan sesat dari beberapa sisi. Di antaranya adalah:

- Bahwa prinsip yang dijadikan landasan bagi perkataan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama, sebagaimana yang telah disebutkan pada poin pertama. Sehingga, segala prinsip yang dibangun di atasnya pun menjadi batil.

- Bahwa dalil-dalil tentang bisa bertambahnya iman, sekaligus berfungsi sebagai dalil tentang bisa berkurangnya. karena sebelum iman itu bertambah maka dia berkurang.

- Para ulama sepakat bahwa keimanan itu tidaklah berkurang kecuali dengan sebab kemaksiatan. Sebagaimana yang dikatakan Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu: “Ahli fiqih dan hadits telah sepakat bahwa iman meliputi perkataan dan amalan, dan tidak ada amalan kecuali berdasarkan niat. Demikian pula, iman bisa bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa pula berkurang dengan kemaksiatan.” (At-Tamhid, 9/238)

- Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar tidak bisa dihukumi sebagai orang fasiq, bahkan tergolong orang yang sempurna imannya dan tak akan mendapatkan adzab apapun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ini adalah batil dan sesat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Mencela seorang muslim merupakan kefasikan, dan memeranginya merupakan kekufuran.” (HR. Al-Bukhari no. 48, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu)

Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Baththah dengan sanadnya yang sampai kepada Mubarak bin Hassan, ia berkata: “Aku pernah berkata kepada Salim Al-Afthas (salah seorang pelopor Murji`ah, pen.): ‘Ada seseorang yang taat kepada Allah dan tidak bermaksiat kepadanya, ada pula seseorang yang bermaksiat kepada Allah dan tidak menaati-Nya, kemudian keduanya meninggal dunia. Maka Allah masukkan seorang yang taat tersebut ke dalam Al-Jannah (surga) dan Allah masukkan si pelaku maksiat ke dalam An-Naar (neraka). Apakah antara keduanya ada perbedaan dalam hal keimanan?’ Maka Dia (Salim Al-Afthas) menjawab:

‘Tidak ada perbedaan antara keduanya.’ Akhirnya kejadian ini kusampaikan kepada ‘Atha` (salah seorang imam tabi’in, pen.), lalu beliau berkata: ‘Tanyakan kepadanya apakah iman itu sesuatu yang baik ataukah sesuatu yang buruk? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): ‘ Supaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagian di atas yang lain, lalu semuanya Dia tumpuk dan Dia masukkan ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.’ (Al-Anfal: 37). Maka, kutanyakan kepada mereka (Murji`ah, pen.) apa yang disarankan oleh ‘Atha`, dan tak seorang pun dari mereka (kaum Murji`ah) yang mampu menjawabnya.”11 (Majmu’ Fatawa 7/180)

MU’TAZILAH

Sejarah Munculnya Mu’tazilahKelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48)

Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29)
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65)

(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolak ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)

Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 )

Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)

Asas dan Landasan Mu’tazilahMu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun.
Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:

Landasan Pertama: At-Tauhid

Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).

Bantahan:
1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli Iyang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil sam’i: bahwa Allah  mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak, padahal Dia  berfirman:IDzat Yang MahaTunggal. Allah

Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)

Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “ (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)

2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81)
Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.

Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan)

Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan . Dalilnya adalah datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah  :Ifirman Allah

 “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)

“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)

Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.

Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya :Iadalah firman Allah

“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)

Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki Idan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah  berfirman:

‘Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.”     
(Al-Insan: 30)

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat:96)

Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai  yang merupakan bagian dari taqdir AllahIkedok untuk mengingkari kehendak Allah  . Atas dasar inilah mereka lebih pantas disebut dengan Qadariyyah, Majusiyyah,I dan orang-orang yang zalim.

Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id

Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.

1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang demikian , karena termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya danIitu kepada Allah  sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.
Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Terlebih lagi Dia telah menyatakan:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).

2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari)(Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu )

Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan

Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).Bantahan:

1.Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah

Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2).Dan juga firman-Nya:

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)

rasulullah SAW bersabda: “Keimanan itu (mempunyai) enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah z)

Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim

.Bantahan:

Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. berfirman:Allah

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)

Rasulullah bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman)

Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti:
-.   Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.
-. Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.

- Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.

- Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).

Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah)

betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45).

Di saat- saat berkembangnya penyimpangan- penyimpangan dari aqidah yang benar, dan banyak timbulnya khurafat dikalangan umat islam, maka datanglah ahlu sunnah waljama'ah uyang membawa ajaran serta aqidah yang benar sesuai dengan al_quran dan sunnah untuk menyelamatkan umat islam dari penyimpangan dan pemahaman aqidah yang salah.



SIAPAKAH AHLUH SUNNAH

Istilah Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu? Dan siapa pula kelompok yang disebut Rasulullah sebagai orang-orang asing?

Telah menjadi ciri perjuangan iblis dan tentara-tentaranya yaitu terus berupaya mengelabui manusia. Yang batil bisa menjadi hak dan sebaliknya, yang hak bisa menjadi batil. Sehingga ahli kebenaran bisa menjadi pelaku maksiat yang harus dimusuhi dan diisolir. Dan sebaliknya, pelaku kemaksiatan bisa menjadi pemilik kebenaran yang harus dibela. Syi’ar pemecah belah ini merupakan ciri khas mereka dan mengganggu perjalanan manusia menuju Allah merupakan tujuan tertinggi mereka.

Akan tetapi iblis la’tullah alihi tidak akan tinggal diam, mereka selalu berusaha untuk enjatuhkna para orang- orang yang benar lagi lurus drai jalan Allah yang haq.Dalam upayanya mengelabui mangsanya, Iblis akan mengatakan bahwa ahli kebenaran itu adalah orang yang harus dijauhi dan dimusuhi, dan kebenaran itu menjadi sesuatu yang harus ditinggalkan, dan dia mengatakan: “Sehingga Engkau ya Allah menemukan kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Al A’raf: 17)

Demikian halnya yang terjadi pada istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Istilah ini lebih melekat pada gambaran orang-orang yang banyak beribadah dan orang-orang yang berpemahaman sufi. Tak cuma itu, semua kelompok yang ada di tengah kaum muslimin juga mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Walhasil, nama Ahlus Sunnah menjadi rebutan orang. Mengapa demikian? Apakah keistimewaan Ahlus Sunnah sehingga harus diperebutkan? Dan siapakah mereka sesungguhnya?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus merujuk kepada keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam dan ulama salaf dalam menentukan siapakah mereka yang sebenarnya dan apa ciri-ciri khas mereka. Jangan sampai kita yang digambarkan dalam sebuah sya’ir: Semua mengaku telah meraih tangan Laila Dan Laila tidak mengakui yang demikian itu Bahwa tidak ada maknanya kalau hanya sebatas pengakuan, sementara dirinya jauh dari kenyataan. Secara fitrah dan akal dapat kita bayangkan, sesuatu yang diperebutkan tentu memiliki keistimewaan dan nilai tersendiri. Dan sesuatu yang diakuinya, tentu memiliki makna jika mereka berlambang dengannya. Mereka mengakui bahwa Ahlus Sunnah adalah pemilik kebenaran. Buktinya, setelah mereka memakai nama tersebut, mereka tidak akan ridha untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah dan memiliki jalan yang salah. Bahkan mengatakan bahwa dirinya merupakan pemilik kebenaran tunggal sehingga yang lain adalah salah. Mereka tidak sadar, kalau pengakuannya tersebut merupakan langkah untuk membongkar kedoknya sendiri dan memperlihatkan kebatilan jalan mereka. Yang akan mengetahui hal yang demikian itu adalah yang melek dari mereka. As Sunnah

Berbicara tentang As Sunnah secara bahasa dan istilah sangat penting sekali. Di samping untuk mengetahui hakikatnya, juga untuk mengeluarkan mereka-mereka yang mengakui sebagai Ahlus Sunnah. Mendefinisikan As Sunnah ditinjau dari beberapa sisi yaitu sisi bahasa, syari’at dan generasi yang pertama, ahlul hadits, ulama ushul, dan ahli fiqih.

As Sunnah menurut bahasa

As Sunnah menurut bahasa adalah As Sirah (perjalanan), baik yang buruk ataupun yang baik. Khalid bin Zuhair Al Hudzali berkata: Jangan kamu sekali-kali gelisah karena jalan yang kamu tempuh Keridhaan itu ada pada jalan yang dia tempuh sendiri.

As Sunnah menurut Syari’at Dan Generasi Yang Pertama

Apabila terdapat kata sunnah dalam hadits Rasulullah atau dalam ucapan para sahabat dan tabi’in, maka yang dimaksud adalah makna yang mencakup dan umum. Mencakup hukum-hukum baik yang berkaitan langsung dengan keyakinan atau dengan amal, apakah hukumnya wajib, sunnah atau boleh.

As Sunnah Menurut Ahli Hadits

As sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).

As Sunnah Menurut Ahli Ushul Fiqih
Menurut Ahli Ushul Fiqih, As Sunnah adalah dasar dari dasar-dasar hukum syaria’at dan juga dalil-dalilnya

.As Sunnah Di Sisi Ulama Fiqih

As Sunnah di sisi mereka adalah apa-apa yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.

 Siapakah Ahlus Sunnah
Ahlu Sunnah memiliki ciri-ciri yang sangat jelas di mana ciri-ciri itulah yang menunjukkan hakikat mereka.

Syaikh Rabi’ dalam kitab beliau Makanatu Ahli Al Hadits hal. 3-4 berkata: “Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi)-nya para sahabat dan tabi’in dalam berpegang terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah dan menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mendahulukan keduanya atas setiap ucapan dan petunjuk, kaitannya dengan aqidah, ibadah, mu’amalat, akhlaq, politik, maupun, persatuan. Mereka adalah orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkah Allah kepada hamba dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang tampil untuk berdakwah dengan penuh semangat dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah para pembawa ilmu nabawi yang melumatkan segala bentuk penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, kerancuan para penyesat dan takwil jahilin. Mereka adalah orang-orang yang selalu mengintai setiap kelompok yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidah (Syi’ah), Murji’ah, Qadariyah, dan setiap orang yang menyeleweng dari manhaj Allah, mengikuti hawa nafsu pada setiap waktu dan tempat, dan mereka tidak pernah mundur karena cercaan orang yang mencerca.”

Ciri Khas Mereka

1. Mereka adalah umat yang baik dan jumlahnya sangat sedikit, yang hidup di tengah umat yang sudah rusak dari segala sisi. Rasulullah bersabda:

“Berbahagialah orang yang asing itu (mereka adalah) orang-orang baik yang berada di         
tengah orang-orang yang jahat. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada orang      
yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad)

Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Madarijus Salikin 3/199-200, berkata: “Ia adalah orang asing dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka, asing pada berpegangnya dia terhadap sunnah dikarenakan berpegangnya manusia terhadap bid’ah, asing pada keyakinannya dikarenakan telah rusak keyakinan mereka, asing pada shalatnya dikarenakan jelek shalat mereka, asing pada jalannya dikarenakan sesat dan rusaknya jalan mereka, asing pada nisbahnya dikarenakan rusaknya nisbah mereka, asing dalam pergaulannya bersama mereka dikarenakan bergaul dengan apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka”.

Kesimpulannya, dia asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, dan dia tidak menemukan seorang penolong dan pembela. Dia sebagai orang yang berilmu ditengah orang-orang jahil, pemegang sunnah di tengah ahli bid’ah, penyeru kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah orang-orang yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah, penyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran di tengah kaum di mana yang ma’ruf menjadi munkar dan yang munkar menjadi ma’ruf.”

Ibnu Rajab dalam kitab Kasyfu Al Kurbah Fi Washfi Hal Ahli Gurbah hal 16-17 mengatakan: “Fitnah syubhat dan hawa nafsu yang menyesatkan inilah yang telah menyebabkan berpecahnya ahli kiblat menjadi berkeping-keping. Sebagian mengkafirkan yang lain sehingga mereka menjadi bermusuh-musuhan, berpecah-belah, dan berpartai-partai yang dulunya mereka berada di atas satu hati. Dan tidak ada yang selamat dari semuanya ini melainkan satu kelompok. Merekalah yang disebutkan dalam sabda Rasulullah: “Dan terus menerus sekelompok kecil dari umatku yang membela kebenaran dan tidak ada seorangpun yang mampu memudharatkannya siapa saja yang menghinakan dan menyelisihi mereka, sampai datangnya keputusan Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”

2. Mereka adalah orang yang berada di akhir jaman dalam keadaan asing yang telah disebutkan dalam hadits, yaitu orang-orang yang memperbaiki ketika rusaknya manusia. Merekalah orang-orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia dari sunnah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang lari dengan membawa agama mereka dari fitnah. Mereka adalah orang yang sangat sedikit di tengah-tengah kabilah dan terkadang tidak didapati pada sebuah kabilah kecuali satu atau dua orang, bahkan terkadang tidak didapati satu orangpun sebagaimana permulaan Islam.

Dengan dasar inilah, para ulama menafsirkan hadits ini. Al Auza’i mengatakan tentang sabda Rasulullah: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing.” Adapun Islam itu tidak akan pergi akan tetapi Ahlus Sunnah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri melainkan satu orang.” Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji sunnah dan mensifatinya dengan asing dan mensifati pengikutnya dengan kata sedikit.” (Lihat Kitab Ahlul Hadits Hum At Thoifah Al Manshurah hal 103-104)

Demikianlah sunnatullah para pengikut kebenaran. Sepanjang perjalanan hidup selalu dalam prosentase yang sedikit. Allah berfiman:“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”

Dari pembahasan yang singkat ini, jelas bagi kita siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah dan siapa-siapa yang bukan Ahlus Sunnah yang hanya penamaan semata. Benarlah ucapan seorang penyair mengatakan :

Semua orang mengaku telah menggapai si Laila Akan tetapi si Laila tidak mengakuinya

Walhasil Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman, amalan, dan dakwah salafus shalih. Dan jalan mereka (Ahlus Sunnah) inilah yang mesti diikuti..karena, telah jelas dipaparkan oleh Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya umat Beliau yang tidak akan pernah sesat menuruti hawa nafsu mereka hanyalah orang–orang yang senan tiasa berpegang teguh pada Al Quran dan menjadikan sunnah Beliau sebagai pegangan yang menjadi tameng dalam kehidupan.

Dampak negative timbulnya kelompok

Seiring berjalannya waktu, mulai dari awal munculnya cahaya Islam di atas permungkaan bumi ini hingga saat sekarang, para musuh Allah selalu saja menginginkan kehancuran terhadap agama Allah, dan timbulnya perpecahan diantara kaum muslimin. Sehingga Islam itu lenyap dari atas pemungkaan bumi ini. Perpecahan pun timbul di dalam tubuh Islam, dan munculnya kelompok-kelompok yang selalu di pelopori oleh orang-orang yag tidak senang dengan Islam, dengan mempengaruhi cara berfikir mereka,sehingga timbulnya ta’asub, dan pada akhirnya  tidak lagi bersatu pada din Allah akan tetapi selalu mendahulukan kelompok- kelompok mereka,. dan tidak lagi berjalan pada tuntunan Alquran kecuali pada hal – hal yang sesuai dengan jalan dan cara berfikir mereka, sehingga timbul; bid’ah, khurafat, tahayul, bahkan kesyirikan yang benar- benar sudah jauh dari ajaran Islam itu sendiri, dan terkadang itu tidak di sadari oleh pengikut-pengikut mereka yang awam, yang hanya berpengang pada perkataan guru / syeikh mereka yag mana mereka bukanlan rasul atau nabi yang membawa syariat baru, sehingga penyakit ini sampai ke anak cucu mereka dan keturunan setelah mereka dan sulit untuk di obati.

Berabad abad sudah perjalannan hidup manusia di dunia ini, semenjak Islam muncul dengan cahayanya dan membawa  petunjuk kehidupan, sampai akhirnya muncul perpecahan dalam tubuh Islam dan bekembangnya kelompok-kelompok yang sangat memberikan pengaruh negative terhadap umat Islam sampai hari ini, dan makin bertambahnya kelompok-kelompok dalam tubuh Islam seiring dengan berjalannya waktu yang makin merusak pada pemahaman aqidah islam yang sebenarnya dan melenceng dari tuntunan Rasulullah SAW, dapat kita lihat di tengah-tengah kehidupan kita sehari- hari masih juga kita temukan yang namanya bid’ah khurafat tahayul, bahkan perbuatan- perbuatan yang membawa kepada ke syirikan. dan kelompok- kelompok yang berkembang pada era sekarang seperti Ahmadiyah, Islam Sejati dan yang lainnya itu merupakan kelompok perusak aqidah umat, yang mesti  basmi dan di jauihi, dan jga pemikiran- pemikiran yang berkembang pada saat sekarang, yang mengutamakam logika ats segala sesuatunya termasuk juga dalam pengambilan hukum, seperti yang kita kenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). dan ini semua merupakan jalan yang dilakukan oleh orang – orang tidak senang dengan cahaya kebenaran yang di bawa oleh Islam untuk keselamatan umat manusia,dah semesta alam.

Rasulullah SAW sendiri bersabda bahwasannya akan  muncul di dalam islam itu 73 kelompok, dan hanya satu yang dari 73 kelompok itu yang benar, yang masih berjalan dalam koridor islam yang sebenarnya. Dan  koridr islam yang sebenar nya itu adalah, menurut sabda Rasulullah SAW adalh AL-Quran dan sunnah beliau, yaitu jalan yang di tempuh oleh ahlu sunnah waljama’ah demi membentengi diri di saat tergelinirnya umat Islam dari jalan yang sebenarnya., Allah A’lam Bishawab.


By : syukri alfauzi
        Fakultas ushuliddin tk.I
        Jojoba_fansclub@yahoo.com



Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]