Fikih Negara dalam Islam
FIQHU’D DAWLAH;
Konsepsi Awal Perpolitikan Islam
pcimmesir.com - Sebagaimana diungkapkan Cak Nur dalam Islam,
Doktrin dan Peradaban, bahwa dari empat disiplin Ilmu Keislaman Tradisional
yang mapan yaitu ilmu fiqh ('ilm al-fiqh), ilmu kalam (`ilm al-kalam), ilmu
tasawuf (`ilm al-tashawwuf) dan falsafah (al-falsafah atau al-hikmah), fiqh adalah yang paling kuat mendominasi pemahaman orang-orang
Muslim akan agama mereka. sehingga, karenanya, paling banyak membentuk bagian terpenting
cara berpikir mereka. Maka, ketika ulama fikih mengalami kejumudan pemikiran, fikih
yang lahir dari para fuqoha itu sendiri terkena imbasnya. Dan pada
akhirnya kaum musliminpun akan mengalami kebekuan pemikiran sebagai imbas dari
kejumudan ilmu fikih.
Fikih sebagaimana yang kita kenal sekarang, lebih
banyak berkutat seputar tata cara beribadah (fikih ibadah), muamalat (fikih
muamalah), dan hukuman (fikih uqubât). Sedangkan pembahasan yang
menjelaskan pengaturan negara dalam Islam sering terabaikan. Hal ini merupakan
imbas lain dari kejumudan para pakar fikih.
Imam Ibnu Qoyyim menceritakan kejumudan para ulama
fikih di zamannya (abad ke-8 Hijriyah) untuk membahas masalah-masalah
kenegaraan. Bahkan, para fuqoha tersebut memaksa pemerintah saat itu untuk
membuat undang-udang negara yang terpisah dari hukum Islam. Dan barangkali
inilah –sebagaimana diungkapkan Yusuf Qordhowi- awal undang-undang Negara
menggantikan Syariat Islam.
Kedudukan Negara dalam Islam
Salah satu kesuksesan Barat menghegemoni
negara-negara Islam adalah keberhasilanya menanamkan ide “Islam adalah agama,
bukan Negara” pada kaum muslimin. Agama adalah teologi yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya saja. Adapun urusan negara cukup diatur oleh akal
manusia saja dan tidak perlu campur tangan agama. Paham yang memisahkan negara dengan
agama ini kemudian kita kenal dengan istilah Sekulerisme.
Barat ingin menerapkan pada Islam di Timur apa
yang mereka lakukan terhadap Kristen di Barat. Sebagaimana kebangkitan kristen
di Barat diinspirasi dari pemisahan Negara dari agama, maka Barat merencanakan
kebangkitan (baca: yang sebenarnya kehancuran) Islam dengan memisahkan agama
dari negara. Salah satu semboyan yang terus dilancarkan adalah agama untuk
Tuhan, negara untuk rakyat. Dengan demikian agama harus terpisah dari negara.
Agama tidak punya ruang untuk ikut serta mengatur Negara. Contoh Negara yang
menyerap ide sekulerisme secara penuh adalah Turki yang dipimpin oleh Kamal Atatruk.
Turki berhasil memisahkan negara dari agama setelah menghacurkan Khilafah Ustmaniyah, benteng terakhir yang
dimiliki kaum muslimin. Dalam Islam, negara
adalah bagian yang tak terpisahkan dari agama. Karena makna agama, sebagaimana
diungkapakan Dr. Amir abdul Aziz mencakup negara karena sifat Islam yang
universal. Memisahkan agama dan negara berarti memisahkan bagian esensial dari
agama itu sendiri. (lih. Nidzâmu’l Islam, Dr. Amir Abdul Aziz, hal: 72)
Adapun
dalil- dalil yang menunjukkan Islam adalah Agama dan Negara:
Dari al-Quran
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Susungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Meliha”t
(QS. An- Nisa:58)
Ayat diatas ditujukan kepada para penguasa untuk menjaga amanat, menegakkan
keadilan, karena menghilangkan amanat dan keadilan akan merusak ummat dan
Negara.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rosul (Nya), dan
pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rosul (Quran dan Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat”(QS. An-Nisa:59).
Ayat ini ditujukan kepada kaum muslim untuk taat kepada pemerintah setalah
ketaatan kapada Allah dan Rasul-Nya. Serta memerintahkan untuk kembali kepada
al-Quran dan Sunah jika ada perselisihan diantara mereka.
Dari Sejarah Islam
Adapun dalil dari sejarah Islam dapat kita lihat
dari kerja keras Rasulullah untuk membentuk Negara Islam. Dan oleh karena
keinginan kuat itu, ketika beliau merasa
tidak mampu untuk menegakkan panji-panji Islam di Makkah karena kuatnya tekanan
dari kaum kufâr saat itu, beliau memerintahkan kaum muslimin untuk
berhijrah menuju Madinah dimana disana kaum muslimin akan dapat menjalankan
ajaran Islam secara leluasa. Bahkan al-Quran justru mengecam kaum muslimin yang
sengaja tinggal dilingkungan kaum kafir, sebab otomatis mereka tidak dapat
menjalankan agama secara utuh.
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada meraka) malaikat
bertanya:”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” mereka menjawab: “kami adalah
orang-orang yang tertindas di negri Mekkah.” Para malaikat itu berkata:”
bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”.
Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya
tempat kembali” (QS. An-Nisa: 97)
Dalam sejarah Islam, kaum muslimin tidak pernah
mengenal pemisahan Negara dari agama kecuali setelah serangan pemikiran dari
kaum sekuler. Hal inilah yang dikhwatirkan oleh Rasulullah, sehingga beliau memerintahkan
kita untuk melawannya dengan sekuat tenaga.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Muaz, Rosulullah
bersabda: ”Ingatlah, sesungguhnya roda Islam itu akan berputar, maka
bentuklah lingkungan Islam dimanapun kamu berada. Ketahuilah bahwa al-Quran dan
kekuasaan akan berpisah (agama dan negara). Maka janganlah kamu meninggalkan
al-Quran. Ingatlah, akan datang suatu masa dimana pemimpin memenuhi hajat
hidupnya dan mengabaikamu, jika kamu mengingkarinya mereka akan membunuhmu,
apabila kamu mentaatinya meraka akan menyesatkanmu”.
Dalil dari Sifat (Thobi’ah) Syariat Islam:
Salah satu karekteristik syariat Islam adalah
sifatnya yang universal dan syariatnya yang mencakup segala aspek kehidupan.
Oleh karena itu syariat juga mencakup aspek yang mengatur kehidupan bernegara
bagi kaum muslimin.
Syariat Islam memerintahkan kaum muslimin untuk
menunaikan amanat, melaksanakan kewajiban. Islam membenci huru-hara dan anarkis
dalam segala sesuatu. Rasulullah sendiri ketika menjadi imam dalam salat selalu
berusaha untuk menyamakan shâf makmum, beliau juga mengajarkan kaum
mslimin agar lebih memprioritaskan orang yang paling berilmu diantara para
jamaah untuk menjadi imam (pemimpin(.
Dalam Siyasah Syar`iyyah, Imam Ibnu
Taimiyah berkata: “wajib diketahui, bahwa kekuasaan atau wilâyah atas
urusan manusia merupakan kewajiban terbesar dari kewajiban-kewajiban
agama, bahkan tidak berdiri agama dan juga dunia kecuali dengan kekuasaan (mengatur
urusan manusia dengan penuh amanah). Sesungguhnya kemaslahatan manusia tidak
akan terpenuhi kecuali dengan hidup bermasyarakat, karena kebutuhan satu sama
lainnya, dan harus ada ditengah-tengah masyarakat seorang pemimipin. Rasulullah
bersabda: ”apabila tiga orang keluar untuk suatu perjalanan, hendaklah salah
seorang menjadi pemimpin (perjalanan)”.
Konsep Negara dalam Islam
Disamping sebagai ajaran yang menjadi penghubung
antara hamba dengan Tuhannya. Islam juga menjadi rahmat bagi kehidupan manusia
antara satu dengan yang lainnya. Islam tidak hanya berusaha membentuk pribadi
yang sholeh atau keluarga sholeh an sich, namun Islam juga memiliki konsep
bagaimana mengatur sebuah negara menjadi negara yang sejahtera dan dirahmati Allah
Swt.. Konsep Negara dalam Islam dapat kita lihat sebagai berikut:
A. Negara Sipil yang Berasas Islam
Negara dalam Islam bukanlah “negara agama” (dawlah
dîniyyah) sebagaiman dikenal sebelum Islam. Juga bukan model negara yang
kita kenal setelah kedatangan Islam seperti negara sekuler. Dalam “negara agama”,
kekuasaan negara dipegang oleh sekelompok tokoh agama (rijâluddîn) yang
berkuasa atas nama Tuhan (al-haq al-ilâhiy). Seorang rijâluddîn
dalam “negara agama” menjadi wakil Tuhan dimuka bumi. Maka segala tindakan dan
perkataannya suci dan sakral. Tidak ada satupun yang boleh membantah sekalipun
tindakan tersebut keliru dan menyimpang dari ajaran agama itu sendiri.
Konsep negara dalam Islam adalah negara sipil yang
berdasarkan ajaran Islam, ba`iat dan syuro (musyawarah mufakat). Penguasa dalam
Negara Islam dipilih dari orang yang
kuat dan amanah. Maka siapapun yang tidak memiliki ilmu dan tidak amanat
tidak boleh menjadi pemimpin negara kecuali dalam keadaan darurat. Islam
sendiri tidak mengenal istilah pemegang agama (rijâluddîn) sebagaimana
yang dikenal dalam agama lain. Islam hanya mengenal istilah ulama yang
berkecimpung dalam berbagai macam ilmu keislaman.
Adapun hubungan ulama dengan negara dalam Islam adalah
adanya kewajiban bagi para ulama tersebut untuk memberi nasehat kepada pemimpin
negara. Kewajiban ini tidak terbatas kepada para ulama saja, melainkan untuk
seluruh kaum muslimin. Dalam Islam setiap muslim bertanggung jawab atas
agamanya. “…sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu)
orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf
dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan.(QS. Al-Hajj: 40-41).
B. Negara
Terbuka (Dawlah `Âlamiyyah)
Konsep negara yang diusung oleh Islam tidak
dibatasi oleh letak geogarafis, etnis, iklim dan sebagainya. Negara Islam
adalah negara terbuka untuk semua kaum muslimin. Hal ini sesuai misi syariat Islam
“menjadi rahmat bagi sekalian manusia”. Dalam Negara Islam kaum muslimin tidak
dibedakan berdasarkan negara, bahasa, warna kulit dan identitas lainnya,
melainkan disatukan oleh akidah yang satu, rosul yang satu, kitab yang satu,
syariat yang satu dan kiblat yang satu.
Untuk mewujudkan Negara Islam yang terbuka tentu
tidak segampang membalikkan telapak tangan apalagi dengan kondisi umat Islam yang
terbagi dan terpecah belah kedalam beberapa negara seperti sekarang. Maka untuk
untuk mewujudkan Negara Islam dapat dimulai oleh suatu negara dimana rakyatnya
memilih Syariat Islam sebagai undang-undang negara. (Penjelasan lebih lanjut
mengenai konsep Negara dalam Islam dapat dilihat di buku Min Fiqhi’d Daulah
Fi’l Islâm karya Dr.Yusuf Qordhowi).
Ciri-ciri
Negara Islam (Thobi’atu’d Dawlah
fi’l Islâm)
Salah satu ciri Negara Islam adalah sifat
penguasanya yang tidak mutlak. Segala keputusan dan perkataanya tidak ada yang
sakral. Ia boleh saja melakukan kesalahan. Dan kewajiban para ulamalah khususnya
dan umat pada umumnya untuk meluruskannya. Seorang pemimipin dalam Negara Islam
tunduk kepada hukum yang tidak ia ciptakan sendiri atau partainya melainkan
tunduk kepada humum Tuhan (ajaran Islam) yang diturunkan kepada semesta alam.
Maka dengan demikian, tidak ada seorang yang mendapat keringanan untuk tidak
menjalankan hukum syariat Islam.
Dalam Negara Islam rakyat berhak dan wajib menentang
jika diperintah oleh pemimpinnya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan syariat Islam. Kerena ketika bertentangan antara perintah Tuhan dan
perintah pemimipim maka hukum Tuhan harus didahulukan “Tidak ada ketaatan
kepada makluk untuk maksiat kepada Allah”. Abu Bakar berkata dalam khutbah baiatnya:
“Taatilah aku selagi aku taat kepada Allah, dan jika aku maksiat janganlahlah
kamu mentaatiku. Jika aku benar maka bantulah aku, jika aku melakuan kesalahan
tentanglah aku”
Pemimpin negara Islam bukanlah wakil Tuhan
melainkan wakil umat. Dan umatlah yang memilihnya. Inilah yang membedakan
antara Negara Islam dengan Negara Agama. Dalam Negara Agama, para pemimpin
adalah wakil Tuhan yang semua tindakan dan ucapannya adalah mewakili Tuhan yang
tidak boleh salah.
WalLâhu ‘alamu bi’s showâb
Artiyanto Arsuni
Mahasiswa
Syariah Islamiyah Tk 1,
Universitas Al-Azhar Kairo
Post A Comment
Tidak ada komentar :