PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Islam dan Modernisme; Upaya Klarifikasi Terhadap Distorsi Barat



Kehidupan manusia yang terus berkembang menyebabkan berkembangnya kebudayaan dan peradaban. Istilah al-nâs (manusia) dalam bahasa Arab, yang menurut ahli bahasa berasal dari kata unâsun pun mempunyai makna tumbuh dan bergerak. Makna tersebut selaras dengan hakikat manusia yang selalu berkembang dan bergerak tidak stagnan ataupun pasif. Maka hakikat inilah yang menyebabkan perkembangan peradaban manusia, gaya hidup pun berubah seiring dengan berubahnya zaman, ditambah peran ilmu pengetahuan dan teknologi, kehidupan manusia pun bertambah maju dan modern.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah modernisasi berarti sebuah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Sedangkan menurut ensiklopedia wikipedia, modernisme lebih bersifat sebagai konsep yang suatu saat dapat menyebabkan sebuah modernisasi (proses modern). Selanjutnya modernitas (modernity) sebagai anak kata modernisme bermakna perubahan suatu kelompok masyarakat civil society pada era industrialisasi. Sedangkan zaman yang membedakannya disebut era modern (modern era).

Sebenarnya banyak hal yang berkaitan dengan terminologi modern dilihat dari berbagai aspek, baik asal mula munculnya istilah ini hingga dapat juga ditelusuri dampak modernisme saat ini jika dilihat dari dua peradaban besar dunia yaitu peradaban Barat yang diwakili benua Eropa dan Amerika serta peradaban Timur sebagai tempat asal mula agama Islam berkembang. Tulisan kali ini akan lebih membahas asal mula munculnya terminologi modern, kemudian fase munculnya modernisasi Barat dan tenggelamnya Golden Era Islam. Selain itu penulis juga akan mengkaji korelasi antara modernisasi dan westernisasi sekaligus komparasinya dalam frame modernisasi Islam ditambah pengaruh positif dan negatifnya serta upaya preventif penanggulangan dampak negatifnya.

Modernisasi Bermula dari Islam Bukan Produk Barat

Jika mengidentifikasi terma modernisasi sebagai sebuah produk peradaban Barat, yang selanjutnya menjadi penyebab munculnya paham westernisasi, maka sebenarnya kita belum final memahami istilah modernisasi ini. Jika demikian, maka identifikasi yang kita lakukan, bisa dikatakan  masih bersifat prematur, bahkan bisa menjadi disidentifikasi lantaran identifikasi yang salah. Hal itu disebabkan karena dalam bahasa Arab, terma modernisasi sering disebut dengan at-tahdîts atau at-tajdîd, yang mempunyai peran besar dalam perkembangan peradaban manusia bahkan menjadi lampu pijar dikala ilmu dan teknologi manusia masih berada pada masa kegelapan waktu itu (the dark age [13M] ).

Islam dengan Quran dan Sunah  sebagai pokok ajaranya, telah mampu membimbing manusia dari zaman kegelapan menuju gemerlapnya ilmu pengetahuan. Bahkan dalam kitab Sîrah an-Nabawiyah karangan Dr. 'Ali Muhammad As-Shalâbiy, zaman jahiliyah (kebodohan) telah usai dengan datangnya risalah Islam 1400 tahun yang lalu. Bahkan dengan diwahyukan al-Quran kepada Rasulullah Saw., pada abad ke -7 M yang lampau, ajaran Islam masih tetap eksis dan applicable hingga saat ini.

Sebenarnya Islamlah agama yang berhak menyandang predikat modern dan agama pertama yang memperkenalkan istilah modern (at-tajdîd wa at-tahdîts) di samping disebabkan karena eksistensi dan relevansi ajaranya hingga akhir zaman. Istilah tahdîts atau at-tajdîd jika Prof.DR.Quraisy Shihab memaknainya sebagai modernisasi sebenarnya telah muncul pada zaman Rasulullah Saw.. Hal itu terbukti telah disebutkan dalam suatu Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah yang menjelaskan akan datangnya para mujaddid (pembaharu) di setiap penghujung abad kehidupan manusia. Sahel al-sha'luki (w.387H) memaknai istilah tajdid sebagaimana dikutip oleh Quraisy Shihab pada makalahnya "Tafsir dan Modernitas" dengan makna mengembalikan ajaran agama sebagaimana keadaannya pada masa salaf pertama. Meskipun menurut beliau tidak semua ajaran Islam --al-Qur'an khususnya- dipahami sesuai dengan pemahaman para sahabat serta para tabi'in. Karena di lingkungan para sahabat juga terdapat perbedaan dalam memahami al-Qur'an. 'Aidh bin Hatim misalnya, memahami arti al-khayt al-abyadh min al-khayt al-aswad sebagai makna hakiki yaitu benang. Modernisasi Islam menurut beliau adalah bagaimana memahami Islam sesuai dengan zaman artinya Islam adalah agama yang shâlih likulli zamân wa al-makân. Dan yang lebih penting adalah memaknai bahwa Islam sebagai rahmatan lil-'âlamîn.

Toby E.Huff dalam bukunya "The Rise of Early Modern Science Islam, China and the West” yang kemudian dialihbahasakan oleh Dr. Muhammad 'Ushfur pada bukunya "Fajrul 'Ilmi al-Hadîts" mengungkapkan bahwa Islam dan umatnya adalah pelopor kebangkitan Ilmu pengetahuan. Dimana pada waktu itu di Barat, masih banyak orang yang berpandangan bahwa mempelajari ilmu pengetahuan akan mendatangkan masalah bagi kemanusiaan. Bahkan cara pandang tersebut diperkeruh dengan dominasi gereja dan perlawananya terhadap ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan terjadinya revolusi dan munculnya paham sekularisme. Banyak ilmuwan Barat yang harus menjadi korban hegemoni kaum pendeta akibat penemuan ilmiahnya yang ternyata menghasilkan statemen yang kontradiksi dengan dogma-dogma Kristen. Pada saat itu pengaruh gereja (Church Father) sangatlah kental terasa. Mereka membatasi para ahli dan ilmuwan untuk menghasilkan karya ilmiah, termasuk karya di bidang ekonomi. Bahkan seseorang dapat dianggap membelot dari ajaran Tuhan bila bertentangan dengannya, dan hukuman mati pun akan diberikan padanya. Pada abad kegelapan tersebutlah, dunia Barat mengalami kemunduran di bidang keilmuan.

Munculnya para Ilmuwan Islam menjadi bukti kongkrit bagi masa kejayaan Islam, yang bertolak belakang dengan nasib dunia Barat dan Eropa yang ketika itu masih dalam masa-masa kegelapan (Dark Age). Ketika itulah para Ilmuwan Islam muncul. Di antara mereka kita kenal Ibnu Rusyd (Averrous) dan Ibnu Khaldun yang multi-disiplin ilmu, kemudian al-Ghazali, al-Kindi dalam ranah filsafat, al-Jabbar sebagai pelopor ilmu hitung (al-hisâb), Ibnu Sina dalam ilmu kedokteran, serta Ibnu Taymiyah disamping sebagai seorang yang keras dalam purifikasi akidah Islam dari pengaruh bid'ah ia juga berhasil mengeluarkan teori yang dikenal dengan ‘price volatility’ atau naik turunnya harga di pasar. Dalam hal tersebut Ibnu Taymiyah pernah menyatakan bahwa Sebab naik turunnya harga di pasar bukan hanya karena adanya ketidakadilan yang disebabkan orang atau pihak tertentu, tetapi juga karena panjang singkatnya masa produksi (intâj) suatu komoditi. Jika produksi naik dan permintaan turun, maka harga di pasar akan naik, sebaliknya jika produksi turun dan permintaan naik, maka harga di pasar akan turun. Teori ini kalau kita kaji lebih dalam, maka kita akan  tercengang. Karena teori tersebut menyangkut hukum permintaan dan penawaran (supply and demand) di pasar, yang kini justru secara ironi diakui sebagai teori yang berasal dari dunia barat.

Maka sangat jelas sekali bahwa istilah modern dan modernisasi (at-tajdîd wa at-tahdîts) telah lama sekali muncul dalam agama Islam. Bahkan datangnya Islam sendiri adalah sebagai upaya modernisasi kehidupan umat manusia. Konsep modernisasi ini juga telah diterapkan pada zaman Rasulullah dalam ajaran Islam yang menyuruh kepada perlunya menggunakan akal dan upaya pembelajaran serta mengkaji ciptaan Allah dalam ranah ilmu pengetahuan. Allah berfirman: " Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mukmin." (QS. Al-Ankabut :44)

Munculnya Modernisasi Barat dan Tenggelamnya Kejayaan Islam

Era modernisasi Barat muncul pada abad ke-15 sampai abad-18 yang kemudian sering juga disebut sebagai masa muda modernisasi yang awalnya timbul di benua Eropa yang ditandai dengan ditemukannya penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan juga upaya reposisi Barat dalam kolonialisme dan kapitalisme. Meski alasan kolonialisme lebih mendominasi adanya modernisasi, terjadinya revolusi industri juga dinilai sebagai awal mula modernisasi Barat. Sehingga tidak heran jika kemudian ditemukan benua Amerika oleh Christoper Columbus pada tahun 1492, yang kemudian juga ikut berperan dalam upaya modernisasi kehidupan manusia hingga saat ini, bahkan Eropa dan Amerika kini menjadi basis modernisasi dunia.

Sejatinya babak baru modernisasi Barat atau Eropa juga berkaitan dengan berakhirnya masa keemasan (golden era) Islam. Jatuhnya Granada di Andalusia 1492 M dan hancurnya Baghdad 1258 M menjadi awal pembuka kesuraman Islam. Dan setelah itu umat Islam tak pernah lagi mengecap kembali zaman keemasan, yang ada hanyalah keterpurukan terus-menerus diberbagai bidang, terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara eksplisit, masa kejayaan Islam diakhiri dengan berhasilnya Sultan Muhammad II (al-Fatih) dari dinasti Usmaniyah menguasai Konstantinopel (dulu Ibu kota Romawi Timur yang kini bernama Istanbul-Turki) pada 29 Mei 1453 M.

Sedangkan dari ranah intelektual, cendikiawan terakhir yang menjadi penutup adalah Imam Jalaluddin Suyuti (w. 1505 M), ulama besar yang memiliki masterpiece Tafsir al-Jalâlayn dan Târîkh al-Khulafâ. Dan yang lebih tragis lagi, Baghdad yang dulu menjadi ka'batu’l Qusshâd, kiblat ilmu pengetahuan Islam juga hancur akibat serangan bangsa Tartar (Mongol) pada tahun 1258 M. Sehingga kebanyakan buku-buku warisan intelektual ilmuwan Islam dibakar dan dibuang ke laut sehingga tintanya pun melebur dan menurut hikayat menjadikan laut berwarna hitam. Sungguh merupakan sebuah akhir riwayat modernisasi pengetahuan Islam yang tragis.

Jikalau dulu Eropa pada masa kegelapan (dark age) sedangkan umat Islam gemilang pada zaman golden era, kini yang terjadi sebaliknya. Setelah kemunduran dan kemerosotan umat Islam dari berbagai segi terjadi, maka penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1455 M justru mengantarkan Eropa pada gerbang Renaissance (masa pencerahan). Tahun 1492 M, Chrishtoper Columbus menemukan Amerika. Bahkan tujuh tahun setelahnya 1499 M Vasco da Gama berlayar dari Eropa menuju India dan kembali dengan selamat. Keberhasilan itu menginspirasikan pada jalur Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Praktis, blokade silk road di Laut Merah di Mesir dan Selat Bosporus di Istanbul oleh kaum muslimin pun menjadi tak berarti.

Revolusi Perancis (1789-1799 M) telah membuat perubahan signifikan bagi benua biru. Keberanian rakyat Perancis menghukum mati raja mereka dan menggantungnya di jalanan membuat kaum ningrat (aristocrat) ketar-ketir. Bagaikan bom waktu, revolusi itu langsung menjalar ke seluruh Eropa. Raja-raja besar harus rela berbagi kekuasaan dengan suara rakyat melalui parlemen. Bongkar pasang sistem demokrasi terus bergulir, mengakibatkan perang saudara berdarah-darah. Pengorbanan itu memunculkan para pakar dan ilmuwan, salah satu yang terkenal Montesquieu (1689-1755 M) dengan trias politikanya.

Keberhasilan teori revolusi segera diikuti oleh berbagai negara lain, dengan meletusnya revolusi industri abad ke-18 M. Dirangsang oleh penemuan mesin uap oleh James Watt (1736-1819 M), Benua Eropa dilanda kemajuan berlipat ganda. Pesatnya penemuan baru dan melonjaknya produksi telah menjadi rutinitas bagi "Eropa Baru". Semua itu berakibat mendesaknya akan kebutuhan barang mentah dalam skala besar. Baik migas dan non-migas. Barang tambang maupun rempah-rempah. Kekayaan bumi Eropa sama sekali tak mencukupi memenuhi permintaan pasar. Dimulailah era imperialisme dan kolonialisme. Spanyol dan Portugal berada dalam garda depan pada sektor ini. Didukung penuh oleh pemerintah dan Paus, melalui slogan Gold, Glory, dan Gospel, mereka berhasil menjelajah dunia. Yang masih dapat jelas kita lihat sampai sekarang adalah Amerika Latin dan Amerika Selatan. Wilayah ini hingga sekarang menjadi basis komunitas Bahasa Spanyol. Di Asia yang sangat kentara berada di Timor Timur jajahan Portugal, dan Filipina jajahan Spanyol.

Kalah bersaing dengan pesaing baru, dominasi Spanyol-Portugal akhirnya runtuh oleh Belanda, Inggris, Perancis, dan Belgia. Imperialisme besar-besaran seakan tak terbendung. Cekolowaskia dan Polandia ingin diunifikasi. Hingga terbunuhnya Pangeran Mahkota Austria di Sarajevo menjadi momok terjadinya Perang Dunia I (1914-1918 M). Turki ketika itu lebih dikenal dengan Dinasti Utsmaniyah yang menjadi benteng terakhir kejayaan Islampun tumbang akibat manisnya hubungan Turki dan Jerman. Karena pada PD I Turki terpaksa memihak Jerman dengan menjadi sekutu utama. Jerman, sebagai negeri pemicu perang pun kalah, derita kekalahannya sangatlah tak sebanding yang dialami Turki. Konsekuensi yang ditanggung Turki akibat turut campur perang sangatlah menyesakkan. Dinasti Utsmaniyah porak poranda untuk selanjutnya bubar menjadi Republik Turki dengan founding father-nya Mustafa Kemal Ataturk.

Dengan berakhirnya Dinasti Utsmaniyah dan bergantinya Turki menjadi Negara Republik maka berakhir pula khilafah Islamiyah. Saat itulah pertanda makin kokohnya otoritas Eropa dan Amerika sebagai pemain baru modernisasi dunia. Yang terjadi selanjutnya umat Islam menjadi terpuruk, terjajah dan terzalimi, hingga sedikit demi sedikit cahaya keislaman pun redup di benua Eropa dengan jatuhnya Granada di Andalusia dan berakhirnya kekuasaan bani Umayyah di Kordoba Sepanyol.

Upaya Membendung Arus Modernisasi yang Keliru

Meski golden era Islam telah berakhir, namun tidak membuat surut perjuangan para mujaddid yang sudah digariskan oleh Allah dalam Hadis Nabi. Mereka muncul sebagai bukti bahwa Islam ya'lû walâ yu'lâ 'alaih. Islam senantiasa berjaya dan tidak ada yang dapat berjaya selain Islam dan kaum muslimin.

 Menurut Faisal Ismail, kejutan-kejutan kebangkitan Islam sudah dimulai oleh pelopor-pelopor modernisme (at-tajdîd) Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani [1838-1897 M], Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905 M] bersama muridnya Syaikh Rashid Ridha [1856-1935 M], yang mengumandangkan ruh jihad dan ijtihad. Al-Afghani, menulis buku dalam bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Abduh dengan judul Ar-Ruddu ‘alad-Dahriyin [Penolakan atas Paham Materialisme]. Al-Afghani, memperingatkan bahwa terdensi berbahaya yang melekat pada kebudayaan Barat adalah “materialisme” dan paham ini pulalah yang kelak menyebabkan kemunduran Barat, serta peluang kembalinya masa keemasan Islam.

Namun, sebelum menuju ke masa tersebut, sebenarnya umat Islam juga harus berhat-hati dalam menanggapi pengaruh modernisme Barat yang perlahan merasuk ke dalam tipologi dan ideologi kaum muslimin. Upaya kewaspadaan itu perlu, namun tidak menjadi sebuah tindakan eksklusifisme bahkan sepatutnya mencoba untuk inklusif dengan mengadaptasi nilai-nilai Islam di dalamnya. Al-afghani misalnya menjadi arsitek dan aktivis “Revitalis Muslim Pertama”  yang menggunakan konsep Islam dan Barat sebagai fenomena sejarah yang berkonotasi korelatif dan sekaligus bersifat antagonistik.  Di samping itu, ketika itu muncul seruan al-Afghani kepada dunia dan umat Islam untuk menentang dan melawan Barat. Al-Afghani melihat kolonialisme Barat sebagai musuh yang harus dilawan karena mengancam Islam dan umatnya. sementara di sisi lain, al-Afghani juga menghimbau dan menyerukan kepada umat Islam untuk mengembangkan akal dan teknik seperti yang dilakukan oleh Barat agar kaum Muslimin menjadi kuat.

Pengaruh lain modernisme Barat adalah munculnya berbagai paham Barat yang dicoba untuk diterapkan dalam ajaran Islam. Paham sekularisme, liberalisme, pluralisme, isu gender, hingga sosialisme kini menjalar kepada tipologi gerakan dan pemikiran Islam. Mengedepankan akal dan rasionalitas dalam mengkaji Islam juga semakin marak. Bahkan gerakan orientalisme yang sengaja mempelajari islamolog digunakan sebagai usaha Barat dalam menghancurkan Islam.

Fenomena seperti ini pun sebenarnya sangat meresahkan umat Islam, terutama para kader pemuda yang diharapkan menjalankan tongkat estafet kebangkitan Islam, sekaligus calon mujadid Islam selanjutnya sebagai agent of change dalam kehidupan umat manusia. Inilah realita yang harus kita hadapi sebelum menyongsong kejayaan Islam kembali seperti yang sudah dijanjikan oleh Allah dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, usaha membentengi Islam dengan membuat perisai baja pada pribadi muslim, lebih banyak memperdalam ilmu agama, kembali kepada ajaran Islam di setiap lini kehidupan, belajar dari segala kekurangan dan pengalaman yang lampau, mengatur strategi perjuangan dengan rapi, dan usaha-usaha lain yang positif dalam menegakkan ajaran agama Islam adalah sebuah keniscayaan yang memerlukan aplikasi nyata bagi setiap individu muslim.

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat" ( Q.S :An-nasr 1-3)

Wal’Lahu a’lamu bi’s Shawâb






Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]