Tentang Talfiq dalam Fikih
Oleh: Nidlal Masyhud
Istilah "talfiq" itu berkonotasi negatif, jadi seyogianya digunakan saja pada kasus-kasus yang memang kita nilai negatif. Adapun mengenai "mengambil pendapat dari suatu madzhab untuk satu unsur perbuatan/kasus dan mengambil pendapat madzhab lain untuk unsur yang lain", maka ini bisa terjadi dalam dua bentuk:
1. sang pelaku [mufti, pengkaji, orang awam] melakukan hal itu karena memang meyakini bahwa pilihan semacam itulah yang lebih kuat atau lebih benar.
2. sang pelaku melakukannya bukan karena suatu keyakinan bahwa pilihan itu lebih kuat.
Yang pertama itu bisa muncul lantaran alasan yang berbeda:
a. bisa karena keyakinan akan kuatnya dalil/argumen, yaitu meyakini bahwa yang lebih kuat untuk unsur yang ini adalah pendapat madzhab A sedangkan yang lebih kuat untuk unsur yang itu adalah madzhab B.
b. bisa karena keyakinan akan otoritas dari pemilik qaul, misalnya dalam hukum zakat fitrah ia meyakini bahwa untuk masalah boleh tidaknya mengganti dengan uang Imam A lebih otoritatif sementara untuk masalah takarannya Imam B-lah yang lebih otoritatif.
c. bisa karena berpegang pada mayoritas, yaitu keyakinan bahwa masing-masing qaul yang digabungkan itu merupakan pendapat mayoritas (meskipun beda anggota).
Adapun yang kedua, itu bisa muncul karena:
a. pilihan gabungan qaul itu lebih aman (ahwath)
b. pilihan gabungan itu lebih memudahkan (tidak sulit diterapkan)
c. pilihan gabungan itu dirasa lebih enak (lebih menyenangkan)
Nah, menurut saya, kalau pilihan gabungan itu berangkatnya dari yang pertama (keyakinan bahwa pilihan itu lebih kuat), maka ini sah. Bila landasannya adalah bentuk pertama (keyakinan atas kuatnya dalil), maka itu jelas sah karena itulah yang diarahkan oleh Syariat. Bila landasannya bentuk kedua (keunggulan otoritas), maka ini juga sah ketika tarjih atas dalil gagal dilakukan. BIla landasannya adalah mayoritas (yang penting "jumhur"), maka meskipun secara ilmiah ini belum tentu benar, tetapi itulah solusi yang efektif untuk diterapkan apabila perumusan hukum tersebut orientasinya adalah untuk menjadi sebuah produk hukum positif (undang-undang negara, dsb). Seorang ulama Azhar seingat saya pernah mengkodifikasikan hukum-hukum fiqih dalam format undang-undang untuk diajukan ke Mesir dan ayang lain dalam rangka tathbiq syariah dan menggunakan konsep ini (pakai qaul jumhur dalam tiap masalah).
Adapun kalau pilihan itu berangkatnya karean yang kedua (bukan atas keyakinan/dugaan kuat), maka tentu pilihan itu lemah, dan mengarah kepada tatabbu`ur rukhas (walyuqallid man ajaaz) yang tentunya tercela... kecuali bila bentuknya adalah yang pertama (pilih aman/ahwath). bentuk pertama ini insyaallah justru mulia. Adapun dua bentuk berikutnya (pilih yang mudah atau pilih yang enak) maka itu jelas negatif, walaupun untuk persoalan "pilih mudah" tersebut ada bahasan panjangnya. Wallaahu a`lam.
Istilah "talfiq" itu berkonotasi negatif, jadi seyogianya digunakan saja pada kasus-kasus yang memang kita nilai negatif. Adapun mengenai "mengambil pendapat dari suatu madzhab untuk satu unsur perbuatan/kasus dan mengambil pendapat madzhab lain untuk unsur yang lain", maka ini bisa terjadi dalam dua bentuk:
1. sang pelaku [mufti, pengkaji, orang awam] melakukan hal itu karena memang meyakini bahwa pilihan semacam itulah yang lebih kuat atau lebih benar.
2. sang pelaku melakukannya bukan karena suatu keyakinan bahwa pilihan itu lebih kuat.
Yang pertama itu bisa muncul lantaran alasan yang berbeda:
a. bisa karena keyakinan akan kuatnya dalil/argumen, yaitu meyakini bahwa yang lebih kuat untuk unsur yang ini adalah pendapat madzhab A sedangkan yang lebih kuat untuk unsur yang itu adalah madzhab B.
b. bisa karena keyakinan akan otoritas dari pemilik qaul, misalnya dalam hukum zakat fitrah ia meyakini bahwa untuk masalah boleh tidaknya mengganti dengan uang Imam A lebih otoritatif sementara untuk masalah takarannya Imam B-lah yang lebih otoritatif.
c. bisa karena berpegang pada mayoritas, yaitu keyakinan bahwa masing-masing qaul yang digabungkan itu merupakan pendapat mayoritas (meskipun beda anggota).
Adapun yang kedua, itu bisa muncul karena:
a. pilihan gabungan qaul itu lebih aman (ahwath)
b. pilihan gabungan itu lebih memudahkan (tidak sulit diterapkan)
c. pilihan gabungan itu dirasa lebih enak (lebih menyenangkan)
Nah, menurut saya, kalau pilihan gabungan itu berangkatnya dari yang pertama (keyakinan bahwa pilihan itu lebih kuat), maka ini sah. Bila landasannya adalah bentuk pertama (keyakinan atas kuatnya dalil), maka itu jelas sah karena itulah yang diarahkan oleh Syariat. Bila landasannya bentuk kedua (keunggulan otoritas), maka ini juga sah ketika tarjih atas dalil gagal dilakukan. BIla landasannya adalah mayoritas (yang penting "jumhur"), maka meskipun secara ilmiah ini belum tentu benar, tetapi itulah solusi yang efektif untuk diterapkan apabila perumusan hukum tersebut orientasinya adalah untuk menjadi sebuah produk hukum positif (undang-undang negara, dsb). Seorang ulama Azhar seingat saya pernah mengkodifikasikan hukum-hukum fiqih dalam format undang-undang untuk diajukan ke Mesir dan ayang lain dalam rangka tathbiq syariah dan menggunakan konsep ini (pakai qaul jumhur dalam tiap masalah).
Adapun kalau pilihan itu berangkatnya karean yang kedua (bukan atas keyakinan/dugaan kuat), maka tentu pilihan itu lemah, dan mengarah kepada tatabbu`ur rukhas (walyuqallid man ajaaz) yang tentunya tercela... kecuali bila bentuknya adalah yang pertama (pilih aman/ahwath). bentuk pertama ini insyaallah justru mulia. Adapun dua bentuk berikutnya (pilih yang mudah atau pilih yang enak) maka itu jelas negatif, walaupun untuk persoalan "pilih mudah" tersebut ada bahasan panjangnya. Wallaahu a`lam.
Post A Comment
Tidak ada komentar :