PCIM News

[Kabar PCIM][list]

Kabar Persyarikatan

[Muhammadiyah][twocolumns]

Ibuku Perawan (Bag.1)
























Jam dinding menunjukkan pukul 20.00 malam. Aku masih saja mondar-mandir menunggu kedua putraku yang belum juga pulang. Entahlah, tak biasanya mereka pulang terlambat. Padahal masakan spesialku malam ini adalah menu makan malam yang paling mereka sukai, nasi rawon. Maklum, karena aku memang sebenarnya orang Jawa Timur.
           
Aku lihat asap panasnya tak lagi mengepul, tapi anakku……?? Ah, semoga tak terjadi apa-apa. Bukankah anak-anakku sudah besar? Tak terasa si sulung Imtiaz kini telah berusia hampir dua puluh enam tahun dan Thariq….? Kalau nggak salah dia tiga tahun lebih muda dari kakaknya.  Aku memang nggak tahu persis  kapan anak-anakku terlahir, tapi aku masih mengira-ngira, ya… paling tidak aku dapat menghitung ketika mereka mulai masuk Sekolah Dasar, enam tahun…ya…kira-kira saat itu mereka berusia enam tahun.

            “Assalamu’alaikum….”  tiba-tiba suara mereka mengagetkanku, dan aku terkejut.
            “Wa’alaikumsalam…”  ku raih kedua tubuh mereka yang keluar, anak-anakku yang tinggi gagah. Tentu saja seperti biasa, mereka tak pernah lupa mencium tanganku. Mereka begitu menghormatiku, menyayangiku sebagai seorang ibu yang dititipi amanat oleh Allah untuk menjaganya. Menjaga keduanya, anak-anakku yang shalih, yang sama tampan meski wajahnya sedikitpun tiada serupa.

            “Kenapa kalian malam ini pulang terlambat nak? Bukankah Bunda selalu bilang supaya kalian sempatkan menelpon atau SMS kalau memang ada apa-apa di jalan. Lihatlah, makanan di meja sudah dingin dan perut Bunda mulai berorkestra sebab menahan lapar, menunggu kalian yang nggak datang-datang.”
           
            “Sorry Bunda, soalnya….? Soalnya kami ketemu dengan pak Mahesa di toko buku saat kami berdua sedang memfotokopi. Lalu beliau mengajak kami makan malam di restoran kepunyaannnya, di jalan Mataram. Kan nggak enak Bunda kalau kami menolak!”  Tiaz melanjutkan kata-kata adiknya.
           
            “Pak Mahesa?, berarti malam ini Bunda harus makan sendirian dong!!”
            “Nggaklah Bunda… mana mungkin Tiaz membiarkan Bunda sendirian di meja makan..”
            “Thariq juga, apalagi Bunda masak rawon, ..hem…maulah..”

            Begitulah anak-anakku, Tiaz dan Thariq. Mereka tidak pernah ingin melihat aku nampak kecewa. Kamipun makan malam bersama, menyantap ayam goreng dan rawon spesial buatanku.

Kurapikan buku-buku di rak lama yang hampir usang, semuanya berdebu dan beberapa bagiannya sudah nampak bergerigi dicacah oleh tikus. Sejak beberapa tahun lamanya buku-buku itu memang tak tersentuh, sejak aku berhasil menyandang gelar lisence di universitas Islam paling tersohor di dunia. Buku-buku diktat kuliahku semasa belajar di negeri Kinanah, Mesir. Di sela-selanya aku menemukan beberapa lembar pamflet kegiatan, tulisannya hampir tak terbaca lagi, pudar, suram, dan baunya agak tengik. Pamflet kegiatan mahasiswa di musim panas; seminar dan workshop, pelatihan ekonomi syariah dan pamflet launching album nasyid perdana ICMI, Bestlight.

            “Kring…kring..          
Suara telepon yang tergeletak jauh di ruang tamu memaksaku berdiri.
            “Hallo…Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumsalam, betul ini rumah Thariq Hasani?
            “Betul, saya Ibunya. Thariq masih kuliah, maaf dengan siapa ini ya?” Tanyaku singkat.
            “Oh…saya pak Mahesa, tolong Ibu sampaikan, bahwa besok jam 11.30 siang Thariq saya tunggu di kantor dekan fakultas”.
            “Insya Allah akan saya sampaikan pak, terima kasih”.

            Entah tiba-tiba terasa ada yang aneh dalam pikiranku. Pak Mahesa, laki-laki yang baru saja bicara di telepon itu namanya Mahesa. Meski baru pertama kali berbicara, namun aku merasa pernah mengenal suara itu, tapi dimana? kapan? Sambil terus mencoba mengingat-ingat  aku kembali meneruskan pekerjaanku. Kulihat HP-ku bergetar, ada SMS masuk rupanya. Pesan dari Ibu Ifa, aku diminta untuk menghadiri seminar tentang wanita yang akan diadakan oleh Ibu-ibu Dharma Wanita di Salatiga minggu depan. Sampai sekarang, dia memang masih aktif dibeberapa majlis taklim dan perkumpulan ibu-ibu di daerahnya.

Nampak si sulung masih tergolek lemas di tempat tidurnya. Lap top yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu masih menyala, file-file dan beberapa naskah penting berhamburan di meja belajar. Kasihan, dia pasti sangat lelah setelah berhari-hari begadang, bergelut dengan diktat-diktat tebal, kamus pintar dan catatan-catatan kecil yang didapatnya dari bangku kuliah. Tahun ini dia memasang target agar tesisnya bisa selesai. Gelar master di bidang filologi tak lama lagi akan diraih. Tiaz memang cedas, ulet, rajin, dan berkemauan keras. Berbeda dengan si Thariq yang sehari-harinya lebih suka menghabiskan waktu untuk berkhayal mengarang cerpen, mengaransemen lagu dan menggerakkan jari-jemarinya di atas keybord piano.

Jam 09.00 WIB aku ada agenda ceramah  kelompok pengajian ibu-ibu di masjid Agung. Aku persiapkan materi, membuka-buka kitab fikih, mencari bahan untk mengupas masalah puasa dan amalan-amalan di bulan Ramadhan. Kebetulan tiga hari lagi kami akan memasuki bulan Ramadhan, jadi apa yang akan kusampaikan saat ceramah nanti harus benar-benar tepat sasaran agar terasa lebih  bermanfaat.Tak lama kemudian  terdengar suara motor Honda berhenti tepat di depan rumah.
“Pasti si Thariq”, kataku dalam hati.  Tebakanku benar, anakku yang bungsu ini datang dengan wajah kuyu, lesu, sambil menggendong gitar elektrik di punggungnya.

            “Assalamu’alaikum Bunda”
            “Wa’alaikumsalam
            “Gitar siapa yang kamu bawa nak? Jangan suka bawa barang kepunyaan orang, ntar kalau rusak Bunda nggak ada uang buat mengganti. Tuh keyboard si Dedi juga belum dikembaliin”
            “Ah, Bunda, namanya juga temen, saling meminjam itu hal biasa, tolong-menolong…”
            “Rieq, tadi pak Mahesa nelpon, katanya kamu besok ditungguin jam 11 di kantor dekan fakultas. Siapa sih nak beliau itu? Dosen kamu?”
            “Oh…pak Mahesa itu dekan baru Thariq. Beliau baru dipindah tugaskan di kampus baru Thariq”, ia menjawab sedapatnya sambil berlalu meninggalkan ruang tamu.
           
Aku pacu mobil dinasku yang sudah tua menuju Kotabaru. Meski jalannya tak begitu kencang, tapi cukuplah untuk mendahului laju kendaraan milik abang-abang becak di sepanjang jalan Parangtritis ini. Sejak dua puluh tujuh tahun lalu, aku mengajar di beberapa sekolah Islam swasta dan menjadi dosen tetap di universitas Ahmad Dahlan, tempat dimana aku dulu pernah belajar ilmu sastra sebelum akhirnya kutinggalkan karena takdir membawaku ke negeri piramid. Sampai sekarang aktivitasku tak banyak berubah. Kecintaanku kepada dunia pendidikan membuat aku tetap istiqamah meskipun dengan gaji  yang pas-pasan, hanya cukup buat biaya hidup sehari-hari dan biaya pendidikan kedua putra titipan Tuhan.

            Di masjid Agung, jamaah sudah menunggu kedatanganku. Bu Nadia sebagai ketua sedang memberikan sambutan dan beberapa kata pengantar. Sekitar dua puluh lima orang yang hadir hari ini. Sebagian besar adalah ibu-ibu seusiaku, selebihnya adalah ibu-ibu muda yang masih cantik, belum lagi keriput apalagi berambut hitam putih sepertiku. Sebelum ceramah dimulai, nampak sekelompok remaja putri melantunkan shalawat Nabi, diiringi riuh bunyi tepukan rebana yang membangkitkan semangat jihad mencari ilmu.
           
Di ruang dekan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Thariq dan pak Mahesa sedang asyik ngobrol. Sambil meneguk secangkir teh hangat, sesekali mereka nampak tertawa-tawa, seperti teman akrab saja.

            “Rieq, kamu tahu nggak banyak mahasiswa di sini yang bilang bahwa wajah kamu tuh mirip sama bapak. Mata kita sama, tubuh kita sama ramping, hidung dan bentuk muka kitapun sama, tapi tentu saja kulit bapak lebih putih dari kamu ha..ha…”
           
            “Di dunia in memang sering terjadi hal-hal yang aneh dan kebetulan pak. Terkadang tanpa disangka, seseorang yang nggak ada hubungan apa-apa, namun memiliki banyak persamaan fisik, sifat maupun karakter, ya..seperti kita ini. Sebaliknya, yang bersaudara malah nggak ada kemiripan sama sekali. Contohnya saya dan mas saya, betul kan pak? He..he…” Thariq nggak kalah berkelakar.
           
            “Oh ya Rieq, sebentar lagi kita memasuki bulan suci Ramadhan. Bapak ingin di hari yang pertama kita bisa berbuka bareng, ya…sekalian bapak mengundang kedua orangtua dan masmu itu, gimana? Ya, nanti kita makan empek-empek buatan bapak sendiri atau oseng cumi spesial andalan bapak. Nanti makannya di rumah bapak sendiri”.
           
            “Wah, bapak ini suka buat repot diri sendiri. Tapi bolehlah siapa tahu ntar Thariq bisa belajar masak dari bapak selain belajar teori-teori perbankan yang memusingkan kepala. Okelah pak, Thariq mau pamit dulu. Mas Tiaz sedang kurang sehat dan ibu mungkin belum kembali dari pengajian, Assalamu’alaikum”.
            “Wa’alaikumsalam, hati-hati Rieq”.

            Selama diperjalanan pulang, Thariq nggak habis-habisnya berpikir, kenapa dekan baru itu begitu suka padanya. Apa benar karena wajah mereka yang hampir serupa, atau karena keduanya sama-sama orang musik, seniman, penulis lagu? Meski umur mereka jauh sangat berbeda, seperti bapak dan anak. Namun keakrabannnya bagaikan dua orang seangkatan saja. Pak Mahesa sangat perhatian dengan Thariq, tak jarang dia memberikan private lesson di luar jam kuliah. Mungkin beliau tahu bahwa Thariq sering kurang memperhatikan keterangan-keterangan sewaktu perkuliahan di kelas. Tharieq memang sedikit bandel, cuek, tapi sangat cerdas.

            “Mas, Rieq beli pecel lele kesukaan Mas Tiaz dulu ya.., pasti Mas Tiaz belum makan kan?”
            “Ya, tapi tadi Bunda nelpon kamu disuruh menjemputnya sekarang di Masjid Agung Kotabaru”.
            “Lho, bukannnya Bunda bawa mobil?”
            “Iya, tapi tadi ada yang rusak jadi kamu harus menjemput sekarang”.
              Tiaz mencoba bangkit dari duduknya, hendak menyantap nasi pecel lele yang dibelikan adik semata wayangnya.
            “Oke bos, Rieq pergi jemput Bunda sekarang ya?, jangan lupa sisakan lelenya lho..?”
            “Beli lagi sono, masak sebungkus mau dibagi berdua”  Tiaz menggerundel sendiri. Sementara Rieq berlalu acuh tak acuh meninggalkan Tiaz di meja makan seorang diri.
           
Hari ini mungkin akan turun hujan. Awan begitu gelap, mendung menggantung tebal. Suram seolah siap menumpahkan jutaan air hujan ke bumi. Hampir setengah jam aku menunggu si sulung menjemput, sementara masjid telah kosong, sunyi. Semuanya telah meninggalkan tempat, takut kalau sewaktu-waktu hujan turun sebelum sampai di rumah. Bagaimanapun aku harus cepat pulang, menyiapkan makan malam siang buat anak-anak. Lagian sore ini aku ada jadwal memberikan konseling di el-Hawa Woman Crysis Center.

            Rheng…rheng…rhung…rhung…
            Dug dug….dug..
            “Sorry Bunda, Rieq terlambat” senyum kecil si bungsu seolah-olah tanpa salah.
            “Ya udah, ayo selagi hujan belum turun”.
            Aku cepat-cepat naik ke atas boncengan motor, merapat karena si bungsu yang suka mengebut ini siap melajukan motornya dengan kecepatan delapan puluh.  Tak lama kemudian, “ngung…..” kerudungku seolah-olah  menjadi  bendera yang berkibar-kibar diterpa angin. Aku benar-benar dibawa ngebut.

fe

            “Rieq, kamu bisa bantu Masmu ngetikin tesisnya nggak? Kasihan tuh dari kemarin Masmu nggak ada istirahatnya”
            “Rieq lagi ada kerjaan Bunda, nyiapin makalah untuk diskusi di kampus. Kata pak Mahesa aku harus bisa mempresentasikannya dengan baik supaya dapat menolong mata kuliahku yang hancur-hancuran itu”  Rieq menjawab dari balik dinding kamarnya.
            Aku menghampir si bungsu , ku belai rambutnya yang sedikit gondrong. Ku lihat dia memang sedang serius mempelajari lembaran-lembaran makalah ekonominya. Namun tiba-tiba saja dia menoleh ke arahku kemudan memelukku dengan manja.
           
            “Bunda, andai ayah Rieq masih ada, tentu Bunda takkan bersusah payah membesarkan Rieq dan Mas Tiaz seorang diri. Bunda, apa benar Ayah sudah meninggal? Tapi kemapa Bunda tak pernah sekalipun mengajak kami berziarah ke makamnya?”
            “Rieq, kenapa tiba-tiba Rieq bertanya semacam itu sama Bunda?”
            Aku berusaha menenangkan diri, aku nggak tahu harus menjawab apa atas pertanyan anakku yang memang kini sudah dewasa.
            “Rieq hanya ingin tahu Bunda, Rieq sudah besar, Rieq ingin tahu semuanya”
            “Tiaz juga.”
            Tiba-tiba suara si sulung mengejutkanku. Ternyata dia telah lama berdiri di depan pintu dan tanpa kusadari aku telah meneteskan air mata. Aku bingung, aku merasa terpojok kali ini. Aku harus mempu menguasai diri, aku nggak ingin keraguan dan kegalauan hati ini akan terbaca oleh mereka. Aku harus bersikap tenang. “Ya Tuhan…”
          
Oleh : Senja Asmarany dalam Kumcer Ibuku Perawan

----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

Tidak ada komentar :


Majelis dan Lembaga

[Seluruh Artikel][grids]

Kajian MCIS

[Kajian Utama][bsummary]

Majalah Sinar Mesir

[Seluruh Artikel][threecolumns]

Shaffatul 'Aisyiyah

[Shaffatul 'Aisyiyah][list]