Ibuku Perawan (Bag.1)
Aku lihat asap panasnya
tak lagi mengepul, tapi anakku……?? Ah, semoga tak terjadi apa-apa. Bukankah
anak-anakku sudah besar? Tak terasa si sulung Imtiaz kini telah berusia hampir
dua puluh enam tahun dan Thariq….? Kalau nggak salah dia tiga tahun lebih muda
dari kakaknya. Aku memang nggak tahu
persis kapan anak-anakku terlahir, tapi
aku masih mengira-ngira, ya… paling tidak aku dapat menghitung ketika mereka
mulai masuk Sekolah Dasar, enam tahun…ya…kira-kira saat itu mereka berusia enam
tahun.
“Assalamu’alaikum….” tiba-tiba suara mereka mengagetkanku, dan aku
terkejut.
“Wa’alaikumsalam…” ku raih kedua tubuh mereka yang keluar,
anak-anakku yang tinggi gagah. Tentu saja seperti biasa, mereka tak pernah lupa
mencium tanganku. Mereka begitu menghormatiku, menyayangiku sebagai seorang ibu
yang dititipi amanat oleh Allah untuk menjaganya. Menjaga keduanya, anak-anakku
yang shalih, yang sama tampan meski wajahnya sedikitpun tiada serupa.
“Kenapa
kalian malam ini pulang terlambat nak? Bukankah Bunda selalu bilang supaya
kalian sempatkan menelpon atau SMS kalau memang ada apa-apa di jalan. Lihatlah,
makanan di meja sudah dingin dan perut Bunda mulai berorkestra sebab menahan
lapar, menunggu kalian yang nggak datang-datang.”
“Sorry
Bunda, soalnya….? Soalnya kami ketemu dengan pak Mahesa di toko buku saat kami
berdua sedang memfotokopi. Lalu beliau mengajak kami makan malam di restoran
kepunyaannnya, di jalan Mataram. Kan nggak enak Bunda kalau kami menolak!” Tiaz melanjutkan kata-kata adiknya.
“Pak
Mahesa?, berarti malam ini Bunda harus makan sendirian dong!!”
“Nggaklah
Bunda… mana mungkin Tiaz membiarkan Bunda sendirian di meja makan..”
“Thariq
juga, apalagi Bunda masak rawon, ..hem…maulah..”
Begitulah
anak-anakku, Tiaz dan Thariq. Mereka tidak pernah ingin melihat aku nampak
kecewa. Kamipun makan malam bersama, menyantap ayam goreng dan rawon spesial
buatanku.
Kurapikan buku-buku di rak
lama yang hampir usang, semuanya berdebu dan beberapa bagiannya sudah nampak
bergerigi dicacah oleh tikus. Sejak beberapa tahun lamanya buku-buku itu memang
tak tersentuh, sejak aku berhasil menyandang gelar lisence di
universitas Islam paling tersohor di dunia. Buku-buku diktat kuliahku semasa
belajar di negeri Kinanah, Mesir. Di sela-selanya aku menemukan beberapa lembar
pamflet kegiatan, tulisannya hampir tak terbaca lagi, pudar, suram, dan baunya
agak tengik. Pamflet kegiatan mahasiswa di musim panas; seminar dan workshop,
pelatihan ekonomi syariah dan pamflet launching album nasyid perdana ICMI,
Bestlight.
“Kring…kring..
Suara telepon yang tergeletak jauh di ruang tamu
memaksaku berdiri.
“Hallo…Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam,
betul ini rumah Thariq Hasani?
“Betul,
saya Ibunya. Thariq masih kuliah, maaf dengan siapa ini ya?” Tanyaku singkat.
“Oh…saya
pak Mahesa, tolong Ibu sampaikan, bahwa besok jam 11.30 siang Thariq saya
tunggu di kantor dekan fakultas”.
“Insya
Allah akan saya sampaikan pak, terima kasih”.
Entah
tiba-tiba terasa ada yang aneh dalam pikiranku. Pak Mahesa, laki-laki yang baru
saja bicara di telepon itu namanya Mahesa. Meski baru pertama kali berbicara,
namun aku merasa pernah mengenal suara itu, tapi dimana? kapan? Sambil terus
mencoba mengingat-ingat aku kembali
meneruskan pekerjaanku. Kulihat HP-ku bergetar, ada SMS masuk rupanya. Pesan
dari Ibu Ifa, aku diminta untuk menghadiri seminar tentang wanita yang akan
diadakan oleh Ibu-ibu Dharma Wanita di Salatiga minggu depan. Sampai sekarang,
dia memang masih aktif dibeberapa majlis taklim dan perkumpulan ibu-ibu di
daerahnya.
Nampak si sulung masih
tergolek lemas di tempat tidurnya. Lap top yang baru dibelinya beberapa hari
yang lalu masih menyala, file-file dan beberapa naskah penting
berhamburan di meja belajar. Kasihan, dia pasti sangat lelah setelah
berhari-hari begadang, bergelut dengan diktat-diktat tebal, kamus pintar dan
catatan-catatan kecil yang didapatnya dari bangku kuliah. Tahun ini dia memasang
target agar tesisnya bisa selesai. Gelar master di bidang filologi tak lama
lagi akan diraih. Tiaz memang cedas, ulet, rajin, dan berkemauan keras. Berbeda
dengan si Thariq yang sehari-harinya lebih suka menghabiskan waktu untuk
berkhayal mengarang cerpen, mengaransemen lagu dan menggerakkan jari-jemarinya
di atas keybord piano.
Jam 09.00 WIB aku ada
agenda ceramah kelompok pengajian
ibu-ibu di masjid Agung. Aku persiapkan materi, membuka-buka kitab fikih,
mencari bahan untk mengupas masalah puasa dan amalan-amalan di bulan Ramadhan.
Kebetulan tiga hari lagi kami akan memasuki bulan Ramadhan, jadi apa yang akan
kusampaikan saat ceramah nanti harus benar-benar tepat sasaran agar terasa
lebih bermanfaat.Tak lama kemudian terdengar suara motor Honda berhenti tepat di
depan rumah.
“Pasti si Thariq”, kataku dalam hati. Tebakanku benar, anakku yang bungsu ini
datang dengan wajah kuyu, lesu, sambil menggendong gitar elektrik di
punggungnya.
“Assalamu’alaikum
Bunda”
“Wa’alaikumsalam”
“Gitar
siapa yang kamu bawa nak? Jangan suka bawa barang kepunyaan orang, ntar kalau
rusak Bunda nggak ada uang buat mengganti. Tuh keyboard si Dedi juga belum
dikembaliin”
“Ah,
Bunda, namanya juga temen, saling meminjam itu hal biasa, tolong-menolong…”
“Rieq,
tadi pak Mahesa nelpon, katanya kamu besok ditungguin jam 11 di kantor dekan
fakultas. Siapa sih nak beliau itu? Dosen kamu?”
“Oh…pak
Mahesa itu dekan baru Thariq. Beliau baru dipindah tugaskan di kampus baru
Thariq”, ia menjawab sedapatnya sambil berlalu meninggalkan ruang tamu.
Aku pacu mobil dinasku
yang sudah tua menuju Kotabaru. Meski jalannya tak begitu kencang, tapi
cukuplah untuk mendahului laju kendaraan milik abang-abang becak di sepanjang
jalan Parangtritis ini. Sejak dua puluh tujuh tahun lalu, aku mengajar di
beberapa sekolah Islam swasta dan menjadi dosen tetap di universitas Ahmad
Dahlan, tempat dimana aku dulu pernah belajar ilmu sastra sebelum akhirnya
kutinggalkan karena takdir membawaku ke negeri piramid. Sampai sekarang
aktivitasku tak banyak berubah. Kecintaanku kepada dunia pendidikan membuat aku
tetap istiqamah meskipun dengan gaji
yang pas-pasan, hanya cukup buat biaya hidup sehari-hari dan biaya
pendidikan kedua putra titipan Tuhan.
Di
masjid Agung, jamaah sudah menunggu kedatanganku. Bu Nadia sebagai ketua sedang
memberikan sambutan dan beberapa kata pengantar. Sekitar dua puluh lima orang
yang hadir hari ini. Sebagian besar adalah ibu-ibu seusiaku, selebihnya adalah
ibu-ibu muda yang masih cantik, belum lagi keriput apalagi berambut hitam putih
sepertiku. Sebelum ceramah dimulai, nampak sekelompok remaja putri melantunkan
shalawat Nabi, diiringi riuh bunyi tepukan rebana yang membangkitkan semangat
jihad mencari ilmu.
Di ruang dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Gajah Mada, Thariq dan pak Mahesa sedang asyik ngobrol.
Sambil meneguk secangkir teh hangat, sesekali mereka nampak tertawa-tawa,
seperti teman akrab saja.
“Rieq,
kamu tahu nggak banyak mahasiswa di sini yang bilang bahwa wajah kamu tuh mirip
sama bapak. Mata kita sama, tubuh kita sama ramping, hidung dan bentuk muka
kitapun sama, tapi tentu saja kulit bapak lebih putih dari kamu ha..ha…”
“Di
dunia in memang sering terjadi hal-hal yang aneh dan kebetulan pak. Terkadang
tanpa disangka, seseorang yang nggak ada hubungan apa-apa, namun memiliki
banyak persamaan fisik, sifat maupun karakter, ya..seperti kita ini.
Sebaliknya, yang bersaudara malah nggak ada kemiripan sama sekali. Contohnya
saya dan mas saya, betul kan pak? He..he…” Thariq nggak kalah berkelakar.
“Oh ya
Rieq, sebentar lagi kita memasuki bulan suci Ramadhan. Bapak ingin di hari yang
pertama kita bisa berbuka bareng, ya…sekalian bapak mengundang kedua orangtua
dan masmu itu, gimana? Ya, nanti kita makan empek-empek buatan bapak sendiri
atau oseng cumi spesial andalan bapak. Nanti makannya di rumah bapak sendiri”.
“Wah,
bapak ini suka buat repot diri sendiri. Tapi bolehlah siapa tahu ntar Thariq
bisa belajar masak dari bapak selain belajar teori-teori perbankan yang
memusingkan kepala. Okelah pak, Thariq mau pamit dulu. Mas Tiaz sedang kurang
sehat dan ibu mungkin belum kembali dari pengajian, Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumsalam,
hati-hati Rieq”.
Selama
diperjalanan pulang, Thariq nggak habis-habisnya berpikir, kenapa dekan baru
itu begitu suka padanya. Apa benar karena wajah mereka yang hampir serupa, atau
karena keduanya sama-sama orang musik, seniman, penulis lagu? Meski umur mereka
jauh sangat berbeda, seperti bapak dan anak. Namun keakrabannnya bagaikan dua
orang seangkatan saja. Pak Mahesa sangat perhatian dengan Thariq, tak jarang
dia memberikan private lesson di luar jam kuliah. Mungkin beliau tahu
bahwa Thariq sering kurang memperhatikan keterangan-keterangan sewaktu
perkuliahan di kelas. Tharieq memang sedikit bandel, cuek, tapi sangat cerdas.
“Mas,
Rieq beli pecel lele kesukaan Mas Tiaz dulu ya.., pasti Mas Tiaz belum makan
kan?”
“Ya,
tapi tadi Bunda nelpon kamu disuruh menjemputnya sekarang di Masjid Agung
Kotabaru”.
“Lho,
bukannnya Bunda bawa mobil?”
“Iya,
tapi tadi ada yang rusak jadi kamu harus menjemput sekarang”.
Tiaz mencoba bangkit dari duduknya, hendak
menyantap nasi pecel lele yang dibelikan adik semata wayangnya.
“Oke
bos, Rieq pergi jemput Bunda sekarang ya?, jangan lupa sisakan lelenya lho..?”
“Beli
lagi sono, masak sebungkus mau dibagi berdua”
Tiaz menggerundel sendiri. Sementara Rieq berlalu acuh tak acuh
meninggalkan Tiaz di meja makan seorang diri.
Hari ini mungkin akan
turun hujan. Awan begitu gelap, mendung menggantung tebal. Suram seolah siap
menumpahkan jutaan air hujan ke bumi. Hampir setengah jam aku menunggu si
sulung menjemput, sementara masjid telah kosong, sunyi. Semuanya telah
meninggalkan tempat, takut kalau sewaktu-waktu hujan turun sebelum sampai di
rumah. Bagaimanapun aku harus cepat pulang, menyiapkan makan malam siang buat
anak-anak. Lagian sore ini aku ada jadwal memberikan konseling di el-Hawa Woman
Crysis Center.
Rheng…rheng…rhung…rhung…
Dug
dug….dug..
“Sorry
Bunda, Rieq terlambat” senyum kecil si bungsu seolah-olah tanpa salah.
“Ya
udah, ayo selagi hujan belum turun”.
Aku
cepat-cepat naik ke atas boncengan motor, merapat karena si bungsu yang suka
mengebut ini siap melajukan motornya dengan kecepatan delapan puluh. Tak lama kemudian, “ngung…..” kerudungku
seolah-olah menjadi bendera yang berkibar-kibar diterpa angin.
Aku benar-benar dibawa ngebut.
fe
“Rieq,
kamu bisa bantu Masmu ngetikin tesisnya nggak? Kasihan tuh dari kemarin Masmu
nggak ada istirahatnya”
“Rieq
lagi ada kerjaan Bunda, nyiapin makalah untuk diskusi di kampus. Kata pak
Mahesa aku harus bisa mempresentasikannya dengan baik supaya dapat menolong
mata kuliahku yang hancur-hancuran itu”
Rieq menjawab dari balik dinding kamarnya.
Aku
menghampir si bungsu , ku belai rambutnya yang sedikit gondrong. Ku lihat dia
memang sedang serius mempelajari lembaran-lembaran makalah ekonominya. Namun
tiba-tiba saja dia menoleh ke arahku kemudan memelukku dengan manja.
“Bunda,
andai ayah Rieq masih ada, tentu Bunda takkan bersusah payah membesarkan Rieq
dan Mas Tiaz seorang diri. Bunda, apa benar Ayah sudah meninggal? Tapi kemapa
Bunda tak pernah sekalipun mengajak kami berziarah ke makamnya?”
“Rieq,
kenapa tiba-tiba Rieq bertanya semacam itu sama Bunda?”
Aku
berusaha menenangkan diri, aku nggak tahu harus menjawab apa atas pertanyan
anakku yang memang kini sudah dewasa.
“Rieq
hanya ingin tahu Bunda, Rieq sudah besar, Rieq ingin tahu semuanya”
“Tiaz
juga.”
Tiba-tiba
suara si sulung mengejutkanku. Ternyata dia telah lama berdiri di depan pintu
dan tanpa kusadari aku telah meneteskan air mata. Aku bingung, aku merasa
terpojok kali ini. Aku harus mempu menguasai diri, aku nggak ingin keraguan dan
kegalauan hati ini akan terbaca oleh mereka. Aku harus bersikap tenang. “Ya
Tuhan…”
Oleh : Senja Asmarany dalam Kumcer Ibuku Perawan
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :