Ibuku Perawan ( Bag. II)
“Sekarang sudah larut malam, Bunda mau istirahat, insya
Allah selepas sarapan pagi Bunda akan menceritakan semuanya. Besok pada nggak
pergi kan?”
Ku coba
menbenamkan mukamu ke dalam bantal, tapi tetap saja tak bisa tidur, mataku
sedikitpun tak terasa mengantuk. Ya Allah…haruskah aku ceritakan semua rahasia
yang selama bertahun-tahun telah aku pendam. Haruskan ku katakan pada mereka
tentang yang sesungguhnya? Bahwa mereka bukan anakku? Bahwa aku bukan ibu yang
mengandung dan melahirkan mereka? Melainkan aku cuma seorang ibu asuh yang
menerima amanat dari seorang perempuan untuk menjaganya? Dan bahwa…., bahwa aku
sebenarnya belum pernah bersuami!
“Rabb,
beri hambamu ini kekuatan. Engkau tahu bahwa apa yang telah aku lakukan selama
ini hanyalah semata-mata karena ingin menjaga, merawat, membesakan, serta mendidik kedua anak yatim
ini sebagaimana anakku sendiri.”
Aku menangis,
nggak tahu harus berbuat apa. Malam ini aku benar-benar pasrah, tawakal. Ku
persiapkan diri untuk menerima reaksi kedua putraku. Besok, sesuai janjiku,
selepas sarapan pagi, aku akan menceritakan semuanya.
Suasana berubah menjadi
hening, tak ada canda di meja makan pagi ini sebagaimana dihari-hari
sebelumnya. Tiaz bertunduk diam tak bicara, Rieq sesekali tangannya mengusap
bening sejuk yang mulai basah di pipinya. Aku sendiri teap bersikap tenang
tanpa emosi. Aku sudah siap mendengar jawaban atau ungkapan apapun dari anak-anakku. Telah kuceritakan semuanya tanpa
meninggalkan sepenggal kisahpun dari apa yang sesungguhnya terjadi.
“Tiaz,
Rieq…”
“Bunda
tah kalian kini berdua kecewa, tapi yakinlah bahwa tak ada niat sedikitpun di
hati Bunda untuk membohongi kalian selama ini. Hati Bunda tulus, Bunda
menyayangi kalian sebagaimana anak-anak Bunda sendiri…meskipun, meskipun…”
“Jangan
teruskan Bunda….”, kedua anakku tiba-tiba memelukku.
“Meskipun
Bunda belum pernah menjadi seorang istri, apalagi seorang Ibu yang
sesungguhnya. Tapi Bunda tetaplah seorang perempuan yang memiliki jwa dan
perasaan keibuan.”
Terbata-bata
aku meneruskan kalimatku sampai akhirnya akupun menangis. Kami semua terbalut
dalam keharuan. Isakan tangis si sulung dan si bungsu benar-benar membuatku
tersentuh. Benar-benar semakin membuat jiwaku merasa kuat bahwa akupun mampu
menjadi seorang ibu. Bukan hanya bagi Tiaz, Rieq, dan anak-anak yatim di Panti
Asuhan “Insan Kamil”, yang juga menjadi asuhanku selama ini. Melainkan bagi
semua anak-anak di muka bumi yang mengharap belas kasih sayang seorang ibu yang
perawan.
Bergegas
kami membereskan piring-piring kotor dan gelas bekas minuman di atas meja.
Cangkang-cangkang kepiting seolah siap mencakar siapa saja yang tidak
hati-hati. Kebiasaan makan sea-food sudah mulai ku tanam pada diri anak-anak
semanjak dini. Selain lebih bergizi tinggi juga terbebas dari bahan-bahan kima
tambahan. Tak heran bila anak-anak selalu menolak bila ada teman atau saudara
yang mau mentraktir makan di KFC, Mc Donalds , atau Pizza Hut. Mereka lebih
suka mampir di warteg-warteg yang menyediakan manu masakan kampung seperti;
pecel lele, soto babat, dan sate madura.
fe
Di ruang
kerja, aku sedang mengoreksi hasil ujian
mahasiswa untuk semester gasal. Mata kuliah “Sejarah Politk Islam” yang aku berikan mendapat perhatian yang serius.
Tak heran bila rata-rata mahasiswa mendapatkan nilai B plus di setiap ujian.
“Ting..tung…”
“Ting..tung….”
Bel rumah berdering, tak seorang pun baik Tiaz atau Rieq
ada di rumah sore ini. Katanya ada acara ulang tahun temannya yang dirayakan di
Pemancingan Gurameh di Kaliurang.
“Siapa?”
“Pak
Mahesa, Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam”
Perlahan
aku buka pintu untuk tamu, pasti pak Mahesa yang diceritakan oleh Rieq beberapa
hari yang lalu sebagai seorang dekan dan dosen favoritnya di kampus. Namun
alangkah terkejutnya ketika aku tahu siapa yang sedang berdiri di hadapanku.
Sosok yang tak pernah dapat aku lupakan, seraut wajah yang dulu pernah dan akan
selalu ku kenal.
Meski
wajahnya kini telah agak keriput dengan kacamata yang semakin menebal, entah
minus berapa sekarang. Aku makin yakin bahwa lelaki yang kini menjadi dosen
Rieq adalah ……
Air
mukaku spontan berubah, darah seolah berdesir dengan cepat, jantungku mulai
berdetak tak teratur. Bayangan-banyangan masa lalu berkelebatan di depan mata.
Ingatan-ingatan itu membuat aku merasa panik, emosi dan semakin susah
mengontrol diri. Namun aku teap berusaha bersikap tegar dan seolah tak terjadi
apa-apa. Meski aku tahu, wajah itu juga nampak gugup dan salah tingkah.
“Ada
yang bisa saya bantu Pak? Saya ibunya
Rieq” aku berusaha bersikap tenang.
“Adya..aku
tahu kau adalah Adya. Aku tahu kau Adya yang pernah ku tinggalkan di negeri
Kinanah dua puluh delapan tahun yang lalu. Aku tah kau Adya yang ku sakiti, yang pernah ku khianati. Aku yakin
kau Adya yang pernah terhinakan oleh sikapku yang tak bertanggung jawab,
tidakkah kau ingin persilahkan aku masuk terlebih dahulu…?
“Aku
juga tahu, andalah orang itu, seorang yang seumur hidup takkan pernah ingin
saya sebut lagi namanya. Maafkan saya, saya tidak ingin timbul fitnah dan
kerusakan baru. Anak-anak sedang tidak di rumah, jadi terpaksa saya tidak bisa
persilahkan anda masuk.”
Cepat-cepat
ku tutup kembali pintu dan ku kunci rapat-rapat. Ku rebahkan tubuh di atas
sofa. Aku menghela nafas panjang, ku teguk segelas air untuk menenangkan diri,
“Astaghfirullahal’adhiim…” Semoga Allah memaafkan atas kesilapanku
karena tidak bisa memuliakan tamu hari ini. Bukan karena sengaja, melainkan aku
tidak ingin melakukan kesalahan yang lebih besar.
fe
Senja temaram di kota
Gudeg, aku baru pulang dari mengajar. Kijang tua yang baru beberapa hari lalu
keluar dari bengkel ku parkir di depan rumah karena garasi sedang dibongkar.
Beberapa sisi temboknya ada yang pecah dan atapnya mulai bocor. Seorang anak tetangga berlari-lari kecil menyampaikan
sepucuk surat tanpa nama pengirim. Sambil menikmati secangkir kopi, aku buka
surat itu perlahan-lahan.
Assalamu’alaikum wr.wb.
Adya,
beberapa hari yang lalu, nggak sengaja aku bertemu dengan Ifa (teman akrabmu
waktu di Kairo). Aku menanyakan banyak hal tentangmu dan kini aku tahu
semuanya. Maafkan bila aku sudah lancang.
Tak
mengira begitu keras kehidupan yang berani kau tempuh seorang diri. Kau mampu
menjadi Ibu bagi anak-anak yatim, mendidik generasi muslim di sekolah-sekolah
maupun universitas. Membina generasi tua di masjid-masjid dan menyebarkan
sedekah bagi janda-janda miskin dan keluarga tak mampu.
Aku
sendiri sudah lama bercerai, istri serta anak-anakku tak tah pergi kemana.
Keluargakau hancur, aku nggak bahagia meski kehidupan kami bergelimang dengan
harta. Aku menyesal telah menyiakan wanita setia sepertimu, meski aku tahu
bahwa tak patut bagiku untuk dimaafkan.
Adya….
Tanpa diduga Tuhan kembali
mempertemukan kita disam Kumcw\aat kematian
hampir menyapa. Perpisahan selama 28 tahun memberiku banyak hikmah dan
pelajaran. Kini aku hadir padamu untuk menjadi saudara. Bukan aku tak mau
kembali, akan tetapi aku takut akan menyakitimu untuk kedua kali.
Waktu
yang tersisa mudah-mudah dapat
memberikan manfaat untuk kita, agar sama-sama bertaubat dan saling memaafkan.
Tetaplah istiqamah dalam perjuangan. Jadilah seorang pahlawan pembela agama
Allah…
Rabi’ahku….
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Mahesa.
----------------------------------
Pcim Mesir menerima zakat, infaq, sadaqah. Uang ini akan dipergunakan untuk kepentingan dakwah Pcim Mesir dan dapat disalurkan ke:
No rek. 3660009009 a/n PCIM Mesir, Bank Syariah Mandiri, Jl. Gedong Kuning Selatan, No. 5, Yogyakarta.
Konfirmasi via facebook : https://www.facebook.com/pcim.mesir
Dan semoga amal ini bisa menjadikan kita menerima buku amalan perbuatan dengan tangan kanan diakhirat kelak. Alamat Pcim Mesir: Building 113/2, 10th district, Nasr city, Cairo, Egypt.
Post A Comment
Tidak ada komentar :