Milad Muhammadiyah dengan Tumpeng?
Malam, 18 November 2014, aktivis PCIM dan PCIA berkumpul di markas dakwah PCIM memperingati Milad Muhammadiyah yang ke- 102. Dihadiri oleh pengurus dan anggota, acara yang sangat sederhana ini cukup hikmat. Setidaknya dapat mengiongatkan kembali mengenai jati diri Muhammadiyah kepada para anggotanya.
Dalam acara yang sangat sangat sederhana ini, ada pemotongan tumpeng. Mengapa ini bisa terjadi?
Tumpeng di sebagian wilayah Indonesia biasanya menjadi simbol animisme dan kemusyrikan. Ingat peristiwa pak Amien Rais dibawakan tumpeng oleh para demonstran? Mereka datang untuk membuat acara ruwatan. Dengan mantra-mantra Jawa dan sesajen, mereka berharap permohon mereka dapat dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kenyataannya tidak semua tumpeng berbau kemusyrikan. Banyak acara-acara kenegaraan seperti syukuran peringatan hari kemerdekaan RI dengan simbol pemotongan tumpeng. Artinya, tumpeng di Istana Negara itu bukan menjadi simbol kemusyrikan, namun hanya sekedar simbol tradisi warisan bangsa.
Berbeda halnya dengan di Mesir. Bagi Mahasiswa disini, tumpeng dianggap sebagai salah satu makanan tradisional Indonesia yang khas dan unik. Tumpeng dengan variasi makanan disekitarnya, menjadi menu makanan istimewa yang lezat untuk dinikmati. Makan tumpeng bersama-sama menjadi nostalgia bagi kita yang berada di negeri orang. Meski tidak di negeri sendiri, tumpeng mengingatkan kita dengan tanah air tercinta. Tumpeng menjadi makanan pengobat rindu.
Jika demikian, apa hukum membuat dan memakan nasi tumpeng? Apa hukum melakukan acara dengan memakan nasi tumpeng? Tentu saja bergantung kepada niat kita masing-masing. Jika niatnya melakukan ruwatan dengan tradisi Jawa tadi, tentu ini musyrik. Namun jika sekedar ungkapan rasa rindu dengan makanan tanah air, maka ia boleh-boleh saja. Disini yang berlaku adalah kaedah berikut:
الأمور بمقاصدها
Artinya: Segala sesuatu bergantung kepada niatnya.
Juga kaedah lain:
الأصل في الأشياء الإباحة
Artinya: Asal segala sesuatu adalah boleh.
Oleh karena itu, niat dan obyek itu sendiri memiliki konsekuensi. Jika niatnya untuk sesuatu yang mengandun kemusyrikan, maka tentu haram. Begitu pula suatu obyek yang disebutkan keharaman untuk mengkonsumsinya dalam Quran dan Sunah, maka tidak boleh dikonsumsi. Sebaliknya, jika tidak disebutkan dalam Quran maupun Sunah, kembali ke hukum asalnya. Wallahu A’lam
-Wahyudi Abdrurrahim
Dalam acara yang sangat sangat sederhana ini, ada pemotongan tumpeng. Mengapa ini bisa terjadi?
Tumpeng di sebagian wilayah Indonesia biasanya menjadi simbol animisme dan kemusyrikan. Ingat peristiwa pak Amien Rais dibawakan tumpeng oleh para demonstran? Mereka datang untuk membuat acara ruwatan. Dengan mantra-mantra Jawa dan sesajen, mereka berharap permohon mereka dapat dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kenyataannya tidak semua tumpeng berbau kemusyrikan. Banyak acara-acara kenegaraan seperti syukuran peringatan hari kemerdekaan RI dengan simbol pemotongan tumpeng. Artinya, tumpeng di Istana Negara itu bukan menjadi simbol kemusyrikan, namun hanya sekedar simbol tradisi warisan bangsa.
Berbeda halnya dengan di Mesir. Bagi Mahasiswa disini, tumpeng dianggap sebagai salah satu makanan tradisional Indonesia yang khas dan unik. Tumpeng dengan variasi makanan disekitarnya, menjadi menu makanan istimewa yang lezat untuk dinikmati. Makan tumpeng bersama-sama menjadi nostalgia bagi kita yang berada di negeri orang. Meski tidak di negeri sendiri, tumpeng mengingatkan kita dengan tanah air tercinta. Tumpeng menjadi makanan pengobat rindu.
Jika demikian, apa hukum membuat dan memakan nasi tumpeng? Apa hukum melakukan acara dengan memakan nasi tumpeng? Tentu saja bergantung kepada niat kita masing-masing. Jika niatnya melakukan ruwatan dengan tradisi Jawa tadi, tentu ini musyrik. Namun jika sekedar ungkapan rasa rindu dengan makanan tanah air, maka ia boleh-boleh saja. Disini yang berlaku adalah kaedah berikut:
الأمور بمقاصدها
Artinya: Segala sesuatu bergantung kepada niatnya.
Juga kaedah lain:
الأصل في الأشياء الإباحة
Artinya: Asal segala sesuatu adalah boleh.
Oleh karena itu, niat dan obyek itu sendiri memiliki konsekuensi. Jika niatnya untuk sesuatu yang mengandun kemusyrikan, maka tentu haram. Begitu pula suatu obyek yang disebutkan keharaman untuk mengkonsumsinya dalam Quran dan Sunah, maka tidak boleh dikonsumsi. Sebaliknya, jika tidak disebutkan dalam Quran maupun Sunah, kembali ke hukum asalnya. Wallahu A’lam
-Wahyudi Abdrurrahim
Post A Comment
Tidak ada komentar :