Problematika Dakwah Era Modern
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, dan apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan sesat selamanya, kedua hal itu ialah: Kitab Allah ( Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah”.
Begitulah pesan Baginda Rasululah di tengah sengatan panas di kala melaksanakan Hijjah al-Wadâ‘. Para sahabat yang mendengar sabda Baginda Rasul tersebut bermacam-macam reaksi, ada yang bingung, tersenyum, bahagia dan menangis. Mereka yang tersenyum dan tertawa, memahami bahwa risalah Islam telah sempurna diturunkan. Sedangkan mereka yang menangis, memaknai isyarat tersebut bahwa Rasulullah akan segera kembali ke al-Rafîq al-A‘lâ—karena tugas beliau telah usai--. Memang benar, pesan di atas menandakan risalah Islam telah sempurna, pedoman hidup telah ditetapkan, dan Rasulullah tak lama setelah peristiwa itu menemui kekasih hati beliau, Allah Swt.. Wafatnya beliau bukan berarti tugas sudah selesai, hadits tersebut juga mengandung makna lain, yaitu Rasulullah memberikan amanat untuk mendakwahkan kepada seluruh lapisan umat manusia pemahaman tetang al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup yang benar serta mampu menyelamatkan manusia dari kesesatan hidup di dunia.
Makna yang kedua inilah yang akan penulis bahas dalam tulisan ini, tugas yang telah diembankan oleh Rasulullah kepada seluruh umat Islam, yaitu dakwah.
Makna Dakwah
Dakwah secara etimologi berasal dari kata bahasa arab yaitu da‘â – yad‘û- da‘wah yang berarti mengajak, dari arti dakwah itu sendiri kita dapat menarik beberapa metode dalam mengajak seseorang, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw., baik itu dengan ajakan secara lisan (ceramah, pidato), maupun da’wah bi al-hâl atau kerja nyata. Bahkan dakwah melalui media sebagaimana Rasulullah Saw. mengutus beberapa sahabat untuk menyampaikan pesannya dalam bentuk surat dan sejenisnya.
Kata-kata dakwah memang bukan suatu yang asing lagi bagi kita semua. Kapan dan di mana saja kuping kita tidak bisa lepas dari kata tersebut. Kendati demikian kita masih perlu untuk menginstropeksi diri, karena masih banyak permasalahan dakwah pada zaman kita ini yang belum tertuntaskan.
Berikut ini adalah hasil wawancara kami dengan beberapa tokoh Masisir (Masyarakat Indonesia di Mesir, red) Zulfi Akmal. Lc, Rahimuddin, Mufti , tentang tanggapan mereka terhadap dunia da’wah Islam di era modern ini.
Problematika Umat Dewasa Ini
Secara fisik, dakwah Islam (khususnya di Indonesia) mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan, hal itu terlihat semakin banyaknya bangunan-bangunan masjid, pembangunan sekolah atau madrasah –dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi--, rumah sakit yang berlabel Islam dan bentuk dakwah yang lain. Sementara itu, lembaga yang mengaku berasaskan Islam pun turut bertumbuhan bak jamur di musim hujan, sebagai contoh, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang sedang gencar-gencarnya dikembangkan di setiap Universitas dan Perguruan Tinggi yang ada. Bahkan sampai saat ini, Indonesia masih menjadi kiblat dakwah Malaysia; bisa dilihat dari karakteristik para dai Malaysia yang masih menggunakan gaya-gaya dai asal Indonesia, hal ini di ungkapkan Rahimuddin, salah seorang tokoh pengamat dakwah. Akan tetapi kita juga harus berhati-hati jangan sampai terlena oleh kuantitas dan bangunan fisik, karena di sana masih ada hal yang lebih urgen yang mesti diperhatikan, kita tidak dapat pungkiri bahwasanya kita memiliki permasalah dalam gerakan dakwah di era modern saat ini, permasalahan itu timbul dari berbagai sisi dan lini, sacara garis besar dapat kita bagi menjadi dua; pertama permasalahan intern umat Islam sendiri dan yang kedua adalah permasalahan ekstern.
Menurut Zulfi Akmal, Lc permasalahan yang paling mendasar yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah merujuk kepada hadist Rasulullah Saw., “Bahwasanya suatu saat akan diangkatnya ilmu dengan cara mewafatkan para ulamanya, dan akan mmengangkat pemimpin yang jahil dan berfatwa tanpa ilmu yang sesat lagi menyesatkan……..“. Dan ditambahkan oleh Mufti bahwa umat muslim saat sekarang ini yang sedang digerogoti penyakit “hubbu’d dunya wa karâhiyatu’l maut” yang artinya cinta dunia dan takut mati.
Mungkin kita awali dengan melirik permasalahan intern umat Islam sendiri:
A. Permasalahan yang Timbul dari Diri Seorang Dai
Pertama. Penyempitan arti dan fungsi dakwah oleh para dai. Dakwah saat ini terkesan dimaknai sebatas pada ceramah-ceramah di mimbar masjid, pengajian, dan majelis-majelis. Walaupun tak dapat dipungkiri, bahwa metode lisan melalui ceramah agama merupakan metode yang masih efektif untuk masyarakat Indonesia saat ini, terutama untuk masyarakat di kawasan pedesaan. Namun, para dai hendaknya lebih memahami bahwa ceramah agama melalui pengajian maupun majelis-majelis taklim hanyalah salah satu cara berdakwah, bukan merupakan esensi dan substansi dakwah yang compatible.
Penjabaran di atas senada dengan penuturan Rahimmuddin, aktivis Masisir yang mobile dalam kegiatan dakwah dan sangat intens mengamati perkembangan dakwah di Indonesia menyebutkan, bahwa: “Masyarakat Indonesia saat ini sudah mulai bosan dengan ceramah-ceramah agama oleh para ustadz dan kyai, mereka lebih membutuhkan dakwah bi’l hâl (tauladan), mereka saat ini sedang krisis qudwah (kepercayaan), sehingga yang mereka butuhkan adalah contoh atau tauladan dari para ustadz dan kyai.”
Penyempitan pemahaman ini berdampak pada longgarnya ikatan emosional antar dai dan maud‘û-nya (objek dakwahnya). Karena hubungan para dai dan objek dakwahnya hanya terbatas pada hubungan pembicara dan pendengar. Setelah para dai menyampaikan ceramahnya yang terkesan monoton, dengan diselingi guyonan-guyonan khas, kemudian dilanjutkan dengan acara ramah tamah, setelah itu dai pulang dengan amplop disaku baju gamisnya. Hubungan emosional yang sesaat ini hanya akan menyisakan “guyonan khas” para dai di hati pendengarnya.
Kedua. Merosotnya kualitas ilmu yang dimiliki oleh para dai. Hal tersebut berdampak pada menurunnya profesionalisme para dai itu sendiri. Sebagai contoh, materi yang disampaikan oleh para dai lebih banyak bersifat pengulangan, sehingga menyebabkan para objek dakwahnya merasa bosan. Selain itu, metode dakwah yang dilakukan pun terkadang tidak sesuai dengan kondisi objek dakwahnya. Sehingga dakwah yang disampaikan tidak tepat pada sasaran. Hasil yang diperoleh pun tidak maksimal. Kemiskinan metode ini pada dasarnya adalah akibat dari degradasi kualitas ilmu dan minimnya pengalaman yang dimiliki oleh para dai.
Tentang penurunan kualitas ilmu dan wawasan para dai ini, Zulfi Akmal, Lc., yang merupakan aktivis dan praktisi dakwah Masisir, menyebutkan: “Akar dari semua problem dakwah dan problem umat Islam saat ini, terutama di Indonesia yaitu hilangnya ilmu dan berkurangnya para alim ulama. Di zaman sekarang, sangat susah ditemukan ulama sekaliber Imam Suyuti, Imam Syafi’I dan lain-lain. Semakin sedikitnya orang berilmu ini berakibat pada terpilihnya kaum minim ilmu menjadi pemimpin, sehingga pada akhirnya nanti mereka pun memberikan keputusan atau fatwa yang sesat dan menyesatkan,”
Lebih lanjut beliau menyebutkan, kekurangan ilmu yang melanda dikalangan para pemimpin umat (tokoh masyarakat) akan memunculkan masalah-masalah umat yang lainnya. Sebagai contoh, masalah yang timbul akibat dari kurangnya kualitas ilmu ini adalah tergoncangnya tatanan umat yang ditimbulkan oleh keraguan mereka terhadap keputusan hukum (fatwa) yang diambil oleh para ulamanya. Selanjutnya dari keraguan ini akan berlanjut pada ketidakpercayaannya terhadap para ulama itu sendiri. Hal ini tentunya akan berdampak negatif pada tatanan umat yang ada.
Contoh lain yang dapat diambil adalah, tata nilai yang terbalik. Hal-hal yang telah pasti keharamannya mulai dipertanyakan untuk kemudian diubah hukumnya menjadi halal. Dalam sebuah kasus: menghalalkan hubungan sesama jenis (homoseksual dan lesbian) yang sebenarnya telah dijelaskan keharamannya didalam al-Quran. Sedangkan permasalahan yang telah pasti kehalalannya, dengan berbagai alasan kemanusiaan, dicoba untuk diubah menjadi sesuatu yang haram dan tidak patut dilakukan. Contoh kasus yang ada adalah permasalah poligami yang sejenak menjadi perdebatan dikalangan ulama dan aktivis HAM di Indonesia beberapa waktu lalu.
Ketiga. Manajemen dakwah yang dilakukan oleh para dai saat ini masih menggunakan manajemen konvensional, yang hanya terbatas pada ceramah dan kuliah agama. Sekali lagi hal ini disebabkan oleh stagnansi pemahaman tentang arti dakwah, sehingga pengetahuan tentang manajemen dakwah yang efektif dan efisien yang memberikan hasil maksimal dan berkelanjutan tidak tercapai. Hasil dari manajemen konvensional ini pun hanya menyentuh tataran kulit luar saja. Peringatan maupun ajakan yang disampaikannya hanya bergaung pada saat ceramah atau kuliah disampaikan.
B. Permasalahan Intern yang Berasal dari Umat Islam Sendiri
Adapun permasalahan yang ditimbulkan dari umat Islam sendiri adalah kurangnya keinginan atau kemauan untuk mendengarkan kebajikan, sebagai mana yang disampaikan oleh Mufti. Kurangnya budaya beramar ma’ruf nahi mungkar, di samping minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh umat Islam tentang penyakit TBC alias tahayul, bid’ah dan kurafat. Kesalahan itu tidak lain disebabkan oleh para pelajar muda Islam saat ini yang tidak menutup kemungkinan tugas kita sebagai seorang Azhary untuk menyeimbangkan mereka antara aqly dan ruhy.
Masalah ekstern yang juga berpengaruh besar pada perkembangan dakwah para dai antara lain:
Pertama. Maraknya ghazwu’l fikri (perang pemikiran) yang dilakukan oleh berbagai pihak. Notabene memang tidak suka melihat laju pertumbuhan dan perkembangan dakwah Islam. Perintis ide ini salah satunya muncul dari orang-orang di luar Islam yang kemudian sering disebut sebagai orientalis, yang mana mereka intens dalam mempelajari syariah Islam (Islamic Studies). Namun tujuan mereka untuk mencari kelemahan-kelemahan yang ada dalam syariat Islam yang kemudian digunakan untuk menyerang akidah umat Islam dari dalam. Para orientalis ini mengkaji Islam dengan usaha yang maksimal dan menyentuh berbagai bidang. Di sana ada Spirenger, William Muir, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht yang menseriusi bidang hadits, kemudian bidang fikih dan hukum Islam yang digawangi oleh Scholler, Motzki, kemudian akan ditemukan nama-nama Alphonse Mingana, Gustaf Flugel, Theodor Noldeke, Arthur Jeffery dalam Qur’anic Studiesnya dan lain-lain. Keseriusan dan ketekunan para orientalis dalam mempelajari Islam ini mewujudkan Islamic Studies di Universitas-Universitas Barat lebih unggul dibandingkan Universitas-Universitas Islam. Namun sayang sekali pembelajaran para orientalis tersebut seringkali berbenturan dengan pemahaman para cendekiawan Muslim. Tidak mengherankan, karena para orientalis memang mempelajari Islam dengan pandangan awal dan tujuan yang jauh berbeda dengan tujuan kaum muslimin. Pembelajaran orientalis berangkat dari keraguan yang kemudian memunculkan hasil keraguan. Mereka belajar bukanlah mencari kebenaran yang hakiki, melainkan mencari titik celah kelemahan yang ada pada kebenaran. Sehingga tak ayal meraka menolak kebenaran, dan terus mempertahan keraguan yang ada dalam diri mereka.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para orientalis terus berlanjut. Hingga saat ini pun mereka gencar melancarkan keraguan-keraguan yang mereka pahami atas umat Islam. Dan disayangkan, para dai muslim kurang menyadari akan bahayanya dampak yang mereka perbuat, bahkan tidak sedikit para cendekiawan muslim yang diharapkan mampu menahan laju penyerangan ini, malah ikut mempromosikan pemahaman salah para orientalis. Maka tak heran kalau Indonesia saat ini, sedang gencar-gencarnya gaung paham liberalis, pluralis, dan sekuler.
Kedua. Imperialisme budaya asing yang tidak sejalan dengan budaya Islam. Secara fisik bangsa Indonesia telah merdeka dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa dan Jepang sejak para plokamator membacakan teks naskah proklamasi pukul 10.00 WIB didepan Istana Negara Indonesia 63 tahun lalu. Namun, sepertinya bangsa Eropa –Barat pada umumnya- tidak akan membiarkan Indonesia bebas merdeka begitu saja. Imperialisme yang mereka gencarkan tetap berlanjut, bukan dalam bentuk perang bersenjata, namun dalam perang budaya. Secara intens mereka mencekoki manusia Indonesia dengan paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme yang terkesan tanpa batas, mendobrak sopan santun ketimuran yang merupakan warisan nenek moyang Indonesia dan syariat Islam ajaran para wali. Kesemuanya itu berdampak pada kehidupan yang permisif, yang berakibat pada banyaknya kasus moral, seperti hamil di luar nikah, kehidupan seks yang cukup bebas, gaya hidup konsumtif, narkoba dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut merupakan hambatan dan tantangan yang menghalangi laju dakwah para dai. Dibutuhkan “amunisi” yang cukup berupa ilmu pengetahuan; baik ilmu agama maupun sains, dan kualitas diri; berupa kesolehan hati, pikiran dan perbuatan untuk menghadapi semua itu. Tantangan tersebut tidak hanya cukup dihadapi dengan ceramah agama, namun dibutuhkan qudwah, tauladan dan bukti kongkrit dari penjabaran syariat Islam dalam bentuk perbuatan oleh para dainya.
Ketiga. Gerakan pemurtadan (tanshîr/tabsyîr) yang semakin gencar dilakukan oleh “agama tetangga” melalui para misionaris yang menyerang daerah-daerah terpencil dan terlupakan oleh dai muslim. Sebagai contoh, gerakan pemurtadan di pedalaman Irian terhadap para transmigran dari Jawa dengan modus bantuan ekonomi, kemudian kristenisasi di daerah Kulon Progo, Yogyakarta dengan modus bantuan sosial dan ekonomi pula, serta masih banyak daerah-daerah lain yang terlupakan dan belum terjamah oleh dai-dai kita.
Keempat. Dampak negatif dari perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti yang kita lihat, mereka yang menentang kita (Islam) sangat gencar mengambil kesempatan untuk memasukkan isu-isu negatif terhadap umat Islam, dan memerangi kita dari dalam, seperti halnya JIL, yang selalu di ekspos di media-media dan di gencar-gencarkan, dan masih banyak lagi lainnya.
Dapat kita lihat dari penjabaran di atas, bahwa ada dua target yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, yang pertama adalah kaum awam terpencil dengan pemurtadannya dan perdaban yang mereka bawa, yang kedua adalah kaum cendikiawan muslim dengan cara ghazwu’l fikri sebagaimana yang diutarakan oleh Zulfi Akmal. Lc. di atas.
Menurut Rahimuddin, konsep dakwah itu adalah hadam wal bina’ yang artinya merubah sesuatu dan menjadikannya kepada yang sebenarnya. Adapun dalam metode dakwah itu tidak ada perbedaannya dari jaman ke jaman, yang jelas masih mengunakan manhaj al-salaf al-shâlih sebagai mana yang disampaikan oleh Zulfi Akmal dan Mufti. Akan tetapi uslubnya yang berbeda antara dahulu dan sekarang, dan yang jelas seorang dai itu disamping harus proposional, intelektual, dan cerdas, ia juga harus mengerti dan mengetahui ladang dakwahnya lalu siapa yang dia dakwahi, artinya kallim an-Nâs A’lâ qadri ‘uqulihim.” Wallahu a’lam bi al shawab.
- SINAR MUHAMMADIYAH Edisi -47
Begitulah pesan Baginda Rasululah di tengah sengatan panas di kala melaksanakan Hijjah al-Wadâ‘. Para sahabat yang mendengar sabda Baginda Rasul tersebut bermacam-macam reaksi, ada yang bingung, tersenyum, bahagia dan menangis. Mereka yang tersenyum dan tertawa, memahami bahwa risalah Islam telah sempurna diturunkan. Sedangkan mereka yang menangis, memaknai isyarat tersebut bahwa Rasulullah akan segera kembali ke al-Rafîq al-A‘lâ—karena tugas beliau telah usai--. Memang benar, pesan di atas menandakan risalah Islam telah sempurna, pedoman hidup telah ditetapkan, dan Rasulullah tak lama setelah peristiwa itu menemui kekasih hati beliau, Allah Swt.. Wafatnya beliau bukan berarti tugas sudah selesai, hadits tersebut juga mengandung makna lain, yaitu Rasulullah memberikan amanat untuk mendakwahkan kepada seluruh lapisan umat manusia pemahaman tetang al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup yang benar serta mampu menyelamatkan manusia dari kesesatan hidup di dunia.
Makna yang kedua inilah yang akan penulis bahas dalam tulisan ini, tugas yang telah diembankan oleh Rasulullah kepada seluruh umat Islam, yaitu dakwah.
Makna Dakwah
Dakwah secara etimologi berasal dari kata bahasa arab yaitu da‘â – yad‘û- da‘wah yang berarti mengajak, dari arti dakwah itu sendiri kita dapat menarik beberapa metode dalam mengajak seseorang, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw., baik itu dengan ajakan secara lisan (ceramah, pidato), maupun da’wah bi al-hâl atau kerja nyata. Bahkan dakwah melalui media sebagaimana Rasulullah Saw. mengutus beberapa sahabat untuk menyampaikan pesannya dalam bentuk surat dan sejenisnya.
Kata-kata dakwah memang bukan suatu yang asing lagi bagi kita semua. Kapan dan di mana saja kuping kita tidak bisa lepas dari kata tersebut. Kendati demikian kita masih perlu untuk menginstropeksi diri, karena masih banyak permasalahan dakwah pada zaman kita ini yang belum tertuntaskan.
Berikut ini adalah hasil wawancara kami dengan beberapa tokoh Masisir (Masyarakat Indonesia di Mesir, red) Zulfi Akmal. Lc, Rahimuddin, Mufti , tentang tanggapan mereka terhadap dunia da’wah Islam di era modern ini.
Problematika Umat Dewasa Ini
Secara fisik, dakwah Islam (khususnya di Indonesia) mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan, hal itu terlihat semakin banyaknya bangunan-bangunan masjid, pembangunan sekolah atau madrasah –dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi--, rumah sakit yang berlabel Islam dan bentuk dakwah yang lain. Sementara itu, lembaga yang mengaku berasaskan Islam pun turut bertumbuhan bak jamur di musim hujan, sebagai contoh, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang sedang gencar-gencarnya dikembangkan di setiap Universitas dan Perguruan Tinggi yang ada. Bahkan sampai saat ini, Indonesia masih menjadi kiblat dakwah Malaysia; bisa dilihat dari karakteristik para dai Malaysia yang masih menggunakan gaya-gaya dai asal Indonesia, hal ini di ungkapkan Rahimuddin, salah seorang tokoh pengamat dakwah. Akan tetapi kita juga harus berhati-hati jangan sampai terlena oleh kuantitas dan bangunan fisik, karena di sana masih ada hal yang lebih urgen yang mesti diperhatikan, kita tidak dapat pungkiri bahwasanya kita memiliki permasalah dalam gerakan dakwah di era modern saat ini, permasalahan itu timbul dari berbagai sisi dan lini, sacara garis besar dapat kita bagi menjadi dua; pertama permasalahan intern umat Islam sendiri dan yang kedua adalah permasalahan ekstern.
Menurut Zulfi Akmal, Lc permasalahan yang paling mendasar yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah merujuk kepada hadist Rasulullah Saw., “Bahwasanya suatu saat akan diangkatnya ilmu dengan cara mewafatkan para ulamanya, dan akan mmengangkat pemimpin yang jahil dan berfatwa tanpa ilmu yang sesat lagi menyesatkan……..“. Dan ditambahkan oleh Mufti bahwa umat muslim saat sekarang ini yang sedang digerogoti penyakit “hubbu’d dunya wa karâhiyatu’l maut” yang artinya cinta dunia dan takut mati.
Mungkin kita awali dengan melirik permasalahan intern umat Islam sendiri:
A. Permasalahan yang Timbul dari Diri Seorang Dai
Pertama. Penyempitan arti dan fungsi dakwah oleh para dai. Dakwah saat ini terkesan dimaknai sebatas pada ceramah-ceramah di mimbar masjid, pengajian, dan majelis-majelis. Walaupun tak dapat dipungkiri, bahwa metode lisan melalui ceramah agama merupakan metode yang masih efektif untuk masyarakat Indonesia saat ini, terutama untuk masyarakat di kawasan pedesaan. Namun, para dai hendaknya lebih memahami bahwa ceramah agama melalui pengajian maupun majelis-majelis taklim hanyalah salah satu cara berdakwah, bukan merupakan esensi dan substansi dakwah yang compatible.
Penjabaran di atas senada dengan penuturan Rahimmuddin, aktivis Masisir yang mobile dalam kegiatan dakwah dan sangat intens mengamati perkembangan dakwah di Indonesia menyebutkan, bahwa: “Masyarakat Indonesia saat ini sudah mulai bosan dengan ceramah-ceramah agama oleh para ustadz dan kyai, mereka lebih membutuhkan dakwah bi’l hâl (tauladan), mereka saat ini sedang krisis qudwah (kepercayaan), sehingga yang mereka butuhkan adalah contoh atau tauladan dari para ustadz dan kyai.”
Penyempitan pemahaman ini berdampak pada longgarnya ikatan emosional antar dai dan maud‘û-nya (objek dakwahnya). Karena hubungan para dai dan objek dakwahnya hanya terbatas pada hubungan pembicara dan pendengar. Setelah para dai menyampaikan ceramahnya yang terkesan monoton, dengan diselingi guyonan-guyonan khas, kemudian dilanjutkan dengan acara ramah tamah, setelah itu dai pulang dengan amplop disaku baju gamisnya. Hubungan emosional yang sesaat ini hanya akan menyisakan “guyonan khas” para dai di hati pendengarnya.
Kedua. Merosotnya kualitas ilmu yang dimiliki oleh para dai. Hal tersebut berdampak pada menurunnya profesionalisme para dai itu sendiri. Sebagai contoh, materi yang disampaikan oleh para dai lebih banyak bersifat pengulangan, sehingga menyebabkan para objek dakwahnya merasa bosan. Selain itu, metode dakwah yang dilakukan pun terkadang tidak sesuai dengan kondisi objek dakwahnya. Sehingga dakwah yang disampaikan tidak tepat pada sasaran. Hasil yang diperoleh pun tidak maksimal. Kemiskinan metode ini pada dasarnya adalah akibat dari degradasi kualitas ilmu dan minimnya pengalaman yang dimiliki oleh para dai.
Tentang penurunan kualitas ilmu dan wawasan para dai ini, Zulfi Akmal, Lc., yang merupakan aktivis dan praktisi dakwah Masisir, menyebutkan: “Akar dari semua problem dakwah dan problem umat Islam saat ini, terutama di Indonesia yaitu hilangnya ilmu dan berkurangnya para alim ulama. Di zaman sekarang, sangat susah ditemukan ulama sekaliber Imam Suyuti, Imam Syafi’I dan lain-lain. Semakin sedikitnya orang berilmu ini berakibat pada terpilihnya kaum minim ilmu menjadi pemimpin, sehingga pada akhirnya nanti mereka pun memberikan keputusan atau fatwa yang sesat dan menyesatkan,”
Lebih lanjut beliau menyebutkan, kekurangan ilmu yang melanda dikalangan para pemimpin umat (tokoh masyarakat) akan memunculkan masalah-masalah umat yang lainnya. Sebagai contoh, masalah yang timbul akibat dari kurangnya kualitas ilmu ini adalah tergoncangnya tatanan umat yang ditimbulkan oleh keraguan mereka terhadap keputusan hukum (fatwa) yang diambil oleh para ulamanya. Selanjutnya dari keraguan ini akan berlanjut pada ketidakpercayaannya terhadap para ulama itu sendiri. Hal ini tentunya akan berdampak negatif pada tatanan umat yang ada.
Contoh lain yang dapat diambil adalah, tata nilai yang terbalik. Hal-hal yang telah pasti keharamannya mulai dipertanyakan untuk kemudian diubah hukumnya menjadi halal. Dalam sebuah kasus: menghalalkan hubungan sesama jenis (homoseksual dan lesbian) yang sebenarnya telah dijelaskan keharamannya didalam al-Quran. Sedangkan permasalahan yang telah pasti kehalalannya, dengan berbagai alasan kemanusiaan, dicoba untuk diubah menjadi sesuatu yang haram dan tidak patut dilakukan. Contoh kasus yang ada adalah permasalah poligami yang sejenak menjadi perdebatan dikalangan ulama dan aktivis HAM di Indonesia beberapa waktu lalu.
Ketiga. Manajemen dakwah yang dilakukan oleh para dai saat ini masih menggunakan manajemen konvensional, yang hanya terbatas pada ceramah dan kuliah agama. Sekali lagi hal ini disebabkan oleh stagnansi pemahaman tentang arti dakwah, sehingga pengetahuan tentang manajemen dakwah yang efektif dan efisien yang memberikan hasil maksimal dan berkelanjutan tidak tercapai. Hasil dari manajemen konvensional ini pun hanya menyentuh tataran kulit luar saja. Peringatan maupun ajakan yang disampaikannya hanya bergaung pada saat ceramah atau kuliah disampaikan.
B. Permasalahan Intern yang Berasal dari Umat Islam Sendiri
Adapun permasalahan yang ditimbulkan dari umat Islam sendiri adalah kurangnya keinginan atau kemauan untuk mendengarkan kebajikan, sebagai mana yang disampaikan oleh Mufti. Kurangnya budaya beramar ma’ruf nahi mungkar, di samping minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh umat Islam tentang penyakit TBC alias tahayul, bid’ah dan kurafat. Kesalahan itu tidak lain disebabkan oleh para pelajar muda Islam saat ini yang tidak menutup kemungkinan tugas kita sebagai seorang Azhary untuk menyeimbangkan mereka antara aqly dan ruhy.
Masalah ekstern yang juga berpengaruh besar pada perkembangan dakwah para dai antara lain:
Pertama. Maraknya ghazwu’l fikri (perang pemikiran) yang dilakukan oleh berbagai pihak. Notabene memang tidak suka melihat laju pertumbuhan dan perkembangan dakwah Islam. Perintis ide ini salah satunya muncul dari orang-orang di luar Islam yang kemudian sering disebut sebagai orientalis, yang mana mereka intens dalam mempelajari syariah Islam (Islamic Studies). Namun tujuan mereka untuk mencari kelemahan-kelemahan yang ada dalam syariat Islam yang kemudian digunakan untuk menyerang akidah umat Islam dari dalam. Para orientalis ini mengkaji Islam dengan usaha yang maksimal dan menyentuh berbagai bidang. Di sana ada Spirenger, William Muir, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht yang menseriusi bidang hadits, kemudian bidang fikih dan hukum Islam yang digawangi oleh Scholler, Motzki, kemudian akan ditemukan nama-nama Alphonse Mingana, Gustaf Flugel, Theodor Noldeke, Arthur Jeffery dalam Qur’anic Studiesnya dan lain-lain. Keseriusan dan ketekunan para orientalis dalam mempelajari Islam ini mewujudkan Islamic Studies di Universitas-Universitas Barat lebih unggul dibandingkan Universitas-Universitas Islam. Namun sayang sekali pembelajaran para orientalis tersebut seringkali berbenturan dengan pemahaman para cendekiawan Muslim. Tidak mengherankan, karena para orientalis memang mempelajari Islam dengan pandangan awal dan tujuan yang jauh berbeda dengan tujuan kaum muslimin. Pembelajaran orientalis berangkat dari keraguan yang kemudian memunculkan hasil keraguan. Mereka belajar bukanlah mencari kebenaran yang hakiki, melainkan mencari titik celah kelemahan yang ada pada kebenaran. Sehingga tak ayal meraka menolak kebenaran, dan terus mempertahan keraguan yang ada dalam diri mereka.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para orientalis terus berlanjut. Hingga saat ini pun mereka gencar melancarkan keraguan-keraguan yang mereka pahami atas umat Islam. Dan disayangkan, para dai muslim kurang menyadari akan bahayanya dampak yang mereka perbuat, bahkan tidak sedikit para cendekiawan muslim yang diharapkan mampu menahan laju penyerangan ini, malah ikut mempromosikan pemahaman salah para orientalis. Maka tak heran kalau Indonesia saat ini, sedang gencar-gencarnya gaung paham liberalis, pluralis, dan sekuler.
Kedua. Imperialisme budaya asing yang tidak sejalan dengan budaya Islam. Secara fisik bangsa Indonesia telah merdeka dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa dan Jepang sejak para plokamator membacakan teks naskah proklamasi pukul 10.00 WIB didepan Istana Negara Indonesia 63 tahun lalu. Namun, sepertinya bangsa Eropa –Barat pada umumnya- tidak akan membiarkan Indonesia bebas merdeka begitu saja. Imperialisme yang mereka gencarkan tetap berlanjut, bukan dalam bentuk perang bersenjata, namun dalam perang budaya. Secara intens mereka mencekoki manusia Indonesia dengan paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme yang terkesan tanpa batas, mendobrak sopan santun ketimuran yang merupakan warisan nenek moyang Indonesia dan syariat Islam ajaran para wali. Kesemuanya itu berdampak pada kehidupan yang permisif, yang berakibat pada banyaknya kasus moral, seperti hamil di luar nikah, kehidupan seks yang cukup bebas, gaya hidup konsumtif, narkoba dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut merupakan hambatan dan tantangan yang menghalangi laju dakwah para dai. Dibutuhkan “amunisi” yang cukup berupa ilmu pengetahuan; baik ilmu agama maupun sains, dan kualitas diri; berupa kesolehan hati, pikiran dan perbuatan untuk menghadapi semua itu. Tantangan tersebut tidak hanya cukup dihadapi dengan ceramah agama, namun dibutuhkan qudwah, tauladan dan bukti kongkrit dari penjabaran syariat Islam dalam bentuk perbuatan oleh para dainya.
Ketiga. Gerakan pemurtadan (tanshîr/tabsyîr) yang semakin gencar dilakukan oleh “agama tetangga” melalui para misionaris yang menyerang daerah-daerah terpencil dan terlupakan oleh dai muslim. Sebagai contoh, gerakan pemurtadan di pedalaman Irian terhadap para transmigran dari Jawa dengan modus bantuan ekonomi, kemudian kristenisasi di daerah Kulon Progo, Yogyakarta dengan modus bantuan sosial dan ekonomi pula, serta masih banyak daerah-daerah lain yang terlupakan dan belum terjamah oleh dai-dai kita.
Keempat. Dampak negatif dari perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti yang kita lihat, mereka yang menentang kita (Islam) sangat gencar mengambil kesempatan untuk memasukkan isu-isu negatif terhadap umat Islam, dan memerangi kita dari dalam, seperti halnya JIL, yang selalu di ekspos di media-media dan di gencar-gencarkan, dan masih banyak lagi lainnya.
Dapat kita lihat dari penjabaran di atas, bahwa ada dua target yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, yang pertama adalah kaum awam terpencil dengan pemurtadannya dan perdaban yang mereka bawa, yang kedua adalah kaum cendikiawan muslim dengan cara ghazwu’l fikri sebagaimana yang diutarakan oleh Zulfi Akmal. Lc. di atas.
Menurut Rahimuddin, konsep dakwah itu adalah hadam wal bina’ yang artinya merubah sesuatu dan menjadikannya kepada yang sebenarnya. Adapun dalam metode dakwah itu tidak ada perbedaannya dari jaman ke jaman, yang jelas masih mengunakan manhaj al-salaf al-shâlih sebagai mana yang disampaikan oleh Zulfi Akmal dan Mufti. Akan tetapi uslubnya yang berbeda antara dahulu dan sekarang, dan yang jelas seorang dai itu disamping harus proposional, intelektual, dan cerdas, ia juga harus mengerti dan mengetahui ladang dakwahnya lalu siapa yang dia dakwahi, artinya kallim an-Nâs A’lâ qadri ‘uqulihim.” Wallahu a’lam bi al shawab.
- SINAR MUHAMMADIYAH Edisi -47
Post A Comment
Tidak ada komentar :